Minggu, 25 Januari 2015

MITOS RUMAH TUSUK SATE (Dalam Novel Dwilogi "Perjanjian dari Barzakh")


Surabaya Pukul 24:00 WIB.
Malam yang berawan gelap, mencekam, tanpa sinar bulan ataupun bintang, police line melintang di halaman sebuah rumah tusuk sate[1] seluas satu hektar, yang terletak di kawasan perumahan Darmo Surya, Surabaya. Suara sirine mobil polisi dan ambulans meraung-raung bersahutan. Beberapa warga perumahan tampak berkerumun ingin menyaksikan peristiwa yang tak biasa terjadi di komplek mereka. Kantuk yang mendera tak jadi persoalan bagi mereka. Para wartawan dari berbagai media cetak dan elektronik berebut memotret kejadian di TKP[2]. Ada beberapa yang ingin menerobos masuk rumah megah tiga tingkat itu dan beberapa lagi sedang mewawancarai petugas penyidik dari kepolisian. Belum banyak mendapat informasi lantaran pihak kepolisian masih bungkam dengan kasus ini, para wartawan mengorek keterangan tambahan dari warga yang berkerumun.
       “Sebelum mereka memutuskan pindah ke rumah tusuk sate ini, saya sebagai tetangganya sudah memperingatkan bahwa tinggal di rumah tusuk sate itu pamali. Menurut mitosnya, penghuninya akan mendapatkan musibah bertubi-tubi. Dulu suaminya yang pertama meninggal kecelakaan. Sekarang dia dan suaminya yang kedua tewas dibunuh anaknya sendiri. Ini akibatnya kalau menantang mitos.”
“Ah... itu kan hanya mitos. Mungkin saja kejadian ini hanya kebetulan.” Timpal yang lain menyerobot bicara.
“Saya tidak menyangka Ihsan bisa berbuat seperti itu. Saya tidak percaya ini. Dia anak yang pendiam dan murah senyum.” Terang seorang ibu muda.
“Ya... pasti ada alasan atau tekanan mental yang menimpanya. Saya sering memergoki ayah dan ibunya bertengkar bahkan saling pukul di depan Ihsan.” Timpal yang lain.
“Ayah tiri Ihsan itu seorang Briptu yang dipecat sebulan lalu karena kasus pelecehan seksual anak di bawah umur. Mungkin itu alasannya mengapa pihak kepolisian belum berani terbuka pada pers.” Jelas seorang warga memelankan suaranya, seperti takut terdengar.
Sementara kita biarkan wartawan-wartawan yang haus informasi itu mengorek keterangan warga, kita akan menengok langsung ke dalam rumah. Jika kita masuk ke dalam rumah, tampak jelas jejak kaki kecil berwarna merah darah masih basah mulai ruang tamu sampai kamar tamu. Ada bercak darah di kunci pintu kamar tamu dan gagang telepon di ruang tamu.
Di pojok ruangan kamar tamu duduk ketakutan seorang anak laki-laki berumur 7 tahun dengan mata tajam dan hidungnya yang mancung. Tangan kecilnya berlumuran darah. Kulit sawo matangnya kini tampak pucat. Baju koko dan wajahnya berlumuran darah. Peci putinya tergeletak tak jauh darinya. Peci itu juga berlumuran darah. Bibirnya gemetar. Sebuah pisau cukur, tongkat pemukul kasti dan pisau buah yang berlumuran darah tergeletak di samping mayat laki-laki bertelanjang dada dan mulai beruban. Umurnya ditaksir sekitar 40 tahunan. Petugas kepolisian kemudian membungkus mayat dengan luka tusukan di perut dan luka parah di kepala.
Seorang perawat Rumah Sakit yang datang bersama polisi mencoba berinteraksi dengan anak laki-laki yang sedang memeluk lututnya di pojok ruangan. “Ihsan...! Ihsan sayang. Jalan-jalan ke luar yuk sama suster.” Anak laki-laki bernama Ihsan itu memeluk sang perawat.
“Suster... Ihsan tidak sengaja membunuh ayah. Ayah yang bunuh bunda. Dan bunda yang membunuh tante itu.” Tangan mungil Ihsan menunjuk gadis berumur 20 tahunan yang mayatnya telah dibungkus anggota polisi. Mayat yang hanya berbalut selimut putih dan penuh bercak darah itu, dibawa dari kamar utama yang berada di sebelah kamar tamu. Ihsan sempat melihat cincin berlian di jari manis tangan kanan mayat gadis itu.
“Iya sayang... Ihsan tenang dulu ya… Ihsan nggak boleh takut. Nanti katakan yang sebenarnya pada Pak polisi!” Polisi terlihat mengamankan barang bukti berupa pisau cukur, tongkat pemukul kasti dan pisau buah dengan hati-hati. Kemudian membungkus mayat laki-laki yang dipanggil ayah oleh Ihsan. Ihsan semakin erat memeluk perawat Rumah Sakit. Tubuhnya bergetar.
Penyidik memotret bercak darah yang masih basah di kamar tamu dan kamar utama. Kamar utama itu menghadap ke dapur. Sementara di dapur yang berisi prabot mewah di ruang tengah tampak penuh bercak darah yang sangat anyir. Keadaanya sangat berantakan. Prabot mewah dan kursi-kursinya terpental kesana-kemari. Polisi membungkus dengan hati-hati, mayat perempuan berjilbab ungu yang tergeletak dengan perut terkoyak. Ihsan berlari dari pelukan suster ke arah mayat perempuan yang berumur sekitar 30 tahunan itu.
“Bunda...!” Teriak Ihsan, tangisnya pecah, suaranya parau kemudian hilang dikalahkan oleh raungan sirine mobil polisi dan ambulans di halaman. Dia mengejar jenazah Bundanya yang digotong polisi masuk ke mobil ambulans.
Seorang polisi laki-laki muda menarik tubuh kecil Ihsan yang penuh darah, kemudian menenggelamkan wajah Ihsan ke dalam pelukan. Tangis Ihsan kemudian berhenti, matanya melotot sangat tajam. Giginya bergemeletuk geram. Dia mendorong tubuh kekar polisi muda. Kedua tangannya mengepal namun tetap sejajar dengan bahu. Hatinya berkata sesuatu, tapi tidak ada yang mendengar kecuali dirinya, langit dan Tuhan.
“Aku benci Ayah...! Aku benci perempuan teman Ayah…! Aku benci Islam…!” kata-kata terakhir Ihsan membuat langit sangat sedih. Langit kemudian berteriak mengeluarkan gemuruh petir dan menurunkan hujan yang sangat lebat. Tubuh Ihsan yang penuh darah, kini terguyur air hujan. Langit telah menumpahkan air matanya. Tangisan langit adalah lambang kesedihan dan pertanyaan. Langit bertanya kenapa peristiwa ini membuat Ihsan harus membenci Islam.
Tidak ada yang tahu bahwa malam itu adalah malam terakhir Ihsan mengeluarkan air mata. Air matanya telah kering dan hatinya kini sekeras batu. Ya... memang tidak ada yang tahu karena hanya Tuhan-lah yang tahu.[]




[1] Rumah yang memiliki pintu dan pintu gerbang yang berhadapan langsung ke jalan raya. Mitos rumah tusuk sate sangat terkenal dan dipercaya mendatangkan musibah kematian bagi penghuninya.
[2] Tempat Kejadian Perkara.

Tidak ada komentar: