Senin, 19 Januari 2015

BUKAN MALAM CINTA BIASA


Ketika persepsi dunia dijejali oleh doktrin St. Valentine yang membaiat dirinya menjadi Bapak kasih sayang, tentunya dengan polesan sejarah rekayasa. Ketika itu pula Hasan dan Husain, dua saudara kembar yang tengah digoyahkan aqidahnya oleh munculnya isu Gerakan Anti Maulid. Layana adik perempuan kesayangan mereka berusaha mencegah perang saudara di antara mereka. Karena jika perang itu terjadi, maka surau peninggalan kedua orangtua mereka akan mengikuti jejak kisah fiktif AA. Nafis, Roboh.
Dan di tengah kemelut perang dingin antar saudara sedarah itu, timbul konflik baru yang lebih berat. Layana terjebak pada permainan doktrin St. Valentine yang dijalankan teman sekampusnya. Sebuah tradisi kuno nyaris diulangi kembali. Namun, akankah kekuatan syafa’at Sang Nabi yang mereka cintai bisa menolong mereka. Akankah Layana berhasil membersihkan pasir yang selama ini menutupi jejak Sang Nabi. Hingga akhirnya, jejak-jejak itu benar-benar bersinar kepermukaan dengan sendirinya.
***
    5 Mahasiswa Universitas Maya, Ray, Renna, Nanang, Boim, dan Layana, satu-satunya mahasiswi yg berjilbab disitu. Mereka tengah serius merapatkan konsep acara Pentas Seni (Pensi) pada minggu yang akan datang.
“Kita punya konsep baru untuk meramaikan Pensi kita minggu depan, tepat pada 14 Februari… kalian tahu kan bro? Valentine’s Day!” Ray berujar semangat.
“Alah paling-paling juga saling tukar bunga dan coklat antar pasangan, garing ah. Itu sih enakan di elo dong, punya gandengan. Lah gue…? Lagi pula Pensi pasti dimajukan jadwalnya karena besoknya libur.” cerocos Nanang tak setuju.
“Tak masalah Bro…! Tapi bener, konsep gue fantastik.” Ray berdiri dari kursinya menatap jendela kantor BEM Universitas. Kata-katanya mantap.
“Festifal… Lupercalia !” Ujar Ray lagi, ucapannya terdengar sangat hati-hati.
“Festifal… Lupercalia… ?” Semua mata tertuju pada Ray.
“I..tu … bukannya …” Layana terperangah, ucapannya terbata-bata.
“Ssst … Kali ini elo tidak akan bisa mengacaukan acara pensi yang sudah gue rencanakan sebulan yang lalu. Tidak setelah elo dan kakak-kakak elo yang sok alim itu mengubah tari ular menjadi tari saman pada pensi 2 tahun yang lalu.” Ray memotong ucapan Layana.
“Tapi, bukankah tari ular terlalu erotis dan tidak pantas dipentaskan di depan orang-orang berpendidikan.” Layana menyanggah.
“Festifal Lupercalia adalah festifal yang dipersembahkan untuk Queen of Feverish Love atau Dewi Cinta.” Boim tiba-tiba bergumam menyela.
“Tumben amat kamu pinter, Im.” Sergah Ray.
“Aku tidak setuju dengan rencana kalian. Dan kalau dengan caraku tidak menyetujuinya, kalian memecatku dari komunitas teater ini, aku sama sekali tidak keberatan. Festifal Lupercalia sangat bertentangan dengan agama dan keyakinanku. Aku juga yakin, hal ini juga bertentangan dengan kepribadian bangsa kita.”
“Bodoh amat dengan ceramah loe.” Ray sinis.
“Kalau begitu, maaf. Aku ke kelas dulu.”
Wait…! Ray, apa kau yakin akan menggelar festifal ini?”
“Mengapa tidak?”
“Tapi apa rektorat akan menyetujui acara seperti itu. Festifal yang memasangkan seorang gadis dengan pemuda yang bukan muhrimnya di dalam ruangan kemudian menguncinya sampai pagi. Dan menyediakan anggur untuk bersenang-senang bagi mereka. Apakah ini tidak terlalu gila.”
“Alah, Boim … Boim. Itu kan cuma bentuk penghargaan kita pada budaya yang hilang. Kita bilang ke Rektorat, ini adalah bagian dari seni. Asalkan Layana tidak mengacau, rektorat pasti setuju.”
“Itu bukan budaya kita Ray. Seni tidak bisa dikotori dengan hal-hal begitu. Festifal itu tidak akan memberi kita pelajaran apapun.”
“Lama-lama … kau sama menyebalkannya dengan Layana.”
“Maksudku bukan begitu Ray…”
“Alah… sudahlah … ayo Ren, Nang, kita cabut” Ray, Rena dan Nanang meninggalkan Boim seorang diri.

***
14 Februari 2011 malam
Aduhai Nabi, damailah Engkau
Aduhai Rasul, damailah Engkau
Aduhai Kekasih, damailah Engkau
Sejahteralah Engkau
Telah terbit purnama di tengah kita
Maka tenggelam semua purnama
Seperti cantikmu tak pernah kupandang
Aduhai  wajah ceria
Engkau matahari, Engkau purnama
Engkau cahaya di atas cahaya
Engkau permata tak terkira
Engkau lampu di setiap hati
Aduhai kekasih, Duhai Muhammad
Aduhai pengantin rupawan
Aduhai yang kokoh, yang terpuji
Aduhai imam dua kiblat
Mata Layana basah mendalami makna lantunan pujian untuk Sang baginda. Dadanya sesak, nyaris saja kedua kakaknya, Hasan dan Husain serta dirinya tak bisa menikmati indahnya malam cinta ini. Terjebak pada pergeseran waktu dan perlahan nyaris menghapus sebuah idiologi. Idiologi yang selama ini mereka pertahankan.
Bintang malam itu mengerlingkan matanya, menyampaikan pesan cinta Sang Nabi untuk mereka yang mencintainya. Ya, malam ini, memang malam cinta tapi, bukan malam cinta biasa. Malam yang bertepatan pada 14 Februari ini juga bertepatan dengan malam 12 Rabi’ul Awal, malam kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW. Baru saja, Layana lolos dari keterlibatan menistakan agama dan keyakinannya. Berkali-kali dia beristighfar dan bersholawat. Matanya basah. Bibirnya masih memar, ada bekas tamparan yang belum hilang.
***
“Gue akan buat perhitungan dengan Layana. Perbuatannya ini kelewat batas. Bisa-bisanya dia mengadu pada Rektor tentang Festifal Lupercalia di acara Pensi.” Ujar Ray meledak-ledak.
“Gue juga setuju, Gue énnék banget sama dia. Sok banget. Emangnya ini kampus siapa. Aku heran. Kenapa jajaran rektorat bisa tunduk sama dia.” Tambah Renna.
“Festifal Lupercalia tetap harus digelar. Dengan atau tanpa izin dari Rektorat.” Ujar Nanang mantap.
“Caranya?” Tanya Ray dan Renna bersamaan.
“Kita buat acara kamuflase untuk pensi, acaranya harus sesuai keinginan rektorat dan ketika rektorat serta tamu undangan pulang, Festifalnya kita mulai. Dan kita juga harus melibatkan Layana. Ha…ha… ha...” Nanang bersemangat.
“Ini, rencana hebat.” Teriak Ray.
“Tapi… apa kalian setega itu pada Layana.” Boim bergumam. Namun suaranya terdengar Nanang.
“Apa elo ingin merasakan pukulan mautku ini. Awas…! Jangan beritahu rencana ini pada Layana.” Nanang mencengkram krah Boim. Tubuh Boim yang gemuk itu, sama sekali bukan halangan yang sulit untuk Nanang. Nanang berulang kali memenangkan festifal pencak silat nasional.
“Apa yang kamu lakukan, Nang?” Tiba-tiba Layana muncul.
“Ah, enggak koq Lay, ini si Nanang lagi latihan buat festifal kungfu bulan depan. Duduk sini Lay.” Nanang melepaskan cengkramannya dan memaksakan senyum.
“Hmm … baiklah!” Dahi Layana berkerut heran, kenapa tiba-tiba Ray berperilaku santun padanya. Baru kemarin dia bersitegang dengan Ray.
“Ah … Aku tidak boleh berprasangka buruk pada orang lain.” Gumam Layana.
Tanpa curiga apapun, Layana membahas banyak hal tentang pensi. Layana tidak menyadari ada senyum licik tersungging di bibir Ray, Nanang dan Renna. Ada kekhawatiran di hati Boim.
***
Sejak Islam masuk ke Indonesia dan mampu menjangkau pelosok, peradaban Islam di Desa Asmarakandi berkembang pesat. Desa yang mulanya dihuni oleh suku Hua-Hua ini berubah nama menjadi Asmarakandi setelah Syekh Ibrahim Asmarakandi berhasil mendakwahkan syari’at Islam pada tetua suku dan pengikutnya. Suku Hua-Hua di masalalu adalah suku paganisme[1] yang menjadikan patung tikus sebagai sesembahan mereka. Suku Hua-Hua juga meyakini sesuatu berbau mistis dan klenik. Mereka menganggap tikus sebagai hewan suci karena leluhur mereka pernah ditolong oleh seekor tikus setiap kali mengalami musibah kekeringan. Tikus-tikus di desa itu sangat unik. Suku Hua-Hua mendapat petunjuk sumber mata air besar dari tikus-tikus penggali tanah. Inilah mengapa mereka bisa menangis darah jika menyaksikan kematiaan seekor tikus.
Mereka berburu untuk hidup. Karena di daerah mereka banyak sekali spesies babi hutan, daging babi itu menjadi makanan pokok mereka sehari-hari. Mereka memanah babi-babi kemudian memanggangnya dan beramai-ramai memakannya. Setiap tahun, leluhur suku Hua-Hua mempersembahkan 5 perawan kepada dewa tikus yang diyakininya untuk dijadikan tumbal.
Pada abad pertengahan hingga tahun 1133, pengaruh Kristen Kerajaan Romawi pada dunia sangatlah kuat. Meski sebagian besar kepulauan Indonesia memiliki masyarakat yang kental dengan ajaran hindu, suku Hua-Hua berbeda, suku Hua-Hua justru menjadi penganut Katolik. Hal tersebut bisa terjadi karena singgahnya seorang kristiani yang diusir dari negaranya lantaran melanggar aturan baru Gereja Katolik yang melarang Lupercalian Festifal dan menggantinya dengan Valentine’s Day. Sejak itulah kemudian suku Hua-Hua budaya Festifal Lupercalia. Pada masa itu, perawan tak lagi menjadi tumbal raja tikus melainkan tumbal nafsu berahi. Dalam festifal itu, wanita-wanita dihancurkan kehormatannya.
Selain agresif dan hanya bisa ditaklukkan dengan ilmu bela diri, suku Hua-Hua juga mudah terpengaruh oleh budaya dan keyakinan baru. Inilah kemudian yang menjadikan masuk akalnya pengaruh Islam berkembang pesat pada masyarakat suku Hua-Hua.
Syekh Ibrahim Asmarakandi putra dari seorang Ulama’ besar dari Bukhara’, Samarqand mendapat tugas dari ayahnya untuk mendakwahkan Islam ke seluruh Asia. Dan dalam perjalanan beliau itulah, suku Hua-Hua mendapatkan hidayah dan cahaya Islam. Musibah tersesatnya Syekh Ibrahim Asmarakandi membawa nikmat yang besar bagi suku Hua-Hua. Di sinilah Islam berjaya di tengah-tengah masyarakat suku Hua-Hua.
Syekh Ibrahim Asmarakandi yang tampan, bijak, berwibawa dan sakti mandraguna mampu menakhlukkan hati masyarakat suku Hua-Hua. Pengaruh beliau mengalahkan pengaruh paganisme. Dengan pertolongan Allah, Syekh Ibrahim Asmarakandi menakhlukkan ilmu klenik dan tenaga dalam tetua suku. Jika tidak teringat kisah tentang Rasulullah dengan Usamah, sahabat beliau, mungkin tetua suku Hua-Hua sudah berkalang tanah pada saat itu juga.
Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang sedang  mengucapkan,"Laa   ilaaha illallaah,"    Nabi menyalahkannya  dengan  sabdanya, "Engkau bunuh dia, setelah dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah." Usamah lalu  berkata, "Dia  mengucapkan  Laa  ilaaha illallaah karena takut mati." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Apakah  kamu  mengetahui isi hatinya?”
Syekh Ibrahim akhirnya mendapat tempat khusus di hati masyarakat suku Hua-Hua. Syekh Ibrahim mengenalkan Allah dan RasulNya Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan tata cara ibadah serta syari’at Islam dengan sabar dan telaten. Para wanita yang dulunya hanya menutup anggota tubuh di antara pusar dan lutut kini mengenakan hijab. Sejak saat itu status wanita sangat dihormati dan dijaga fitrahnya. Di tengah perjuangannya, tak jarang Syekh Ibrahim mendapatkan fitnah-fitnah dan kirimin santet. Meski tak mudah menghadapi suku Hua-Hua yang agresif dan mudah terpengaruh, Syekh Ibrahim tidak berputus asa, terus menyelamatkan suku Hua-Hua dari masa jahiliyyah. Banyak surau-surau kecil dan madrasah-madrasah didirikan. Syekh Ibrahim juga melibatkan santri-santri yang mengikuti perjalanannya untuk mengajarkan Islam di sana.
Tetua suku Hua-Hua memiliki putra yang akhirnya diberi nama Syekh Arifin Ilham oleh Syekh Ibrahim. Dari Syekh Arifin Ilham inilah kemudian lahirlah generasi-generasi muda yang begitu mencintai Allah dan Nabi Muhammad SAW. Generasi ketujuh inilah yang akhirnya lahirlah saudara kembar dengan nama Syekh Hasan, Syekh Husain dan adiknya Layana Layyinun. Generasi ketujuh inilah yang mengemban tugas menjadi surau leluhurnya agar tetap berdiri kokoh. Tidak hanya pada bangunannya tapi lebih kepada nilai-nilai keyakinan agama yang dinaungi surau itu.
***
Desa Asmarakandi sekarang dikenal dengan prestasi menelorkan cendekiawan-cendekiawan muslim. Hari-hari besar Islam digelar besar-besaran dan meriah. Tak terkecuali tradisi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun, seiring bergesernya waktu dan berkembangnya IPTEK serta munculnya aliran-aliran baru di Indonesia, desa Asamarakandi juga terkena imbasnya. Isu Gerakan Anti Maulid pun beredar dan semakin meresahkan desa. Ulama’-ulama’ setempat bersitegang. Tak terkecuali Syekh Hasan dan Syekh Husain. Dua saudara kembar kakak beradik keturunan Syekh Arifin Ilham ini memiliki pendapat yang bersebrangan. Syekh Hasan membawa pemikiran-pemikiran ala Yamani karena dia lulusan Al-Ahghaf Yaman dan Syekh Husain dengan kentalnya pemikiran ala mahasiswa Al-Azhar Cairo Mesir. Layana adik perempuan mereka sering mendapati kakak-kakaknya bersitegang mempersoalkan Gerakan Anti Maulid. Mereka saling mengeluarkan dalil-dalil[2] naqli[3] maupun Aqli[4] yang Pro dan Kontra. Meski sekeras apapun Layana berusaha menengahkan, perempuan berkulit putih itu belum bisa menenangkan hati kedua kakaknya.
“Di sini, hal Itu adalah budaya yang sudah mendarah daging, Dik.” Syekh Hasan mengeluarkan pendapatnya.
“Kak, budaya yang biasanya didefinisikan sebagai hasil budi daya manusia itu menyimpang dari nilai keyakinan kita. Merujuk dari bahasa Inggris, culture yang tersusun dari dua kata cult artinya cara penyembahan dan lore berarti adat atau kebiasaan. Dengan perayaan yang membudaya itu, berarti ada pemujaan berlebihan pada baginda Nabi. Apakah itu ada dalam ajaran agama kita?”
“Kamu telah salah paham Husain. Perayaan maulid bukan pemujaan. Itu adalah tradisi positif yang banyak mengandung manfaat bagi masyarakat kita. Masyarakat yang biasanya menganggap dirinya tidak sempat membaca shalawat pada Nabi setiap hari, pada perayaan Maulid mereka punya waktu untuk berkumpul membaca shalawat. Masyarakat yang biasanya sulit bersedakah, pada perayaan maulid mereka tidak segan-segan mengeluarkan banyak harta demi fakir miskin. Apa jadinya kalau sampai hal ini dihilangkan dari peradaban masyarakat kita. Kalau begitu caranya, lambat laun masyarakat kita akan kembali lupa pada Allah dan NabiNya.”
“Coba kakak lihat perayaan maulid pada zaman sekarang, ada yang ngasih sesajen, makan-makan dan berhura-hura di surau-surau, mengadakan ritual mandi di laut sebagai pensucian diri, ada yang bernyanyi-nyanyi memukul alat musik. Apa ini tidak menyimpang?” Ujar Syekh Husain menjelaskan dengan berapi-api.
“Cukup Kak …! Kak Hasan, Kak Husain, maaf kalau Layana lancang memotong pembicaraan kalian. Memang kebanyakan dari kita terjebak oleh pemahaman keliru tentang maulid Nabi. Akibatnya, persoalan –persoalan baru serta perdebatan panjang yang membuang-buang waktu ini selalu terjadi. Persoalan dan perdebatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Kakak berdua meninggalkan santri-santri dan jam mengajar kakak hanya karena persoalan ini. Bahkan sekarang santri-santri kita sudah terbagi  menjadi dua kubu. Apa kalian tidak sadar akan terbukanya gerbang kehancuran dan robohnya surau leluhur kita. Surau yang Ayah dan Kakek perjuangkan. Surau yang dibangun dengan susah payah oleh syekh Ibrahim Asmarakandi.
Apa kakak lupa dengan kata-kata Imam Syafi’I ‘ Saya tidak pernah berdebat dengan orang berilmu, kecuali saya mampu mengalahkannya dan saya tidak pernah berdebat dengan orang bodoh, kecuali ia mampu mengalahkanku’. Hentikan perdebatan ini! Kalian hanya terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran orang-orang yang ingin merusak Islam.
Apa kakak tahu, hampir saja di kampusku akan digelar festifal lupercalia. Tradisi yang dulu sudah kita kubur karena melecehkan wanita. Kalau saja rektorat tidak menentang ide teman-temanku itu, mungkin Layana akan terjebak Kak. Apa Kakak tega melihat Layana menjadi korbannya. Masyarakat kita ini rentan dengan pengaruh buruk pemahaman dan aliran baru. Daripada Kakak saling mengeluarkan dalil yang menentang maupun mendukung perayaan maulid lebih baik kita pikirkan bagaimana caranya agar isu itu berakhir dan memperbaiki cara perayaan maulid yang salah. Kak, Layana tidak mau, almarhum Ayah dan Ibu menjadi sedih karena melihat kita sering bertengkar bahkan tidak saling menyapa gara-gara hal ini. ” Layana berkata panjang lebar sambil meneteskan air mata. Hasan menghampiri Layana memeluk Layana. Husain tercekat.
“Kumohon, berhentilah menangis, Aku tidak bisa melihat ada airmata di matamu. Aku janji tidak akan berdebat lagi tentang hal ini. Kumohon maafkan kami” Husain pun menghampiri Layana dan Hasan.
“Dik, maafkan aku juga. Aku juga berjanji tidak akan membahas ini. Ini akan menjadi terakhir kalinya kamu menangis gara-gara Aku. Kak Hasan, Husain juga minta maaf pada kakak.” Mereka bertiga berpelukan. Layana tak hentinya meneteskan airmata.
“Ayolah, kita sudah berjanji, kamu jangan menangis terus.” “Iya, kumohon berhentilah menangis.” Ujar Hasan dan Husai bersahutan. Hasan menghapus airmata Layana. “Kak, kalau boleh Layana sarankan, untuk menjernihkan pikiran kalian, Layana punya kitab berjudul Mafahim Yajibu an Tushohhah, karya Profesor. Dr. As-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani. Abuya Maliki juga menjelaskan perkara Maulid di kitab beliau yang lain pada risalah khusus berjudul Seputar Perayaan Maulid Nabi yang Mulia. InsyaAllah, setelah membacanya, perdebatan semacam ini tidak akan terjadi di masa depan.” “Baiklah, kami akan menjalankan saranmu.” Hasan, Husain dan Layana tersenyum.
***
            Pensi di kampus Layana tahun ini akan digelar bersamaan dengan acara perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan itu sengaja digelar sehari lebih cepat karena keesokan harinya, tepat tanggal 12 Rabiul Awal, kampus Layana libur sehari untuk menghormati hari kelahiran Nabi. Sesuai rapat dan izin Rektorat, acara akan dilaksanakan sejak pagi hingga malam. Paginya pentas tarian daerah dan drama kisah tokoh-tokoh cendekiawan muslim. Dan malamnya, pembacaan diba’iyah barzanji dan ceramah agama. Layana bersyukur, rencana teman-temannya menggelar Festival Lupercalia gagal karena tidak mendapat izin.
Selesai acara, seperti biasa Layana bersama teman-teman yang lain tidak langsung pulang karena harus membersihkan lokasi acara. Tiba-tiba, ponsel Layana berdering, 1 pesan diterima.
<Ibrahim>
Lay, sebaiknya Kau pulang dulu. Tugas kamu, Aku yang urus. Kumohon pulanglah!
Diterima : 23:03 14 Peb
Pesan singkat dari Boim. Layana tidak mengerti isi pesan temannya, Ibrahim atau dikenal Boim di kampusnya. Yang membuat Layana heran, kenapa Boim mengirim sms padahal dia tidak jauh dari Layana. Layana melambai ke arah Boim. Tangan Boim tertangkup seperti memohon sesuatu. Layana bergerak menghampiri Boim namun tangannya segera ditarik oleh Renna. “Ada apa Ren?” “Aku butuh bantuanmu!” “Oh, baiklah!” Raut Boim terlihat kecewa. Perlahan Boim mengikuti Layana dan Renna.
Di depan sebuah ruangan. “Itu Lay, Aku takut sama kecoa. Kecoanya banyak banget. Aku tidak bisa mengambil tas dan uang kas teater. Padahal Aku ditunggu petugas soundsystem karena belum bayar sewanya.” “Oalah, Cuma kecoa, insyaAllah saya bisa atasi.”
Setelah Layana masuk ruangan, Renna cepat-cepat mengunci pintu. Layana terperanjat. Dia berteriak menggedor-gedor pintu “Ren, apa yang kamu lakukan? Apa maksudnya ini? Kenapa kamu mengunciku di ruangan ini?” “Lay …! Ini hukuman karena elo sudah membuat Festival Lupercalia gagal diselenggarakan. Elo kan yang membujuk rektorat agar tidak mengadakan Festifal itu.” Suara Ray terdengar keras diiringi gelak tawa Nanang dan Renna. “Demi Allah …! Aku tidak melakukan itu. Rektorat melarang festifal itu bukan karena keinginanku.” “Alah … tak usah beralasan Kau …!Apalagi membawa nama Tuhan.” “Renna …! Tolong buka pintunya …! Kamu membohongiku.” “Ya, Aku memang telah berbohong, di sana tidak ada kecoa. Yang ada 5 sekawanan srigala. Ha …ha…ha…” “Renna … apa maksudmu?” Tawa orang-orang di luar semakin terdengar keras ditambah suara tawa laki-laki di belakang Layana. 5 orang laki-laki tertawa di belakang Layana. Layana terperangah. Dia menggedor-gedor pintu minta tolong. Tapi tidak ada yang mendengarkan. Sementara di luar sana terdengar suara musik disko yang sangat kencang, mengalahkan suara teriakan Layana.  “Kakak …!Aku harus telepon kakak!” Tapi dengan cekatan salah satu laki-laki itu merampas dan menggenggam tangan Layana. “Lepaskan! Lepaskan Aku!” Layana berteriak meronta. “Layana! Kau tidak apa-apa? Aku sudah menyuruhmu pulang. Tetapi kenapa Kau tak mengerti Layana.” Suara Boim yang dihafal Layana. “Boim! Tolong Aku!” “Iya, Layana!” terdengar Boim mendobrak pintu. Tapi kemudian terdengar suara pukulan bercampur suara Boim yang sedang merintih. Suara kabur dengan bunyi musik.
Layana seperti kehilangan harapan. Dia berusaha berteriak dan menangis memohon untuk di lepaskan. Tapi tak ada yang mendengar. Hatinya tiba-tiba, teringat Nabi yang dicintainya. Bibirnya komat-kamit menyebut sebuah nama. “Muhammadku … Muhammadku … Nabiku … Ini adalah hari kelahiranmu, bantulah Aku … yang begitu mencintaimu, Aku yang lemah dan selalu mengharap syafa’atmu. Do’akan Aku agar Allah mengirimkan bala tentara malaikatNya untuk menolongku. Tolong … bantu Aku … mempertahankan kesucianku.”Layana merintih dan berairmata.
Matanya tiba-tiba membelalak tajam, kemudian melirik tongkat pramuka di samping lemari. Layana menendang perut laki-laki yang mencengkram tangannya. Laki-laki itu tersungkur. Kemudian segera berlari mengambil tongkat kayu.
Sementara di luar, Boim merintih kesakitan karena dihajar habis-habisan oleh Ray dan Nanang. Di tengah Festival Lupercalia yang tetap berjalan meski tidak berizin itu, Boim dan Layana sama-sama merintih memohon bantuan. Boim terus bersholawat, karena hanya itu lafadz yang dia ingat. Perlahan tangan Boim meraih handphone di sakunya. Kemudian menyalakannya. Dia berulangkali bersyukur karena handphone itu masih bisa digunakan. Dia merangkat menuju tempat yang jauh dari keramaian. Kemudian mencari nomer Syekh Hasan.
***
Tit … tit … tit … sebuah hanphone di atas meja berdering. Sebuah nomor baru terlihat di layar Hp itu. Kriek … suara pintu berdecit. “Kenapa sudah selarut ini, Layana belum pulang. Aku harus segera menelponnya. Hatiku tidak enak. Tapi, dimana aku tadi meletakkan handphoneku” “Nah ini dia, ada telpon. Assalamu’alaikum, ini Hasan.” “Wa’alaikumsalam, Syekh … tolong cepat datang ke kampus! Layana dalam bahaya.” Suaranya terburu-buru. Lalu putus. “Innalillahiwainnailairaji’un. Husain. Cepat telpon polisi dan menuju kampus Layana. Dia dalam bahaya, Aku akan mengeluarkan mobil. “Astaghfirullah … Iya Kak!” Husain yang tengah membaca Al-Qur’an di ruang tengah terperanjat segera meletakkan Al-Qur’an di atas meja.
***
“Ha…ha….ha… kamu mau melawan kami dengan tongkat kayu itu? Kami bahkan bisa mematahkan tongkat besi sekalipun.” Salah satu laki-laki jahannam di depan Layana berkelakar.
“Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Tongkat ini memang hanya tongkat kecil dari kayu. Tapi, aku yakin, dengan pertolongan Allah melalui tongkat ini, Aku bisa melumpuhkan kalian. Allah akan menjaga kehormatan wanita-wanita yang mempertahankan harga diri dan kehormatannya. Kalian tidak akan bisa menyentuhku apalagi menghancurkan kehormatanku.” Layana berteriak marah dan membelalakkan mata. Sekarang tidak ada rasa takut di dalam hatinya. Dia yakin Allah bersamanya. Dia membabi buta memukul kelima laki-laki yang mencoba menyentuhnya. Kemudian salah satu laki-laki mencengkram tongkat kayu yang dipegang Layana. Layana tersungkur. Bibir, tangan dan kakinya penuh darah. Suara tawa kembali terdengar. “Inikah pertolongan Tuhanmu itu?”
Tiba-tiba suara deru mobil polisi memecahkan keramaian. Suasana di luar makin ramai. Terdengar bunyi tembakan dan jeritan. “Inilah pertolongan Allahku. Nabiku telah menyampaikan penderitaanku pada Tuhanku. Kalian akan meringkuk di penjara.” Layana berteriak sangat marah. Kelima laki-laki itu panik. Mereka saling berdebat dan kemudian salah satu di antara mereka berinisiatif memecahkan kaca jendela di bagian belakang ruangan. Mereka berusaha melarikan diri. Tapi, tiba-tiba pintu digebrak dan polisi berteriak. “Angkat tangan …!” Layana melihat kakaknya Hasan dan Husain berlari mengahampirinya. Dia berteriak, menangis. “Kakak …!” ”Maafkan kakak sayang, kakak terlambat menyadari firasat buruk tentangmu. Kakak terlambat menolongmu.” Hasan memeluk Layana. “Layana takut, Kak Hasan!” “Kamu tidak apa-apa kan?” Husain memegang kepala Layana lembut. “Kak Husain…!” Layana kembali memeluk Husain. “Allah menolongku Kak,  Aku bisa mempertahankan kehormatanku.
Polisi meringkus kelima laki-laki serigala itu. Semua Mahasiswa yang terlibat Festival Lupercalia juga ditangkap. Mereka juga dipastikan akan didrop out dari kampus. Layana melihat Boim juga ditangkap. “Pak Polisi …! Dia tidak bersalah, Dia bahkan berusaha menolong saya. Dia juga korban. Dia tidak terlibat dalam kejahatan ini.” Boim tersenyum. “Terimakasih Layana!” “Justru, Aku yang berterimakasih karena Kau telah  berusaha menolongku.” Hasan dan Husain menjabat tangan dan memeluk Ibrahim. Bibir mereka mengucapkan terimakasih.
Layana bergumam,”Terimakasih Allah… Engkau telah memberi hamba kekuatan. Terimakasih Nabi… Engkau mendengar rintihanku.”

Selesai Ahad, 7 Desember 2014 08:59
Terimakasih Nabi ..!. Engkau inspirasiku!





[1] Penyembah berhala
[2] Bukti-bukti
[3] Dalil naqli : Dalil yang diambil berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits
[4] Dalil Aqli : Dalil yang berdasarkan Akal (rasio) manusia

Tidak ada komentar: