Minggu, 25 Januari 2015

CATATAN KEMATIAN (Dalam Novel Sang Titisan)

“Ayo, cepat ikut Ayah! Dasar anak bandel! Bukankah Ayah sudah berkali-kali bilang sama Kamu, jangan sekali-kali Kamu mencoba keluyuran tanpa Otoy dan Sam apalagi sampai berusaha kabur bersama anak panti asuhan itu. Dasar anak tak tahu diuntung!” Seorang jangkung menarik paksa gadis berumur sekitar 8 tahunan.
“Ampun Ayah! Ampun!” Teriak gadis kecil itu meronta-ronta.
“Kamu akan Ayah kurung di gudang sampai Kamu jera!”
“Tidak Ayah, Najah takut, Najah tak mau Ayah, Najah mohon lepaskan Najah, sakit Ayah!” Air mata gadis bernama Najah itu semakin deras mengalir.
“Brakk, Ckriek!” Suara pintu ditutup dan dikunci paksa
“Brakk, brakk, brakk!” Najah berusaha mendobrak pintu.
“Ayah, Najah mohon keluarkan Najah dari sini, Najah takut. Ayah, di sini gelap, Najah takut.” Air matanya terus mengalir, sorot matanya memperhatikan sekeliling.
“Cuma tiga hari kok, sayang! Tanpa makan,… tanpa minum tapi,… Kamu nantinya akan terbiasa dan… menikmatinya. Ha…ha…ha…!” Suara pria jangkung itu semakin menghilang seiring dengan langkahnya yang terdengar samar menuruni tangga.
*****

Hari kedua
‘Brakk, brakk, brakk!’ “Ayah, Najah lapar! Najah tak tahan. Perut Najah perih.” ‘Brakk! Brakk! Brakk!’ “Mbok! Tolong keluarkan Najah dari sini!”
Beberapa menit kemudian.
‘Tep…tep…tep…’ Suara langkah kaki terdengar pelan menaiki tangga dan semakin jelas menuju gudang tempat Najah disekap.
“Ayah!”  Najah mendekatkan tubuhnya ke pintu sambil memegangi perutnya.
“Ayah!”  Najah menempelkan telinganya ke daun pintu.
“Non! Non Najah! Ini Mbok. Ini Mbok bawakan makanan untuk Non!” Suara wanita terdengar sedikit berbisik.
“Mbok Halimah! Tolong Najah, Mbok! Najah lapar!”
‘Ckrieeek, krieekk’ Pintu gudang dibuka perlahan dengan kunci.
“Ini Non, Mbok buatin nasi uduk dan telor mata sapi, makanan kesukaan Non.”
“Terima kasih, Mbok.” Najah menerima sepiring makanan pemberian Mbok Halimah. Kemudian…
‘Brakk! Glontang!’ Piring di tangan Najah terjatuh ditendang kaki seseorang.
“Kurang ajar Kau, Halimah…! Siapa yang menyuruhmu memberi Dia makan, hah!” Plak!’  Sebuah tamparan mendarat di pipi Mbok Halimah.
“Tapi, Tuan Antonious…”
“Sudah pergi sana!” Bentak Pria bernama Antonious dengan satu tendangan keras di paha Mbok Halimah.”
‘Brakk! Ckrieek!’ Bunyi pintu ditutup dan dikunci kembali.
‘Brakk, brakk, brakk!’ “Ayah! Buka pintunya Ayah! Najah minta maaf, Ayah!” Teriak Najah parau.
Melihat seperti tak ada harapan terbukanya pintu, Najah segera mendekati nasi yang tumpah ke lantai gudang. Dia melahap nasi bercampur kotoran itu tanpa merasa jijik. Tangan kecilnya gemetar. Bibirnya yang kemerahan itu berubah pucat.
*****
Hari ketiga. Seekor kecoa berlarian melewati bertumpuk-tumpuk karung goni, bersembunyi di balik tumpukan kardus bekas berisi mesin lokomotif yang sudah usang. Sebuah tangan kecil mencoba mengejarnya dengan buas. Merasa nyawanya terancam, semakin cepat kecoa berlari mengelilingi meja kayu yang kakinya tinggal tiga.
‘Hap!’ “Akhirnya kamu kena juga kecoa manis!”
“Aku minta maaf ya, sayang. Sebenarnya Aku tak tega melakukan ini padamu. Tapi,...” Dia memegang perutnya.
“Aku lapar.”
‘Hap, Glekk.’ Najah menelan kecoa kecil itu tanpa mengunyahnya sambil memejamkan mata.
‘Ckrieek, Brakk!’ Pintu gudang terbuka.
“Ayah! Apakah Najah boleh keluar sekarang?” Najah berlari mendekap kaki Antonious.
“Otoy! Sam! Bawa Najah ke laboratorium!”
“Baik, Prof!”
Tangan kekar Otoy dan Sam merengkuh paksa lengan Najah.
“Ayah! Najah mau Ayah apakan? Lepaskan Najah! Mbok! Tolong Najah.” Najah diseret menuju ruang laboratorium Profesor Antonious.
*****
 “Baringkan Najah di ranjang itu!” Perintah Profesor Antonious pada Sam dan Otoy menunjuk ranjang dengan rantai mesin di bibir-bibirnya.
“Najah tak mau, Ayah!” Teriak Najah sekerasnya.
Dia sadar bahwa dirinya akan dijadikan kelinci percobaan. Tubuh mungilnya itu direbahkan paksa di atas ranjang. Kedua tangannya dibelenggu oleh rantai-rantai mesin yang dijalankan oleh remote control.[1] Mulutnya dibungkam dengan kain.
“Tuan, Saya mohon jangan sakiti Non Najah. Kesalahan dia kemarin hanya kesalahan kecil anak-anak.” Mbok Halimah berlari memeluk kaki Professor Antonious.
“Minggir sana…!” Sergah Profesor Antonious mendorong Mbok Halimah.
“Aku hanya akan buat dia tak lagi membantah perintahku. Melalui penemuanku ini, dia akan menuruti semua perintahku…se…la…ma…nya ha…ha…ha…!”  Tukasnya lagi sambil tertawa.
“Sayang, sebentar saja ya. Rasanya tak sakit kok. Ayah akan menanam chip [2]ini di kepalamu. Hanya chip kecil. Cara kerjanya juga bergantung pada sikapmu. Kalau kamu memenuruti semua keinginan Ayah, remotenya tidak Ayah tekan dan chip itu tidak akan bereaksi. Tapi, kalau Kamu membangkang, tombol di remote controlnya, akan Ayah tekan dan… chip itu akan menyakitimu. Ha…ha…ha… Sakit yang luar biasa Najah…” Professor Antonious mendekatkan wajahnya pada wajah Najah. Najah memejamkan mata dan terus meronta.
“Dokter Adrian, Ayo kerjakan untukku sekarang…!”
Mata Dokter Adrian beradu dengan mata Najah yang sembab oleh air mata.
“Maaf, Prof. Saya tak bisa lakukan itu padanya. Kasihanilah Dia.” Ucapan Dokter Adrian terdengar memohon.
“Lakukan sekarang atau peluru ini akan menembus pelipismu. Kau masih ingin bertemu dan bercinta dengan istrimu, bukan?” Ujar Profesor Antonious meletakkan pistol di pelipis Dokter Adrian.
“Ba… baik Profesor Antonious! Akan saya lakukan sekarang.”
Dokter Adrian segera mengambil jarum suntik yang sebelumnya telah diisi cairan berwarna biru dari sebuah botol kecil. Saat jarum sebesar 1 milimeter itu nyaris mengenai lengan Najah tiba-tiba…
‘Brakk!’ “Hentikan! Kalau Kalian sedikit saja menyakiti Najah senjata ini akan melumat jantung kalian.” Teriak seorang bocah berumur sekitar 11 tahun mengacungkan senjata api jenis Colt M-14 Stayer setelah mendobrak paksa pintu laboratorium.
“Oh, anak panti ini lagi rupanya yang ingin jadi pahlawan kesiangan?“
“Ada apa Arif? Darimana Kau dapat Colt M-14 Stayer itu? Nyolong, ya? Atau habis nyogok kepolisian pusat? Tapi, sepertinya nggak mungkin karena kamu hanya anak panti asuhan yang miskin. Ingusan lagi. Ha…ha…ha…” Ujar Profesor Antonious lagi mendekati Arif kecil dan berjalan mengelilinginya.
“Tahu cara memakainya, nggak? Atau Kamu minta diajari dulu?”
Mata Najah berbinar melihat Arif berada di situ, seperti ada seberkas harapan untuknya walaupun belum jelas.
“Diam Kau! Atau peluru timah ini merusak tubuhmu!”
“Uuh…, takut!” Ledek Profesor Antonious memencengkan bibir, mengangkat tangan berakting seolah benar-benar takut.
Arif kecil berjalan perlahan mendekati ranjang Najah dan tetap mengacungkan pistol di tangannya. Otoy dan Sam mencoba beranjak dari tempat mereka berdiri untuk mencegah langkah Arif tapi, ada isyarat larangan dari Profesor Antonious.
“Biarkan Dia mengucap kata terakhir buat Najah” Ujar Profesor Antonious tersenyum mengejek.
Najah menggeleng seakan ingin mengatakan jangan mendekat, lari saja Kau dari sini tapi, apa daya mulutnya dibungkam rapat. Arif meraih tangan Najah, menggenggamnya erat.
“Kau harus bertahan, Najah. Kau ingat janjiku, kan? Aku akan terus menjaga, melindungi, mencintai dan menyayangimu sampai ada orang yang bisa menjaga, melindungi, mencintai dan menyayangimu seperti yang Aku lakukan.” Arif berucap tulus meneteskan air mata. Najah mengangguk,  meneteskan airmata.
“Tapi, janjimu tak akan Kau tunaikan Arif!” ‘Dor… Dor… Dor… Dor…!’ Beberapa peluru menembus punggung hingga dada Arif.
Allah…!” Arif berteriak lirih
‘Ctarr… Gluduk… Gluduk…’ Suara petir bersahut-sahutan beriringan dengan hembusan nafas terakhir Arif.
“Agghhh…!” Lengkingan suara Mbok Halimah memenuhi ruangan. Dia pingsan.
‘Croot.’ Darah segar Arif menetes ke tangan, wajah dan pakaian putih kumal Najah. Najah tak sanggup berteriak, matanya melotot mewakili mulutnya yang bungkam, tangannya semakin erat menggenggam tangan Arif, begitu juga Arif. Sekarang harapan itu benar-benar sirna.
“Najah, Kakak berjanji padamu. Kakak menyayangimu.” Suara Arif semakin hilang, tangan mungilnya itupun perlahan melepaskan tangan Najah yang meronta tak ingin dilepas.
‘Bugh…! Clotak…Clotak…!’ Arif dan Colt M-14 Stayer di tangannya terjatuh ke lantai berlumuran darah.
“Kak, Najah juga janji tidak akan ada orang lain di hati Najah kecuali Kakak.” Bathin Najah memejamkan mata. Ada bulir airmata di sudut matanya.
“Sekarang giliranmu Dokter Adrian! Tunaikan tugasmu atau Kau lebih memilih cepat bertemu malaikat penjaga neraka bersama bocah ingusan sok pahlawan ini.” Bentak Profesor Antonious melemparkan kotak kayu kecil ke arah Dokter Adrian kemudian menangkapnya.
Isinya sebuah lempengan yang sangat kecil. Dokter Adrian memakai sarung tangan karet. Lalu tanpa berfikir dan memandang Najah, Dia menyuntikkan cairan yang ternyata obat bius pada lengan kanan Najah.
“Aghhh…!” Erangan Najah menggema dan Ia mulai tak sadarkan diri.[]




[1] Mesin pengendali
[2] Lempengan kecil

Tidak ada komentar: