Malam yang
berawan gelap, mencekam, tanpa sinar bulan ataupun bintang, police line
melintang di halaman sebuah rumah tusuk sate[1] seluas satu hektar, yang
terletak di kawasan perumahan Darmo Surya, Surabaya. Suara sirine mobil polisi dan
ambulans meraung-raung bersahutan. Beberapa warga perumahan tampak berkerumun
ingin menyaksikan peristiwa yang tak biasa terjadi di komplek mereka. Kantuk
yang mendera tak jadi persoalan bagi mereka. Para wartawan dari berbagai media
cetak dan elektronik berebut memotret kejadian di TKP[2]. Ada beberapa yang ingin
menerobos masuk rumah megah tiga tingkat itu dan beberapa lagi sedang mewawancarai
petugas penyidik dari kepolisian. Belum banyak mendapat informasi lantaran
pihak kepolisian masih bungkam dengan kasus ini, para wartawan mengorek
keterangan tambahan dari warga yang berkerumun.
“Ah... itu kan
hanya mitos. Mungkin saja kejadian ini hanya kebetulan.” Timpal yang lain
menyerobot bicara.
“Saya tidak
menyangka Ihsan bisa berbuat seperti itu. Saya tidak percaya ini. Dia anak yang
pendiam dan murah senyum.” Terang seorang ibu muda.
“Ya... pasti ada
alasan atau tekanan mental yang menimpanya. Saya sering memergoki ayah dan
ibunya bertengkar bahkan saling pukul di depan Ihsan.” Timpal yang lain.
“Ayah tiri Ihsan
itu seorang Briptu yang dipecat sebulan lalu karena kasus pelecehan seksual
anak di bawah umur. Mungkin itu alasannya mengapa pihak kepolisian belum berani
terbuka pada pers.” Jelas seorang warga memelankan suaranya, seperti takut
terdengar.
Sementara kita biarkan
wartawan-wartawan yang haus informasi itu mengorek keterangan warga, kita akan
menengok langsung ke dalam rumah. Jika kita masuk ke dalam rumah, tampak jelas
jejak kaki kecil berwarna merah darah masih basah mulai ruang tamu sampai kamar
tamu. Ada bercak darah di kunci pintu kamar tamu dan gagang telepon di ruang
tamu.
Di pojok ruangan
kamar tamu duduk ketakutan seorang anak laki-laki berumur 7 tahun dengan mata
tajam dan hidungnya yang mancung. Tangan kecilnya berlumuran darah. Kulit sawo
matangnya kini tampak pucat. Baju koko dan wajahnya berlumuran darah. Peci
putinya tergeletak tak jauh darinya. Peci itu juga berlumuran darah. Bibirnya
gemetar. Sebuah pisau cukur, tongkat pemukul kasti dan pisau buah yang
berlumuran darah tergeletak di samping mayat laki-laki bertelanjang dada dan mulai
beruban. Umurnya ditaksir sekitar 40 tahunan. Petugas kepolisian kemudian
membungkus mayat dengan luka tusukan di perut dan luka parah di kepala.
Seorang perawat
Rumah Sakit yang datang bersama polisi mencoba berinteraksi dengan anak
laki-laki yang sedang memeluk lututnya di pojok ruangan. “Ihsan...! Ihsan
sayang. Jalan-jalan ke luar yuk sama suster.” Anak laki-laki bernama Ihsan itu
memeluk sang perawat.
“Suster... Ihsan
tidak sengaja membunuh ayah. Ayah yang bunuh bunda. Dan bunda yang membunuh
tante itu.” Tangan mungil Ihsan menunjuk gadis berumur 20 tahunan yang mayatnya
telah dibungkus anggota polisi. Mayat yang hanya berbalut selimut putih dan
penuh bercak darah itu, dibawa dari kamar utama yang berada di sebelah kamar
tamu. Ihsan sempat melihat cincin berlian di jari manis tangan kanan mayat gadis
itu.
“Iya sayang...
Ihsan tenang dulu ya… Ihsan nggak boleh takut. Nanti katakan yang sebenarnya
pada Pak polisi!” Polisi terlihat mengamankan barang bukti berupa pisau cukur,
tongkat pemukul kasti dan pisau buah dengan hati-hati. Kemudian membungkus
mayat laki-laki yang dipanggil ayah oleh Ihsan. Ihsan semakin erat memeluk
perawat Rumah Sakit. Tubuhnya bergetar.
Penyidik memotret
bercak darah yang masih basah di kamar tamu dan kamar utama. Kamar utama itu
menghadap ke dapur. Sementara di dapur yang berisi prabot mewah di ruang tengah
tampak penuh bercak darah yang sangat anyir. Keadaanya sangat berantakan.
Prabot mewah dan kursi-kursinya terpental kesana-kemari. Polisi membungkus
dengan hati-hati, mayat perempuan berjilbab ungu yang tergeletak dengan perut
terkoyak. Ihsan berlari dari pelukan suster ke arah mayat perempuan yang berumur
sekitar 30 tahunan itu.
“Bunda...!”
Teriak Ihsan, tangisnya pecah, suaranya parau kemudian hilang dikalahkan oleh
raungan sirine mobil polisi dan ambulans di halaman. Dia mengejar jenazah Bundanya
yang digotong polisi masuk ke mobil ambulans.
Seorang polisi laki-laki
muda menarik tubuh kecil Ihsan yang penuh darah, kemudian menenggelamkan wajah
Ihsan ke dalam pelukan. Tangis Ihsan kemudian berhenti, matanya melotot sangat
tajam. Giginya bergemeletuk geram. Dia mendorong tubuh kekar polisi muda. Kedua
tangannya mengepal namun tetap sejajar dengan bahu. Hatinya berkata sesuatu,
tapi tidak ada yang mendengar kecuali dirinya, langit dan Tuhan.
“Aku benci Ayah...!
Aku benci perempuan teman Ayah…! Aku benci Islam…!” kata-kata terakhir Ihsan
membuat langit sangat sedih. Langit kemudian berteriak mengeluarkan gemuruh
petir dan menurunkan hujan yang sangat lebat. Tubuh Ihsan yang penuh darah,
kini terguyur air hujan. Langit telah menumpahkan air matanya. Tangisan langit
adalah lambang kesedihan dan pertanyaan. Langit bertanya kenapa peristiwa ini
membuat Ihsan harus membenci Islam.
Tidak ada yang tahu
bahwa malam itu adalah malam terakhir Ihsan mengeluarkan air mata. Air matanya
telah kering dan hatinya kini sekeras batu. Ya... memang tidak ada yang tahu karena
hanya Tuhan-lah yang tahu.[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar