“Ayo, cepat ikut Ayah! Dasar anak bandel! Bukankah Ayah sudah
berkali-kali bilang sama Kamu, jangan sekali-kali Kamu mencoba keluyuran tanpa
Otoy dan Sam apalagi sampai berusaha kabur bersama anak panti asuhan itu. Dasar
anak tak tahu diuntung!” Seorang jangkung menarik paksa gadis berumur sekitar 8
tahunan.
“Ampun Ayah! Ampun!” Teriak gadis kecil itu meronta-ronta.
“Kamu akan Ayah kurung di gudang sampai Kamu jera!”
“Tidak Ayah, Najah takut, Najah tak mau Ayah, Najah mohon lepaskan Najah,
sakit Ayah!” Air mata gadis bernama Najah itu semakin deras mengalir.
“Brakk, Ckriek!” Suara pintu ditutup dan dikunci paksa
“Brakk, brakk, brakk!” Najah berusaha mendobrak pintu.
“Ayah, Najah mohon keluarkan Najah dari sini, Najah takut. Ayah, di sini
gelap, Najah takut.” Air matanya terus mengalir, sorot matanya memperhatikan
sekeliling.
“Cuma tiga hari kok, sayang! Tanpa makan,… tanpa minum tapi,… Kamu
nantinya akan terbiasa dan… menikmatinya. Ha…ha…ha…!” Suara pria jangkung itu
semakin menghilang seiring dengan langkahnya yang terdengar samar menuruni
tangga.
*****
Hari kedua
‘Brakk, brakk, brakk!’ “Ayah, Najah lapar! Najah tak tahan. Perut Najah
perih.” ‘Brakk! Brakk! Brakk!’ “Mbok! Tolong keluarkan Najah dari sini!”
Beberapa menit kemudian.
‘Tep…tep…tep…’ Suara langkah kaki terdengar pelan menaiki tangga dan
semakin jelas menuju gudang tempat Najah disekap.
“Ayah!” Najah mendekatkan
tubuhnya ke pintu sambil memegangi perutnya.
“Ayah!” Najah menempelkan telinganya
ke daun pintu.
“Non! Non Najah! Ini Mbok. Ini Mbok bawakan makanan untuk Non!” Suara
wanita terdengar sedikit berbisik.
“Mbok Halimah! Tolong Najah, Mbok! Najah lapar!”
‘Ckrieeek, krieekk’ Pintu gudang dibuka perlahan dengan kunci.
“Ini Non, Mbok buatin nasi uduk dan telor mata sapi, makanan kesukaan
Non.”
“Terima kasih, Mbok.” Najah menerima sepiring makanan pemberian Mbok Halimah.
Kemudian…
‘Brakk! Glontang!’ Piring di tangan Najah terjatuh ditendang kaki
seseorang.
“Kurang ajar Kau, Halimah…! Siapa yang menyuruhmu memberi Dia makan,
hah!” Plak!’ Sebuah tamparan mendarat di
pipi Mbok Halimah.
“Tapi, Tuan Antonious…”
“Sudah pergi sana!” Bentak Pria bernama Antonious dengan satu
tendangan keras di paha Mbok Halimah.”
‘Brakk! Ckrieek!’ Bunyi pintu ditutup dan dikunci kembali.
‘Brakk, brakk, brakk!’ “Ayah! Buka pintunya Ayah! Najah minta maaf,
Ayah!” Teriak Najah parau.
Melihat seperti tak ada harapan terbukanya pintu, Najah segera
mendekati nasi yang tumpah ke lantai gudang. Dia melahap nasi bercampur kotoran
itu tanpa merasa jijik. Tangan kecilnya gemetar. Bibirnya yang kemerahan itu
berubah pucat.
*****
Hari ketiga. Seekor kecoa berlarian melewati bertumpuk-tumpuk karung
goni, bersembunyi di balik tumpukan kardus bekas berisi mesin lokomotif yang sudah
usang. Sebuah tangan kecil mencoba mengejarnya dengan buas. Merasa nyawanya
terancam, semakin cepat kecoa berlari mengelilingi meja kayu yang kakinya
tinggal tiga.
‘Hap!’ “Akhirnya kamu kena juga kecoa manis!”
“Aku minta maaf ya, sayang. Sebenarnya Aku tak tega melakukan ini
padamu. Tapi,...” Dia memegang perutnya.
“Aku lapar.”
‘Hap, Glekk.’ Najah menelan kecoa kecil itu tanpa mengunyahnya sambil
memejamkan mata.
‘Ckrieek, Brakk!’ Pintu gudang terbuka.
“Ayah! Apakah Najah boleh keluar sekarang?” Najah berlari mendekap
kaki Antonious.
“Otoy! Sam! Bawa Najah ke laboratorium!”
“Baik, Prof!”
Tangan kekar Otoy dan Sam merengkuh paksa lengan Najah.
“Ayah! Najah mau Ayah apakan? Lepaskan Najah! Mbok! Tolong Najah.” Najah
diseret menuju ruang laboratorium Profesor Antonious.
*****
“Baringkan Najah di ranjang
itu!” Perintah Profesor Antonious pada Sam dan Otoy menunjuk ranjang dengan
rantai mesin di bibir-bibirnya.
“Najah tak mau, Ayah!” Teriak Najah sekerasnya.
Dia sadar bahwa dirinya akan dijadikan kelinci percobaan. Tubuh
mungilnya itu direbahkan paksa di atas ranjang. Kedua tangannya dibelenggu oleh
rantai-rantai mesin yang dijalankan oleh remote control.[1] Mulutnya
dibungkam dengan kain.
“Tuan, Saya mohon jangan sakiti Non Najah. Kesalahan dia kemarin hanya
kesalahan kecil anak-anak.” Mbok Halimah berlari memeluk kaki Professor Antonious.
“Minggir sana…!” Sergah Profesor Antonious mendorong Mbok Halimah.
“Aku hanya akan buat dia tak lagi membantah perintahku. Melalui
penemuanku ini, dia akan menuruti semua perintahku…se…la…ma…nya ha…ha…ha…!” Tukasnya lagi sambil tertawa.
“Sayang, sebentar saja ya. Rasanya tak sakit kok. Ayah akan menanam chip
[2]ini di
kepalamu. Hanya chip kecil. Cara kerjanya juga bergantung pada sikapmu. Kalau kamu
memenuruti semua keinginan Ayah, remotenya tidak Ayah tekan dan chip itu tidak
akan bereaksi. Tapi, kalau Kamu membangkang, tombol di remote controlnya, akan
Ayah tekan dan… chip itu akan menyakitimu. Ha…ha…ha… Sakit yang luar biasa Najah…”
Professor Antonious mendekatkan wajahnya pada wajah Najah. Najah memejamkan
mata dan terus meronta.
“Dokter Adrian, Ayo kerjakan untukku sekarang…!”
Mata Dokter Adrian beradu dengan mata Najah yang sembab oleh air mata.
“Maaf, Prof. Saya tak bisa lakukan itu padanya. Kasihanilah Dia.”
Ucapan Dokter Adrian terdengar memohon.
“Lakukan sekarang atau peluru ini akan menembus pelipismu. Kau masih
ingin bertemu dan bercinta dengan istrimu, bukan?” Ujar Profesor Antonious
meletakkan pistol di pelipis Dokter Adrian.
“Ba… baik Profesor Antonious! Akan saya lakukan sekarang.”
Dokter Adrian segera mengambil jarum suntik yang sebelumnya telah
diisi cairan berwarna biru dari sebuah botol kecil. Saat jarum sebesar 1
milimeter itu nyaris mengenai lengan Najah tiba-tiba…
‘Brakk!’ “Hentikan! Kalau Kalian sedikit saja menyakiti Najah senjata
ini akan melumat jantung kalian.” Teriak seorang bocah berumur sekitar 11 tahun
mengacungkan senjata api jenis Colt M-14 Stayer setelah mendobrak paksa pintu
laboratorium.
“Oh, anak panti ini lagi rupanya yang ingin jadi pahlawan kesiangan?“
“Ada apa Arif? Darimana Kau dapat Colt M-14 Stayer itu? Nyolong, ya?
Atau habis nyogok kepolisian pusat? Tapi, sepertinya nggak mungkin
karena kamu hanya anak panti asuhan yang miskin. Ingusan lagi. Ha…ha…ha…” Ujar Profesor
Antonious lagi mendekati Arif kecil dan berjalan mengelilinginya.
“Tahu cara memakainya, nggak? Atau Kamu minta diajari dulu?”
Mata Najah berbinar melihat Arif berada di situ, seperti ada seberkas
harapan untuknya walaupun belum jelas.
“Diam Kau! Atau peluru timah ini merusak tubuhmu!”
“Uuh…, takut!” Ledek Profesor Antonious memencengkan bibir, mengangkat
tangan berakting seolah benar-benar takut.
Arif kecil berjalan perlahan mendekati ranjang Najah dan tetap
mengacungkan pistol di tangannya. Otoy dan Sam mencoba beranjak dari tempat
mereka berdiri untuk mencegah langkah Arif tapi, ada isyarat larangan dari Profesor
Antonious.
“Biarkan Dia mengucap kata terakhir buat Najah” Ujar Profesor Antonious
tersenyum mengejek.
Najah menggeleng seakan ingin mengatakan jangan mendekat, lari
saja Kau dari sini tapi, apa daya mulutnya dibungkam rapat. Arif meraih
tangan Najah, menggenggamnya erat.
“Kau harus bertahan, Najah. Kau ingat janjiku, kan? Aku akan terus
menjaga, melindungi, mencintai dan menyayangimu sampai ada orang yang bisa
menjaga, melindungi, mencintai dan menyayangimu seperti yang Aku lakukan.” Arif
berucap tulus meneteskan air mata. Najah mengangguk, meneteskan airmata.
“Tapi, janjimu tak akan Kau tunaikan Arif!” ‘Dor… Dor… Dor… Dor…!’
Beberapa peluru menembus punggung hingga dada Arif.
“Allah…!” Arif berteriak lirih
‘Ctarr… Gluduk… Gluduk…’ Suara petir bersahut-sahutan beriringan
dengan hembusan nafas terakhir Arif.
“Agghhh…!” Lengkingan suara Mbok Halimah memenuhi ruangan. Dia
pingsan.
‘Croot.’ Darah segar Arif menetes ke tangan, wajah dan pakaian putih
kumal Najah. Najah tak sanggup berteriak, matanya melotot mewakili mulutnya
yang bungkam, tangannya semakin erat menggenggam tangan Arif, begitu juga Arif.
Sekarang harapan itu benar-benar sirna.
“Najah, Kakak berjanji padamu. Kakak menyayangimu.” Suara Arif semakin
hilang, tangan mungilnya itupun perlahan melepaskan tangan Najah yang meronta
tak ingin dilepas.
‘Bugh…! Clotak…Clotak…!’ Arif dan Colt M-14 Stayer di tangannya terjatuh
ke lantai berlumuran darah.
“Kak, Najah juga janji tidak akan ada orang lain di hati Najah kecuali
Kakak.” Bathin Najah memejamkan mata. Ada bulir airmata di sudut matanya.
“Sekarang giliranmu Dokter Adrian! Tunaikan tugasmu atau Kau lebih
memilih cepat bertemu malaikat penjaga neraka bersama bocah ingusan sok
pahlawan ini.” Bentak Profesor Antonious melemparkan kotak kayu kecil ke arah
Dokter Adrian kemudian menangkapnya.
Isinya sebuah lempengan yang sangat kecil. Dokter Adrian memakai
sarung tangan karet. Lalu tanpa berfikir dan memandang Najah, Dia menyuntikkan
cairan yang ternyata obat bius pada lengan kanan Najah.
“Aghhh…!”
Erangan Najah menggema dan Ia mulai tak sadarkan diri.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar