Rabu, 01 April 2015

TASBIH LUKA SULAIMAN AL-MANDURY (1)

/1/

Ada rasa sakit yang tak biasa saat kecewa. Sulaiman yang dipanggil Iman itu menatap tajam ke arah cermin.

Bayangan di dalam cermin tiba-tiba tertawa menyeringai. Tawa itu terlihat mengejek.

Kau kecewa pada siapa, Sulaiman? Takdir? Bayangan di cermin berujar geram.

Tidak.

Siapapun yang membuatmu kecewa, yang bersalah adalah dirimu sendiri.

Kenapa diriku?

Saat kecewa, hendaknya kau mengulas kembali masa lalumu! Jangan-jangan di masa lalu kau pernah membuat seseorang kecewa. Ya. Sengaja atau tidak.

Kau mungkin benar. Di masa lalu, aku sering mengecewakan Mak(1). Saat Mak menginginkanku menjadi petani, aku malah kabur ke pesantren. Apa kau tahu?
Hmm... Saat itu, aku iri pada teman-temanku yang fasih melafadzkan surat Al-Fatihah. Salahkah aku jika ingin menuntut ilmu seperti teman-teman yang lain? Tak hanya itu, aku juga sering mengecewakan Mbuk dengan tingkahku yang bersembunyi di lemari setiap kali aku mencuri ikan dari dapur. Tapi, apakah balasannya harus seperti ini, bukankah yang kulakukan di masa lalu adalah kenakalan anak-anak yang masih dalam batas wajar?

Balasan seperti apa yang kau maksud? 

Aku ditolak Sarinah? Jika kekecewaanku saat ini karena kenakalanku pada Mak dan Mbok(2), kenapa aku harus dikecewakan karena cinta. Padahal kalau soal asmara, baru pertama kali ini aku merasakan jatuh cinta. Dan aku bukan playboy, yang mengumbar cintaku pada setiap gadis yang kutemui.

Hahahaha... sudah patah jadi dua rupanya hatimu, Man?

Janganlah Kau meledekku seperti itu?

Baiklah...! Sorry, lalu kenapa dia menolakmu?

Alasannya karena aku selalu memegang tasbihku kemanapun aku pergi. Dia ingin memisahkan diriku dari tasbih ini? Sulaiman memandang tasbih kesayangannya. Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa aku berpisah dari belahan jiwaku ini?

Jika tasbih itu, belahan jiwamu. Menikah sajalah kau dengan tasbih itu?

Tidak. Aku yakin, akan ada perempuan yang mau menerima diriku dan tasbihku. Mungkin sebenarnya Sarinah menolakku karena aku hanya punya 5.000 rupiah untuk maskawin, bukan karena tasbihku. 

Sudahlah Iman...! Apakah dunia ini hanya selebar daun kelor?

Kau benar, cermin! Persetan dengan Sarinah. Biarkan saja Sarinah pergi ke pasar, dan mati di sana. Bukankah dia bisa menemukan recehan di pasar. Aku inginkan Hayati. Semoga Hayati mau menerima Sulaiman dan tasbihnya. Bukan hanya recehan di kantongnya. Hayati yang seperti itu, pasti tak akan menolak menerima maskawin hasil jerih payahku sendiri. Ya, meski hanya 5.000 rupiah.


bersambung...

NB : Puisi Esai ini, menjadi Bank Ide untuk novel "Tasbih Luka Sulaiman Al-Mandury"
(1) : Panggilan Ayah di salah satu daerah di Madura
(2) : Panggilan Ibu di salah satu daerah di Madura

Tidak ada komentar: