Senin, 19 Januari 2015

PONDOK PESANTREN METAL MUSLIM PASURUAN ANTARA DAKWAH DAN PATOLOGI SOSIAL

Profil Pondok Pesantren
Ketika memasuki lingkungan Pesantren seluas 9,5 ha ini kita tidak akan disambut santri dengan kain sarung, baju koko dan kopiah, sebagaimana terdapat di Pondok salafiyah atau pondok modern umumnya. Di tempat tersebut santri-santri putra dibebaskan merokok, berambut panjang, memakai kaos atau bercelana jins belel. Selain itu mereka diperbolehkan membawa alat musik atau tape recorder sebagai teman sepi. Hal ini karena, Pondok Pesantren Metal adalah simbol kebebasan berekspresi yang terarah. Sang jendral Metal (julukan Kiai Bakar) tidak menerapkan peraturan terlalu ketat, yang jelas semua santri harus mengikuti shalat berjama’ah lima waktu.
Nama lengkap Pondok Pesantren yang diasuh oleh K.H. Abu Bakar Kholil ini adalah : Metal Muslim. Sedangkan makna Metal adalah singkatan dari : MEnghafal / MEmbacaTulisan AL-qur’an. Metal juga bisa berarti Mengaji al-Qur’an Tartil. Hal ini dikarenakan sistem mengaji al-Qur’an yang diajarkan oleh pengasuh adalah dengan cara tartil (sebuah metode membaca al-Qur’an). Adapun misinya adalah amar ma’ruf nahi mungkar serta memperbaiki akhlaq. Dan lambang Pesantren tersebut adalah tiga jari yang berarti Iman, Islam dan Ihsan.
       Selain karena sistemnya yang menggunakan cara mengaji ala Pondok Pesantren al-Hidayah Lasem, Rembang, Jawa Tengah (tempat K.H. Abu Bakar Kholil menimba ilmu), nama Metal tidak lantas muncul tanpa sejarah. Cikal bakal pesantren yang dibangun di atas tanah seluas 9,5 ha ini adalah sebuah majlis ta’lim al-Qur’an yang bernama al-Hidayah. Majlis Ta’lim yang memiliki santri kalong tersebut diasuh oleh K.H. Muhammad Kholil dan Nyai H. Ummi Kultsum. Majlis Ta’lim yang berdiri pada sekitar tahun 1992 itu berlokasi di kediaman beliau, di Pedukuhan Nambangan RT 01 RW 01 Desa Rejoso Lor.
Beberapa tahun kemudian, sepeninggalan Kiai Kholil menghadap Allah, majlis ta’lim al-Hidayah kehilangan sosok seorang guru. Karena tidak ingin para santri putus belajar, Bunyai Ummi Kultsum mendesak putra-putranya untuk meneruskan perjuangan Kiai Kholil. Atas desakan sang ibunda, putra Kiai yang bernama Muhammad Sa’id, mengajak adik bungsunya, Abu Bakar untuk pulang dari menimba ilmu dan meneruskan perjuangan  ayahanda mereka.
Namun tanpa disangka adik bungsu beliau tidak menghendaki mengajar al-Qur’an di awal kedatangannya menimba ilmu. Dan anehnya tanpa memberikan alasan yang jelas, sang adik hanya gemar mengumpulkan pemuda untuk bermain sepak bola, badminton dan voley. Karena hal tersebut, Majlis Ta’lim yang asalnya memiliki santri itu menjadi vacuum dari proses belajar mengajar. Pada saat itu Majlis Ta’lim hanya digunakan untuk tempat shalat berjama’ah saja.
Beberapa tahun kemudian, setelah Bakar muda berhasil berkawan dengan pemuda - pemuda Desa, barulah beliau mengajak pemuda - pemuda tersebut untuk mengaji al-Qur’an. Sejak saat itu, Majlis Ta’lim memiliki santri berjumlah ratusan baik laki-laki dan perempuan. Pelajaran Utama yang dikaji adalah al-Qur’an, Mahroj, Tajwid,  dan Tafsir Jalalain. Adapun jadwalnya adalah sebagai berikut : (1) pengajian kitab tafsir jalalain ba’da Subuh dan ba’da Dhuhur oleh K.H. Muhammad Sa’id (2) al-Qur’an oleh K.H. Abu Bakar Kholil (3) tajwid dan mahroj pada pukul 9 pagi dan ba’da Isya’ oleh Ustadz senior.
Setelah kurang lebih 5 - 7 tahun kemudian, ada seorang anggota Polisi Resort Probolinggo datang meminta bantuan untuk menyembuhkan putrinya yang sedang mengalami gangguan jiwa. Dan setelah dibina selama 3 minggu putri anggota PolRes Probolinggo tersebut berhasil disembuhkan. Sejak saat itu banyak orang dengan latar belakang pengidap patologi sosial (seperti : orang gila, hamil di luar nikah, mantan nara pidana, perampok, anak jalanan, buronan polisi, pecandu narkoba dan para pemabuk) berdatangan dari berbagai penjuru daerah. Karena jumlah mereka yang begitu banyak akhirnya pada tahun 1997 Kiai Bakar membeli tanah serta bangunan yang akan disewakan sebagai café oleh kakak beliau, Kiai Sa’id.
Pada tahun 1999, karena jumlah santri semakin banyak maka secara bertahap Kiai Bakar membeli tanah sawah yang akhirnya mencapai luas sekitar 9,5 ha untuk pembangunan gedung pesantren di Pedukuhan Tanjung Sari RT 04 RW 01 Desa Rejoso Lor. Dan beberapa tanah untuk pembangunan Pesantren tersebut ada yang berasal dari pemberian Mbah  Abdul Jalil, seorang pembesar dan Wali di Desa Rejoso. Beberapa waktu kemudian dengan alasan sederhana yakni karena santrinya yang berlatarbelakang pengidap patologi sosial itu tidak interest dengan nama al-Hidayah maka, muncullah ide mengganti nama majlis ta’lim dengan Pondok Pesantren Metal Muslim.
Berdasarkan beberapa informasi yang terkumpul, dana untuk kebutuhan santri sehari-hari datangnya tidak terduga-duga. Seperti penuturan Bu Asmania, Sang pemilik warung nasi sebagai berikut,
”Yai pernah menolong orang gila, saat dimandikan si orang gila mengatakan kedinginan. Sedang menurut Yai kalau orang gila sudah tahu bedanya dingin atau tidak berarti dia sebenarnya tidak gila. Eh, ternyata keesokan harinya Yai mendapat kiriman uang sebanyak Rp. 1.000.000,00 dari Jakarta. Mungkin si orang gila adalah wali. Dana untuk Pondok terus mengalir mungkin karena karomah Yai.”
Diperkuat dengan cerita yang dituturkan oleh Bunyai Maslahah, Kakak Ipar Kiai Bakar,
”Saat itu adik sedang berada di tanah suci, kemudian Dia didatangi salah satu santrinya yang gila dan diberi selembar uang, mata uang sana. Nilainya, kalau ditukar dengan rupiah sebesar Rp. 100.000.000,00. Dan ketika Dia sudah kembali ke Indonesia, ternyata orang gila tersebut sudah meninggal.”
Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan santri yang jumlahnya kurang lebih sekitar 1.800 orang, setiap hari juru masak pondok menanak nasi sekitar 90 kilogram sampai satu kuintal. Pesantren menyediakan lauk pauk sederhana seperti tahu dan tempe. Terkadang juga menyediakan menu istimewa seperti telur dan ikan laut. Untuk santri laki-laki, setiap hari menerima 2 batang rokok seharga Rp 7.500 per slop.
Data Santri                                                                                      
Berdasarkan informasi yang didapat, santri Metal berasal dari Jember, Banyuwangi, Solo, Jakarta, Probolinggo, Lumajang, Gresik, Bali, Malang, Jepara, Semarang, Pekalongan, Brunei, Malaysia dll. Sedangkan pendidikan yang ada di Pesantren Metal sendiri adalah pendidikan informal atau mereka lebih akrab dengan nama sekolah rakyat. Adapun kegiatan belajar mengajarnya adalah mengaji al-Qur’an dan Shalawat.
Adapun persyaratan mendaftar menjadi santri Metal adalah sebagai berikut : (1) Waktu penerimaan santri pada hari Ahad pagi, selesai pengajian rutin, saat Kiai Metal open house menerima tamu. (2) Diantar orangtua/ wali. (3) Tidak dipungut biaya yang mengikat atau sesuai kemampuan bahkan menurut keterangan Bu Asmania, tanpa dipungut biaya.
Karena di Pesantren Metal tidak ada manajemen pembukuan data kuantitatif keluar masuknya santri maka, jumlah yang peneliti peroleh adalah berdasarkan ingatan Pengasuh Pesantren atau santri yang bertugas menyiapkan makanan. Namun, Bukan rahasia publik lagi kalau Pesantren Metal dikatakan sebagai Pondok Pesantren unik dan memiliki ciri khusus. Sebab, santri atau santriwati yang belajar di Pesantren tersebut rata-rata mengidap patologi sosial (penyakit sosial masyarakat).
Santri-santriwati di Pondok Pesantren Metal dapat digolongkan menjadi : Pertama, santri-santriwati pengguna narkoba. Jumlah santri kelompok ini, yang telah dibina K.H. Abu Bakar Kholil sejak tahun 1999 sampai awal tahun 2005, sekitar 1.000 orang. Kedua, santri-santriwati orang gila. K.H. Abu Bakar menyatakan, jumlah orang gila itu terus bertambah, karena hampir setiap hari menerima kiriman paket orang gila minimal empat orang. Pada tahun 2005 jumlah mereka mencapai 348 orang. Seiring bertambahnya hari, orang gila tersebut banyak yang meninggal, jumlahnya mencapai 100 orang. Penyebab meninggalnyapun beragam, seperti sakit atau terbunuh oleh teman mereka sendiri. Dan berdasarkan pengamatan reporter Al-fikrah, jumlah orgil saat ini ada 4 orang, satu diantaranya sudah mendekati kesembuhan karena dia sudah mau mengikuti pengajian Ahad pagi bersama Kiai. Kelompok ketiga, adalah santriwati wanita hamil pranikah dan pada tahun 2005 jumlahnya 79 orang. Saat ini ada sekitar 6 orang dari kalangan mahasisiwi, SMP dan SMA.
Kelompok keempat, santri-santriwati korban fitnah dukun santet dan pada tahun 2005 jumlahnya tidak bisa diketahui dengan jelas. Berikut penuturan Kiai Bakar,“Jumlah santri jenis keempat itu, saya tak ingat benar. pokoknya mencapai puluhan.” Kelompok kelima, bayi-bayi dan anak-anak terlantar yang tidak diakui keberadaannya oleh orangtuanya. Saat ini jumlahnya mencapai 349 orang. Kelompok keenam, santri kalong yang sehat jasmani dan rohani, mulai dari kalangan pejabat, Kiai, ustadz, pelajar, musisi, sampai rakyat jelata. Mereka biasanya hanya mengikuti pengajian rutin yang digelar pada setiap Ahad pagi. Adapun jumlah mereka, mencapai 3.000 orang. Sedangkan menurut keterangan santri pertama Kiai Bakar, untuk saat ini santri pecandu, gila, mantan perampok, anak jalanan, hamil di luar nikah dan mantan napi berjumlah total 70 orang. Jumlah tersebut diperoleh dari jumlah jatah makan santri setiap hari.
Riwayat Hidup  K.H. Abu Bakar Kholil
Nama lengkap beliau adalah K.H. Abu Bakar Kholil, nama Kholil di belakang nama diambil dari nama belakang Ayah beliau. Sosok Kiai karismatik dan bersahaja ini terlahir dari pasangan K.H. Muhammad Kholil dan Ibu Nyai Hj. Ummi Kultsum pada sekitar tahun 1965. Kedua orangtua beliau adalah pendatang yang bukan asli penduduk Rejoso. Ayah beliau berasal dari Kecamatan Kebon Candi. Beliau adalah putra terakhir dari 13 bersaudara. Namun, ada yang meninggal karena keguguran sejumlah 6 orang.
Di kehidupan masa kecilnya beliau sudah terlihat kewaliannya. Menurut penuturan kakak kandung beliau, K.H. Muhammad Sa’id, sosok yang dipanggil acang oleh keponakannya itu sama sekali tidak memiliki rasa dendam di dalam hatinya.
Tentang riwayat pendidikan Kiai nyentrik yang akrab dipanggil Mas Bakar oleh santrinya, salah satu jama’ah pengajian mengatakan, “Ketika kecil beliau bersekolah di SDN Rejoso, kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Salafiyah yang diasuh Kiai Abdul Hamid bin Abdullah.”
Hal tersebut diperkuat oleh keterangan Kakak beliau, Kiai Sa’id yang mengatakan,
 “Dulu adik mondok di Kiai Hamid, aba saya juga mondok di Yai Hamid, saya sendiri juga mondok di sana, adik dititipkan ke saya. Sewaktu dapat satu atau dua malam gitu, aba dipanggil oleh Yai, ‘Mad Kholil Kamu berniat memondokkan Bakar, saya terima tapi, Bakar saya titipkan mbah Nuriyah.’ mbah Nuriyah itu istrinya Yai Ma’shum Lasem. Sebab apa? Kata Yai Hamid, ‘saya bermimpi bertemu Kanjeng Nabi hanya tiga kali, sedangkan mbah Nuriyah sudah 27 kali. Ya akhirnya adik dipondokkan di sana.”
 Kiai Bakar menimba ilmu di Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem selama kurang lebih 5 tahun. Dan di sana selain bertugas memenuhi kebutuhan ndalem dan membantu mencucikan pakaian keluarga ndalem, beliau juga dipercaya mengajar Al-Qur’an tartil untuk remaja tingkatan SMA sederajat.
Dan dari pernikahannya dengan Hj. Luthfiah, K.H. Abu Bakar Kholil dikaruniai 7 orang putra, 5 perempuan dan 2 laki-laki serta 1 orang anak yang masih dalam kandungan.

Manajemen Dakwah K.H. Abu Bakar Kholil
a.     Pengajian Rutin Ahad Pagi
Pengajian ini diselenggarakan pada setiap Ahad pagi di aula Pesantren yang letaknya berjarak sekitar 150 m dari gapura Pesantren. Pengajian tersebut berlangsung dari pukul 07.00 s/d 08.30 WIB. Adapun agenda pengajiannya, yaitu:
1)    Bacaan Shalawat Nabi Muhammad SAW (diba’iyah) dengan iringan tabuhan rebana.
2)    Bacaan ayat suci Al-Qur’an (surat Yaasin, surat al-Waqi'ah, surat al-Mulk)
3)    Bacaan do’a barokah al-Fatihah. Biasanya para jama’ah menuliskan do’a pada kertas, dikumpulkan dan setelah itu dibaca oleh Kiai Bakar lalu kemudian membaca al-Fatihah bersama-sama.   
4)    Mauidhotul Khasanah.
5)    Bacaan Tahlil.
6)    Do’a (penutup).
b.     Pembangunan Gedung Bercorak Seni
Selain pengajian, arsitektur Gedung atau bangunan Pesantren juga memiliki peran dalam proses dakwah Kiai Bakar. Dengan arsitekturnya yang bercorak seni dan unik membuat para jama’ah atau santri betah di Pesantren. Sesuai dengan lambangnya, maka di gerbang Pondok Metal baru berdiri tegak sebuah papan baliho dengan tulisan terbuat dari banner, berukuran sekitar 1 x 2 m. Dan gamabar yang ada di baliho tersebut adalah gambar tiga jari metal. Begitu pula dengan pondok lama, bedanya di sana tertulis Café Metal. Karena memang lokasi pondok yang sebenarnya akan dijadikan café itu masih tetap didesain berbentuk café (menyediakan kopi dan rokok) meski sudah dijadikan pesantren tempat santri bermukim. Dindingnya yang berbentuk wajik bercat hitam putih dihias dengan beberapa gitar listrik. Dan selama lima generasi, café tersebut sangat ramai dikunjungi pemuda. Pengunjung juga diperbolehkan memainkan gitar sesuka hati, baik itu gitar milik pesantren atau gitar pribadi.
Untuk gedung Pondok baru yang dibangun diatas tanah seluas 9,5 ha didesain dengan unik pula. Kiai membedakan lokasi untuk santri-santri sesuai dengan jenisnya. Ada pemisahan antara santri putra dan putri. Beliau juga melakukan pemisahan antara santri orang gila, wanita hamil pranikah, bayi, pecandu narkoba dan lainnya. Bangunan asramanya dibentuk seperti komplek perumahan. Corak catnya dibuat seragam, berbentuk wajik hitam krem dan berhias lafadz ‘Allahu Jalla Jalaluh’ dan ‘Muhammadur Rosullullah’ di setiap wajik berwarna krem. Sedangkan Aula tempat pengajian rutin berlangsung, sekelilingnya dihiasi dengan pohon-pohon mangga yang jika kita berada di sana maka, kita seakan sedang berada di kebun mangga.
Pembangunan gedung Pesantren tersebut tidak monoton. Sebab berdasarkan informasi yang peneliti peroleh, Kiai seringkali merubah arsitektur bangunan sesuai kehendak hati beliau. Kakak kandung Kiai Bakar mengatakan,“Saya juga tidak tahu apa yang dimaksud adik merombak bangunan yang sudah bagus dan menghabiskan biaya banyak tersebut. Yang jelas saya yakin setiap tindakannya itu selalu mendapat petunjuk. Soalnya saya pernah mendapat pesan dari guru saya mbah Hamid, yang juga gurunya adik sebelum beliau wafat. Kata beliau saya harus ikut saja apa yang adik lakukan.”
Sebagai contoh gerbang Pesantren, berdasarkan foto yang diabadikan pada tahun 2009, gerbang tersebut masih berbentuk gapura dari semen dengan patung tiga jari tangan metal dan diapit oleh 2 batang pohon terbuat semen. Dan di salah satu batang pohon tersebut berdiri sebuah ruangan dari kayu, seperti semacam tempat berteduh di atas pohon.
c.      Memelihara Hewan Buas
Selain arsitektur bangunannya yang unik, ada hal unik lain yang dapat kita temui di Pesantren Metal. Di lingkungan Pesantren terdapat berbagai jenis hewan mulai dari hewan ternak hingga hewan buas dan langka. Ada harimau yang diberi nama Ali, macan tutul, orang utan yang diberi nama Aziz, burung merak, ular, kijang, gagak, ayam kalkun, lutung monyet dan bahkan hewan yang diharamkan oleh agama Islam seperti babi. Mereka diletakkan dalam kandang terbuat dari besi. Sedangkan makanan untuk harimau dan macan tutul biasanya Kiai memberi mereka daging dan ayam.
Awalnya, berdasarkan keterangan Kiai Sa’id, keberadaan hewan tersebut dikarenakan kegemaran Kiai Bakar dalam memelihara binatang. Selain itu menurut Kiai Bakar, binatang-binatang tersebut bisa dijadikan hiburan bagi jama’ah yang ikut pengajian pada hari Ahad pagi. Namun, ternyata keberadaan hewan tersebut punya pengaruh langsung dan tak langsung terhadap perkembangan pemulihan kesehatan mental orang gila. Berikut penuturan Kiai Bakar, ”Kami punya pengalaman soal ini. Pernah ada orang gila di Pondok ini tak mampu ngomong, ya kayak orang bisu. Tiba-tiba dia dipanjati kera dan langsung menjerit-jerit minta tolong. Mungkin ini semua pertolongan Allah dengan perantaraan kera.”
Persoalan pemeliharaan babi yang sempat membuat geger ulama’ se Jawa Timur, berikut cerita Khusairi, seorang tukang pijat pribadi yang konon sudah 10 tahun mengabdi di Metal. Dia bilang beberapa tahun lalu ada seorang non muslim memelihara babi yang jinak sehingga seringkali si majikan mengajaknya pergi ke pasar. Akibatnya, apapun yang tersentuh oleh badan babi itu sendiri menjadi najis. Berita ini di dengar oleh Kyai Metal, kemudian beliau mengutus santrinya untuk menemui si empunya babi, agar mau menjualnya. Alhasil, babi itu boleh di beli oleh Kyai Metal, dan langsung di bawa ke pondok Metal. Menurut Kiai Metal yang haram itu kalo makan babi, tapi kalau hanya memelihara, tidak haram, demikian sanggahan beliau atas protes-protes yang dilancarkan kepadanya. Toh, Bagaimanapun juga hal ini dilakukan untuk mencegah menyebarnya najis dilingkungan pasar. Resikonya? Kalo babi itu kebetulan lepas dari kandang, maka santri-santri putra harus ekstra kerja keras menangkap, sesudah itu dapat upah adus lendut alias mandi lumpur untuk menghilangkan najisnya.
d.     Memberikan Contoh Teladan
Sebagai sosok panutan masyarakat dan santri-santrinya, Kiai Bakar tidak hanya memberikan ceramah atau mauidlah hasanah saja tapi memberikan contoh dengan perbuatannya sehari-hari. Jika suatu saat Kiai berceramah tentang keutamaan sedekah maka, Kiai juga memberikan contoh bersedekah kepada jama’ah dan santrinya. Setiap pengajian usai, ketika Kiai sedang open hause untuk tamu-tamu yang ingin bertemu beliau, beliau selalu menyediakan makanan. Sebagai contoh dari perbuatan tidak menyia-nyiakan makanan, Kiai selalu bertindak tegas pada setiap orang yang tidak mau menghabiskan makanan yang sudah disuguhkan Kiai. Dan tidak hanya itu, beliau dan istri beliau juga sering memberi uang pada orang yang membutuhkan.
Selain gemar bersedekah Kiai juga berulangkali memberangkatkan haji santri-santrinya. Saat ini sudah ada 4 orang santri yang telah berangkat menunaikan ibadah haji bersama beliau. Diantaranya adalah, H. Jazuli, H. Sholeh, H. Rosyidin dan H. Imam.
Tentang sikap terhadap sesama makhluq Allah, Kiai mencontohkan dengan sikap beliau yang tidak membeda-bedakan strata dan jabatan seseorang. Beliau tidak membedakan perlakuan beliau pada seorang Bupati atau pande besi. Beliau selalu terbuka pada siapapun, tak peduli keluarga atau bukan. Beliau justru mengistimewakan orang-orang tidak mampu dan membutuhkan seperti orang gila daripada orang-orang bertitel. Sedangkan terhadap pelacur atau non muslim sekalipun tidak lantas beliau menolak kedatangan mereka ketika ingin menemui Kiai. Beliau justru menerima dan memperlakukan mereka dengan baik.
e.     Mendo’akan Mad’u
Ketika ditanya tentang proses penyembuhan santri-santri beliau yang mengidap patologi sosial, beliau selalu menjawab tidak menggunakan do’a khusus. Namun, menurut keterangan beberapa informasi yang peneliti dapatkan mengatakan bahwa Kiai Bakar adalah Kiai yang terkenal dengan kemanjuran do’anya. Berikut penuturan Neng Faridah, istri keponakan Kiai, “Itu mungkin yang dinamakan karomah ya mbak..!Meski do’anya tidak panjang tapi, manjur mbak…! Itu katanya orang-orang yang pernah ke sini. Kalau shalat tarawih saja cepat sekali, 10-15 menit selesai, tapi meski begitu jama’ahnya banyak sekali. Kalau shalat juga tidak pernah mang-mang. La biasanya kan kalau anak pondok selalu menjaga kesucian pakaian dan tempat shalat, Ya. Kalau acang tidak, beliau tidak pernah mang-mang.”
Ketika ditemui Al-fikrah, memang banyak sekali orang-orang dari berbagai daerah yang meminta do’a kepada Kiai Bakar. Ada yang meminta do’a agar lulus ujian, mendapat rangking satu, mendapat rizqi yang halal dan sembuh dari penyakit. Saat itu Kiai Bakar sedang mengecup dahi seorang anak yang kata ibunya menderita sebuah penyakit yang tak kunjung sembuh. Selain mengecupnya, beliau juga mengucapkan kalimat, ‘Wes Insya Allah waras.” Kemudian disertai bacaan shalawat ”Allahummasholli’ala sayyidina Muhammad”. Meski kata orang do’a beliau manjur, tapi dalam prosesnya beliau tidak pernah berlama-lama dalam berdo’a.
Adapun berdasarkan keterangan Kiai secara langsung dalam pengajian,“ Tarawih nggak usah lama-lama, 10 tarawih dan 2 witir aja, setelah itu jama’ah yang ikut tarawih dimasakkan mie dan kopi. Lumayan sing enom-enom male melok tarawih soale abot ambek mie-ne. Gak popo, gak oleh tarawihe oleh mie-ne, ngono jarene (Lumayan yang muda-muda jadi ikut tarawih karena ingin makan mie. Ya tidak apa-apa, nggak dapat pahala tarawihnya, dapat mie-nya, begitu katanya)”
f.      Menyediakan Lapangan Pekerjaan
Setiap hari Ahad pagi mulai pukul 06.00-10.00 WIB Kiai memberi izin masyarakat untuk melakukan niaga. Sepanjang 150 m mulai dari gerbang Pesantren sampai tempat pengajian kita akan menemukan banyak pedagang dengan beragam barang jualan. Pedagang-pedagang tersebut datang dari berbagai daerah luar Desa Rejoso. Dan layaknya toserba, pasar tersebut menyediakan bermacam-macam barang. Ada sembako, bumbu dapur, rempah-rempah, mainan anak-anak, sayur mayur, buku dll. Pasar ini dinamakan Pasar Gebyar Pagi. Kebanyakan dari mereka percaya dan membuktikan bahwa setelah berjualan di pasar tersebut maka, akan banyak keuntungan yang mereka peroleh.
Selain itu Kiai juga memberikan kesempatan santri-santrinya untuk mengisi waktu luang mereka dengan bekerja. Mereka ada yang berprofesi sebagai buruh bangunan, koki Pesantren, satpam serta juru parkir. Dan sebagaimana layaknya pekerja, mereka juga mendapatkan gaji dari Kiai, biasanya Rp.100.000,00 per hari, disesuaikan dengan berat pekerjaan mereka.
g.     Ceramah Keliling
Selain memberikan nasehat dan ilmu di Pesantren, Kiai Bakar juga melakukan safari dakwah atau ceramah keliling. Beliau biasanya menyebarkan ajaran Rosulullah SAW melalui ceramah sampai ke luar kota seperti, Gresik, Jepara, Rembang dan Lumajang.
h.     Olahraga dan Seni

Penampilan beliau sangat berbeda dengan kebanyakan Kiai besar yang selalu memakai imamah di kepala. Beliau suka memakai baju lengan panjang selutut, levis dan surban panjang selutut. Dan jika menengok masa mudanya, beliau sangat gemar sekali berolahraga. Beliau membentuk tim-tim tangguh dan membuatkan seragam untuk olahraga sepakbola, badminton dan voley. Dengan begitu, sosok Kiai nyentrik ini bisa dekat dan akrab dengan kebanyakan pemuda. Dan selain olahraga, beliau juga mencintai seni. Hal ini dibuktikan dengan keakraban Beliau dengan musisi Indonesia seperti Iwan Fals.(titah)

1 komentar:

Unknown mengatakan...

mantaabbb..