Ketika
persepsi dunia dijejali oleh doktrin St. Valentine yang membaiat dirinya
menjadi Bapak kasih sayang, tentunya dengan polesan sejarah rekayasa. Ketika
itu pula Hasan dan Husain, dua saudara kembar yang tengah digoyahkan aqidahnya
oleh munculnya isu Gerakan Anti Maulid. Layana adik perempuan kesayangan mereka
berusaha mencegah perang saudara di antara mereka. Karena jika perang itu
terjadi, maka surau peninggalan kedua orangtua mereka akan mengikuti jejak
kisah fiktif AA. Nafis, Roboh.
Dan
di tengah kemelut perang dingin antar saudara sedarah itu, timbul konflik baru
yang lebih berat. Layana terjebak pada permainan doktrin St. Valentine yang
dijalankan teman sekampusnya. Sebuah tradisi kuno nyaris diulangi kembali.
Namun, akankah kekuatan syafa’at Sang Nabi yang mereka cintai bisa menolong
mereka. Akankah Layana berhasil membersihkan pasir yang selama ini menutupi
jejak Sang Nabi. Hingga akhirnya, jejak-jejak itu benar-benar bersinar
kepermukaan dengan sendirinya.
***
“Kita
punya konsep baru untuk meramaikan Pensi kita minggu depan, tepat pada 14
Februari… kalian tahu kan bro? Valentine’s Day!” Ray berujar semangat.
“Alah
paling-paling juga saling tukar bunga dan coklat antar pasangan, garing ah. Itu
sih enakan di elo dong, punya gandengan. Lah gue…? Lagi pula
Pensi pasti dimajukan jadwalnya karena besoknya libur.” cerocos Nanang tak
setuju.
“Tak
masalah Bro…! Tapi bener, konsep gue fantastik.” Ray berdiri dari
kursinya menatap jendela kantor BEM Universitas. Kata-katanya mantap.
“Festifal…
Lupercalia !” Ujar Ray lagi, ucapannya terdengar sangat hati-hati.
“Festifal…
Lupercalia… ?” Semua mata tertuju pada Ray.
“I..tu
… bukannya …” Layana terperangah, ucapannya terbata-bata.
“Ssst
… Kali ini elo tidak akan bisa mengacaukan acara pensi yang sudah gue
rencanakan sebulan yang lalu. Tidak setelah elo dan kakak-kakak elo yang
sok alim itu mengubah tari ular menjadi tari saman pada pensi 2 tahun
yang lalu.” Ray memotong ucapan Layana.
“Tapi,
bukankah tari ular terlalu erotis dan tidak pantas dipentaskan di depan
orang-orang berpendidikan.” Layana menyanggah.
“Festifal
Lupercalia adalah festifal yang dipersembahkan untuk Queen of Feverish Love atau
Dewi Cinta.” Boim tiba-tiba bergumam menyela.
“Tumben
amat kamu pinter, Im.” Sergah Ray.
“Aku
tidak setuju dengan rencana kalian. Dan kalau dengan caraku tidak
menyetujuinya, kalian memecatku dari komunitas teater ini, aku sama sekali
tidak keberatan. Festifal Lupercalia sangat bertentangan dengan agama dan keyakinanku.
Aku juga yakin, hal ini juga bertentangan dengan kepribadian bangsa kita.”
“Bodoh
amat dengan ceramah loe.” Ray sinis.
“Kalau
begitu, maaf. Aku ke kelas dulu.”
“Wait…!
Ray, apa kau yakin akan menggelar festifal ini?”
“Mengapa
tidak?”
“Tapi
apa rektorat akan menyetujui acara seperti itu. Festifal yang memasangkan
seorang gadis dengan pemuda yang bukan muhrimnya di dalam ruangan kemudian
menguncinya sampai pagi. Dan menyediakan anggur untuk bersenang-senang bagi
mereka. Apakah ini tidak terlalu gila.”
“Alah,
Boim … Boim. Itu kan cuma bentuk penghargaan kita pada budaya yang hilang. Kita
bilang ke Rektorat, ini adalah bagian dari seni. Asalkan Layana tidak mengacau,
rektorat pasti setuju.”
“Itu
bukan budaya kita Ray. Seni tidak bisa dikotori dengan hal-hal begitu. Festifal
itu tidak akan memberi kita pelajaran apapun.”
“Lama-lama
… kau sama menyebalkannya dengan Layana.”
“Maksudku
bukan begitu Ray…”
“Alah…
sudahlah … ayo Ren, Nang, kita cabut” Ray, Rena dan Nanang meninggalkan Boim
seorang diri.
***
14
Februari 2011 malam
…
Aduhai
Nabi, damailah Engkau
Aduhai
Rasul, damailah Engkau
Aduhai
Kekasih, damailah Engkau
Sejahteralah
Engkau
Telah
terbit purnama di tengah kita
Maka
tenggelam semua purnama
Seperti
cantikmu tak pernah kupandang
Aduhai wajah ceria
Engkau
matahari, Engkau purnama
Engkau
cahaya di atas cahaya
Engkau
permata tak terkira
Engkau
lampu di setiap hati
Aduhai
kekasih, Duhai Muhammad
Aduhai
pengantin rupawan
Aduhai
yang kokoh, yang terpuji
Aduhai
imam dua kiblat
…
Mata
Layana basah mendalami makna lantunan pujian untuk Sang baginda. Dadanya sesak,
nyaris saja kedua kakaknya, Hasan dan Husain serta dirinya tak bisa menikmati
indahnya malam cinta ini. Terjebak pada pergeseran waktu dan perlahan nyaris
menghapus sebuah idiologi. Idiologi yang selama ini mereka pertahankan.
Bintang
malam itu mengerlingkan matanya, menyampaikan pesan cinta Sang Nabi untuk mereka
yang mencintainya. Ya, malam ini, memang malam cinta tapi, bukan malam cinta
biasa. Malam yang bertepatan pada 14 Februari ini juga bertepatan dengan malam
12 Rabi’ul Awal, malam kelahiran baginda Nabi Muhammad SAW. Baru saja, Layana
lolos dari keterlibatan menistakan agama dan keyakinannya. Berkali-kali dia
beristighfar dan bersholawat. Matanya basah. Bibirnya masih memar, ada bekas
tamparan yang belum hilang.
***
“Gue
akan buat perhitungan dengan Layana. Perbuatannya ini kelewat batas.
Bisa-bisanya dia mengadu pada Rektor tentang Festifal Lupercalia di acara Pensi.”
Ujar Ray meledak-ledak.
“Gue
juga setuju, Gue énnék banget sama dia. Sok banget. Emangnya ini kampus
siapa. Aku heran. Kenapa jajaran rektorat bisa tunduk sama dia.” Tambah Renna.
“Festifal
Lupercalia tetap harus digelar. Dengan atau tanpa izin dari Rektorat.” Ujar Nanang
mantap.
“Caranya?”
Tanya Ray dan Renna bersamaan.
“Kita
buat acara kamuflase untuk pensi, acaranya harus sesuai keinginan rektorat dan
ketika rektorat serta tamu undangan pulang, Festifalnya kita mulai. Dan kita
juga harus melibatkan Layana. Ha…ha… ha...” Nanang bersemangat.
“Ini,
rencana hebat.” Teriak Ray.
“Tapi…
apa kalian setega itu pada Layana.” Boim bergumam. Namun suaranya terdengar
Nanang.
“Apa
elo ingin merasakan pukulan mautku ini. Awas…! Jangan beritahu rencana
ini pada Layana.” Nanang mencengkram krah Boim. Tubuh Boim yang gemuk itu, sama
sekali bukan halangan yang sulit untuk Nanang. Nanang berulang kali memenangkan
festifal pencak silat nasional.
“Apa
yang kamu lakukan, Nang?” Tiba-tiba Layana muncul.
“Ah,
enggak koq Lay, ini si Nanang lagi latihan buat festifal kungfu bulan depan.
Duduk sini Lay.” Nanang melepaskan cengkramannya dan memaksakan senyum.
“Hmm
… baiklah!” Dahi Layana berkerut heran, kenapa tiba-tiba Ray berperilaku santun
padanya. Baru kemarin dia bersitegang dengan Ray.
“Ah
… Aku tidak boleh berprasangka buruk pada orang lain.” Gumam Layana.
Tanpa
curiga apapun, Layana membahas banyak hal tentang pensi. Layana tidak menyadari
ada senyum licik tersungging di bibir Ray, Nanang dan Renna. Ada kekhawatiran
di hati Boim.
***
Sejak
Islam masuk ke Indonesia dan mampu menjangkau pelosok, peradaban Islam di Desa
Asmarakandi berkembang pesat. Desa yang mulanya dihuni oleh suku Hua-Hua ini
berubah nama menjadi Asmarakandi setelah Syekh Ibrahim Asmarakandi berhasil
mendakwahkan syari’at Islam pada tetua suku dan pengikutnya. Suku Hua-Hua di
masalalu adalah suku paganisme[1] yang
menjadikan patung tikus sebagai sesembahan mereka. Suku Hua-Hua juga meyakini
sesuatu berbau mistis dan klenik. Mereka menganggap tikus sebagai hewan suci
karena leluhur mereka pernah ditolong oleh seekor tikus setiap kali mengalami
musibah kekeringan. Tikus-tikus di desa itu sangat unik. Suku Hua-Hua mendapat
petunjuk sumber mata air besar dari tikus-tikus penggali tanah. Inilah mengapa
mereka bisa menangis darah jika menyaksikan kematiaan seekor tikus.
Mereka berburu untuk hidup. Karena di daerah mereka banyak sekali
spesies babi hutan, daging babi itu menjadi makanan pokok mereka sehari-hari.
Mereka memanah babi-babi kemudian memanggangnya dan beramai-ramai memakannya.
Setiap tahun, leluhur suku Hua-Hua mempersembahkan 5 perawan kepada dewa tikus yang
diyakininya untuk dijadikan tumbal.
Pada abad pertengahan hingga tahun 1133, pengaruh Kristen Kerajaan
Romawi pada dunia sangatlah kuat. Meski sebagian besar kepulauan Indonesia
memiliki masyarakat yang kental dengan ajaran hindu, suku Hua-Hua berbeda, suku
Hua-Hua justru menjadi penganut Katolik. Hal tersebut bisa terjadi karena
singgahnya seorang kristiani yang diusir dari negaranya lantaran melanggar
aturan baru Gereja Katolik yang melarang Lupercalian Festifal dan
menggantinya dengan Valentine’s Day. Sejak itulah kemudian suku Hua-Hua
budaya Festifal Lupercalia. Pada masa itu, perawan tak lagi menjadi tumbal raja
tikus melainkan tumbal nafsu berahi. Dalam festifal itu, wanita-wanita
dihancurkan kehormatannya.
Selain agresif dan hanya bisa ditaklukkan dengan ilmu bela diri,
suku Hua-Hua juga mudah terpengaruh oleh budaya dan keyakinan baru. Inilah
kemudian yang menjadikan masuk akalnya pengaruh Islam berkembang pesat pada
masyarakat suku Hua-Hua.
Syekh Ibrahim Asmarakandi putra dari seorang Ulama’ besar dari
Bukhara’, Samarqand mendapat tugas dari ayahnya untuk mendakwahkan Islam ke
seluruh Asia. Dan dalam perjalanan beliau itulah, suku Hua-Hua mendapatkan
hidayah dan cahaya Islam. Musibah tersesatnya Syekh Ibrahim Asmarakandi membawa
nikmat yang besar bagi suku Hua-Hua. Di sinilah Islam berjaya di tengah-tengah
masyarakat suku Hua-Hua.
Syekh Ibrahim Asmarakandi yang tampan, bijak, berwibawa dan sakti
mandraguna mampu menakhlukkan hati masyarakat suku Hua-Hua. Pengaruh beliau mengalahkan
pengaruh paganisme. Dengan pertolongan Allah, Syekh Ibrahim Asmarakandi
menakhlukkan ilmu klenik dan tenaga dalam tetua suku. Jika tidak teringat kisah
tentang Rasulullah dengan Usamah, sahabat beliau, mungkin tetua suku Hua-Hua
sudah berkalang tanah pada saat itu juga.
Di saat Usamah, sahabat Rasulullah saw, membunuh orang yang
sedang mengucapkan,"Laa ilaaha illallaah,"
Nabi menyalahkannya dengan sabdanya, "Engkau bunuh dia, setelah
dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah." Usamah lalu berkata,
"Dia mengucapkan Laa ilaaha illallaah karena
takut mati." Kemudian Rasulullah saw. bersabda, "Apakah
kamu mengetahui isi hatinya?”
Syekh Ibrahim akhirnya mendapat tempat khusus di hati masyarakat
suku Hua-Hua. Syekh Ibrahim mengenalkan Allah dan RasulNya Muhammad SAW. Beliau
juga mengajarkan tata cara ibadah serta syari’at Islam dengan sabar dan
telaten. Para wanita yang dulunya hanya menutup anggota tubuh di antara pusar
dan lutut kini mengenakan hijab. Sejak saat itu status wanita sangat dihormati
dan dijaga fitrahnya. Di tengah perjuangannya, tak jarang Syekh Ibrahim
mendapatkan fitnah-fitnah dan kirimin santet. Meski tak mudah menghadapi suku
Hua-Hua yang agresif dan mudah terpengaruh, Syekh Ibrahim tidak berputus asa,
terus menyelamatkan suku Hua-Hua dari masa jahiliyyah. Banyak
surau-surau kecil dan madrasah-madrasah didirikan. Syekh Ibrahim juga
melibatkan santri-santri yang mengikuti perjalanannya untuk mengajarkan Islam
di sana.
Tetua suku Hua-Hua memiliki putra yang akhirnya diberi nama Syekh
Arifin Ilham oleh Syekh Ibrahim. Dari Syekh Arifin Ilham inilah kemudian
lahirlah generasi-generasi muda yang begitu mencintai Allah dan Nabi Muhammad
SAW. Generasi ketujuh inilah yang akhirnya lahirlah saudara kembar dengan nama
Syekh Hasan, Syekh Husain dan adiknya Layana Layyinun. Generasi ketujuh inilah
yang mengemban tugas menjadi surau leluhurnya agar tetap berdiri kokoh. Tidak
hanya pada bangunannya tapi lebih kepada nilai-nilai keyakinan agama yang
dinaungi surau itu.
***
Desa Asmarakandi sekarang dikenal dengan prestasi menelorkan
cendekiawan-cendekiawan muslim. Hari-hari besar Islam digelar besar-besaran dan
meriah. Tak terkecuali tradisi perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Namun,
seiring bergesernya waktu dan berkembangnya IPTEK serta munculnya aliran-aliran
baru di Indonesia, desa Asamarakandi juga terkena imbasnya. Isu Gerakan Anti
Maulid pun beredar dan semakin meresahkan desa. Ulama’-ulama’ setempat
bersitegang. Tak terkecuali Syekh Hasan dan Syekh Husain. Dua saudara kembar
kakak beradik keturunan Syekh Arifin Ilham ini memiliki pendapat yang
bersebrangan. Syekh Hasan membawa pemikiran-pemikiran ala Yamani karena dia
lulusan Al-Ahghaf Yaman dan Syekh Husain dengan kentalnya pemikiran ala
mahasiswa Al-Azhar Cairo Mesir. Layana adik perempuan mereka sering mendapati
kakak-kakaknya bersitegang mempersoalkan Gerakan Anti Maulid. Mereka saling
mengeluarkan dalil-dalil[2]
naqli[3]
maupun Aqli[4]
yang Pro dan Kontra. Meski sekeras apapun Layana berusaha menengahkan,
perempuan berkulit putih itu belum bisa menenangkan hati kedua kakaknya.
“Di sini, hal Itu adalah budaya yang sudah mendarah daging, Dik.”
Syekh Hasan mengeluarkan pendapatnya.
“Kak, budaya yang biasanya didefinisikan sebagai hasil budi daya
manusia itu menyimpang dari nilai keyakinan kita. Merujuk dari bahasa Inggris, culture
yang tersusun dari dua kata cult artinya cara penyembahan dan lore
berarti adat atau kebiasaan. Dengan perayaan yang membudaya itu, berarti ada
pemujaan berlebihan pada baginda Nabi. Apakah itu ada dalam ajaran agama kita?”
“Kamu telah salah paham Husain. Perayaan maulid bukan pemujaan.
Itu adalah tradisi positif yang banyak mengandung manfaat bagi masyarakat kita.
Masyarakat yang biasanya menganggap dirinya tidak sempat membaca shalawat pada
Nabi setiap hari, pada perayaan Maulid mereka punya waktu untuk berkumpul
membaca shalawat. Masyarakat yang biasanya sulit bersedakah, pada perayaan
maulid mereka tidak segan-segan mengeluarkan banyak harta demi fakir miskin.
Apa jadinya kalau sampai hal ini dihilangkan dari peradaban masyarakat kita.
Kalau begitu caranya, lambat laun masyarakat kita akan kembali lupa pada Allah
dan NabiNya.”
“Coba kakak lihat perayaan maulid pada zaman sekarang, ada yang
ngasih sesajen, makan-makan dan berhura-hura di surau-surau, mengadakan ritual
mandi di laut sebagai pensucian diri, ada yang bernyanyi-nyanyi memukul alat
musik. Apa ini tidak menyimpang?” Ujar Syekh Husain menjelaskan dengan
berapi-api.
“Cukup Kak …! Kak Hasan, Kak Husain, maaf kalau Layana lancang
memotong pembicaraan kalian. Memang kebanyakan dari kita terjebak oleh
pemahaman keliru tentang maulid Nabi. Akibatnya, persoalan –persoalan baru
serta perdebatan panjang yang membuang-buang waktu ini selalu terjadi.
Persoalan dan perdebatan ini tidak ada nilainya sama sekali. Kakak berdua
meninggalkan santri-santri dan jam mengajar kakak hanya karena persoalan ini.
Bahkan sekarang santri-santri kita sudah terbagi menjadi dua kubu. Apa kalian tidak sadar akan
terbukanya gerbang kehancuran dan robohnya surau leluhur kita. Surau yang Ayah
dan Kakek perjuangkan. Surau yang dibangun dengan susah payah oleh syekh
Ibrahim Asmarakandi.
Apa kakak lupa dengan kata-kata Imam Syafi’I ‘ Saya tidak pernah
berdebat dengan orang berilmu, kecuali saya mampu mengalahkannya dan saya tidak
pernah berdebat dengan orang bodoh, kecuali ia mampu mengalahkanku’. Hentikan
perdebatan ini! Kalian hanya terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran orang-orang
yang ingin merusak Islam.
Apa kakak tahu, hampir saja di kampusku akan digelar festifal
lupercalia. Tradisi yang dulu sudah kita kubur karena melecehkan wanita. Kalau
saja rektorat tidak menentang ide teman-temanku itu, mungkin Layana akan
terjebak Kak. Apa Kakak tega melihat Layana menjadi korbannya. Masyarakat kita
ini rentan dengan pengaruh buruk pemahaman dan aliran baru. Daripada Kakak
saling mengeluarkan dalil yang menentang maupun mendukung perayaan maulid lebih
baik kita pikirkan bagaimana caranya agar isu itu berakhir dan memperbaiki cara
perayaan maulid yang salah. Kak, Layana tidak mau, almarhum Ayah dan Ibu
menjadi sedih karena melihat kita sering bertengkar bahkan tidak saling menyapa
gara-gara hal ini. ” Layana berkata panjang lebar sambil meneteskan air mata.
Hasan menghampiri Layana memeluk Layana. Husain tercekat.
“Kumohon, berhentilah menangis, Aku tidak bisa melihat ada airmata
di matamu. Aku janji tidak akan berdebat lagi tentang hal ini. Kumohon maafkan
kami” Husain pun menghampiri Layana dan Hasan.
“Dik, maafkan aku juga. Aku juga berjanji tidak akan membahas ini.
Ini akan menjadi terakhir kalinya kamu menangis gara-gara Aku. Kak Hasan,
Husain juga minta maaf pada kakak.” Mereka bertiga berpelukan. Layana tak
hentinya meneteskan airmata.
“Ayolah, kita sudah berjanji, kamu jangan menangis terus.” “Iya,
kumohon berhentilah menangis.” Ujar Hasan dan Husai bersahutan. Hasan menghapus
airmata Layana. “Kak, kalau boleh Layana sarankan, untuk menjernihkan pikiran
kalian, Layana punya kitab berjudul Mafahim Yajibu an Tushohhah, karya
Profesor. Dr. As-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani. Abuya Maliki juga
menjelaskan perkara Maulid di kitab beliau yang lain pada risalah khusus
berjudul Seputar Perayaan Maulid Nabi yang Mulia. InsyaAllah, setelah
membacanya, perdebatan semacam ini tidak akan terjadi di masa depan.” “Baiklah,
kami akan menjalankan saranmu.” Hasan, Husain dan Layana tersenyum.
***
Pensi di kampus Layana tahun ini
akan digelar bersamaan dengan acara perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW. Perayaan
itu sengaja digelar sehari lebih cepat karena keesokan harinya, tepat tanggal
12 Rabiul Awal, kampus Layana libur sehari untuk menghormati hari kelahiran
Nabi. Sesuai rapat dan izin Rektorat, acara akan dilaksanakan sejak pagi hingga
malam. Paginya pentas tarian daerah dan drama kisah tokoh-tokoh cendekiawan
muslim. Dan malamnya, pembacaan diba’iyah barzanji dan ceramah agama.
Layana bersyukur, rencana teman-temannya menggelar Festival Lupercalia gagal
karena tidak mendapat izin.
Selesai
acara, seperti biasa Layana bersama teman-teman yang lain tidak langsung pulang
karena harus membersihkan lokasi acara. Tiba-tiba, ponsel Layana berdering, 1
pesan diterima.
<Ibrahim>
Lay,
sebaiknya Kau pulang dulu. Tugas kamu, Aku yang urus. Kumohon pulanglah!
Diterima
: 23:03 14 Peb
Pesan
singkat dari Boim. Layana tidak mengerti isi pesan temannya, Ibrahim atau
dikenal Boim di kampusnya. Yang membuat Layana heran, kenapa Boim mengirim sms
padahal dia tidak jauh dari Layana. Layana melambai ke arah Boim. Tangan Boim
tertangkup seperti memohon sesuatu. Layana bergerak menghampiri Boim namun
tangannya segera ditarik oleh Renna. “Ada apa Ren?” “Aku butuh bantuanmu!” “Oh,
baiklah!” Raut Boim terlihat kecewa. Perlahan Boim mengikuti Layana dan Renna.
Di
depan sebuah ruangan. “Itu Lay, Aku takut sama kecoa. Kecoanya banyak banget.
Aku tidak bisa mengambil tas dan uang kas teater. Padahal Aku ditunggu petugas
soundsystem karena belum bayar sewanya.” “Oalah, Cuma kecoa, insyaAllah
saya bisa atasi.”
Setelah
Layana masuk ruangan, Renna cepat-cepat mengunci pintu. Layana terperanjat. Dia
berteriak menggedor-gedor pintu “Ren, apa yang kamu lakukan? Apa maksudnya ini?
Kenapa kamu mengunciku di ruangan ini?” “Lay …! Ini hukuman karena elo
sudah membuat Festival Lupercalia gagal diselenggarakan. Elo kan yang membujuk
rektorat agar tidak mengadakan Festifal itu.” Suara Ray terdengar keras
diiringi gelak tawa Nanang dan Renna. “Demi Allah …! Aku tidak melakukan itu.
Rektorat melarang festifal itu bukan karena keinginanku.” “Alah … tak usah
beralasan Kau …!Apalagi membawa nama Tuhan.” “Renna …! Tolong buka pintunya …!
Kamu membohongiku.” “Ya, Aku memang telah berbohong, di sana tidak ada kecoa.
Yang ada 5 sekawanan srigala. Ha …ha…ha…” “Renna … apa maksudmu?” Tawa
orang-orang di luar semakin terdengar keras ditambah suara tawa laki-laki di
belakang Layana. 5 orang laki-laki tertawa di belakang Layana. Layana
terperangah. Dia menggedor-gedor pintu minta tolong. Tapi tidak ada yang
mendengarkan. Sementara di luar sana terdengar suara musik disko yang sangat
kencang, mengalahkan suara teriakan Layana.
“Kakak …!Aku harus telepon kakak!” Tapi dengan cekatan salah satu
laki-laki itu merampas dan menggenggam tangan Layana. “Lepaskan! Lepaskan Aku!”
Layana berteriak meronta. “Layana! Kau tidak apa-apa? Aku sudah menyuruhmu
pulang. Tetapi kenapa Kau tak mengerti Layana.” Suara Boim yang dihafal Layana.
“Boim! Tolong Aku!” “Iya, Layana!” terdengar Boim mendobrak pintu. Tapi
kemudian terdengar suara pukulan bercampur suara Boim yang sedang merintih.
Suara kabur dengan bunyi musik.
Layana
seperti kehilangan harapan. Dia berusaha berteriak dan menangis memohon untuk di
lepaskan. Tapi tak ada yang mendengar. Hatinya tiba-tiba, teringat Nabi yang
dicintainya. Bibirnya komat-kamit menyebut sebuah nama. “Muhammadku …
Muhammadku … Nabiku … Ini adalah hari kelahiranmu, bantulah Aku … yang begitu
mencintaimu, Aku yang lemah dan selalu mengharap syafa’atmu. Do’akan Aku agar
Allah mengirimkan bala tentara malaikatNya untuk menolongku. Tolong … bantu Aku
… mempertahankan kesucianku.”Layana merintih dan berairmata.
Matanya
tiba-tiba membelalak tajam, kemudian melirik tongkat pramuka di samping lemari.
Layana menendang perut laki-laki yang mencengkram tangannya. Laki-laki itu
tersungkur. Kemudian segera berlari mengambil tongkat kayu.
Sementara
di luar, Boim merintih kesakitan karena dihajar habis-habisan oleh Ray dan
Nanang. Di tengah Festival Lupercalia yang tetap berjalan meski tidak berizin
itu, Boim dan Layana sama-sama merintih memohon bantuan. Boim terus
bersholawat, karena hanya itu lafadz yang dia ingat. Perlahan tangan Boim
meraih handphone di sakunya. Kemudian menyalakannya. Dia berulangkali
bersyukur karena handphone itu masih bisa digunakan. Dia merangkat
menuju tempat yang jauh dari keramaian. Kemudian mencari nomer Syekh Hasan.
***
Tit
… tit … tit … sebuah hanphone di atas meja berdering. Sebuah nomor baru
terlihat di layar Hp itu. Kriek … suara pintu berdecit. “Kenapa sudah selarut
ini, Layana belum pulang. Aku harus segera menelponnya. Hatiku tidak enak.
Tapi, dimana aku tadi meletakkan handphoneku” “Nah ini dia, ada telpon.
Assalamu’alaikum, ini Hasan.” “Wa’alaikumsalam, Syekh … tolong cepat datang ke
kampus! Layana dalam bahaya.” Suaranya terburu-buru. Lalu putus. “Innalillahiwainnailairaji’un.
Husain. Cepat telpon polisi dan menuju kampus Layana. Dia dalam bahaya, Aku akan
mengeluarkan mobil. “Astaghfirullah … Iya Kak!” Husain yang tengah membaca
Al-Qur’an di ruang tengah terperanjat segera meletakkan Al-Qur’an di atas meja.
***
“Ha…ha….ha…
kamu mau melawan kami dengan tongkat kayu itu? Kami bahkan bisa mematahkan
tongkat besi sekalipun.” Salah satu laki-laki jahannam di depan Layana
berkelakar.
“Tidak
ada yang tidak mungkin bagi Allah. Tongkat ini memang hanya tongkat kecil dari
kayu. Tapi, aku yakin, dengan pertolongan Allah melalui tongkat ini, Aku bisa
melumpuhkan kalian. Allah akan menjaga kehormatan wanita-wanita yang
mempertahankan harga diri dan kehormatannya. Kalian tidak akan bisa menyentuhku
apalagi menghancurkan kehormatanku.” Layana berteriak marah dan membelalakkan
mata. Sekarang tidak ada rasa takut di dalam hatinya. Dia yakin Allah
bersamanya. Dia membabi buta memukul kelima laki-laki yang mencoba
menyentuhnya. Kemudian salah satu laki-laki mencengkram tongkat kayu yang
dipegang Layana. Layana tersungkur. Bibir, tangan dan kakinya penuh darah.
Suara tawa kembali terdengar. “Inikah pertolongan Tuhanmu itu?”
Tiba-tiba
suara deru mobil polisi memecahkan keramaian. Suasana di luar makin ramai.
Terdengar bunyi tembakan dan jeritan. “Inilah pertolongan Allahku. Nabiku telah
menyampaikan penderitaanku pada Tuhanku. Kalian akan meringkuk di penjara.”
Layana berteriak sangat marah. Kelima laki-laki itu panik. Mereka saling
berdebat dan kemudian salah satu di antara mereka berinisiatif memecahkan kaca
jendela di bagian belakang ruangan. Mereka berusaha melarikan diri. Tapi,
tiba-tiba pintu digebrak dan polisi berteriak. “Angkat tangan …!” Layana
melihat kakaknya Hasan dan Husain berlari mengahampirinya. Dia berteriak,
menangis. “Kakak …!” ”Maafkan kakak sayang, kakak terlambat menyadari firasat
buruk tentangmu. Kakak terlambat menolongmu.” Hasan memeluk Layana. “Layana takut,
Kak Hasan!” “Kamu tidak apa-apa kan?” Husain memegang kepala Layana lembut.
“Kak Husain…!” Layana kembali memeluk Husain. “Allah menolongku Kak, Aku bisa mempertahankan kehormatanku.
Polisi
meringkus kelima laki-laki serigala itu. Semua Mahasiswa yang terlibat Festival
Lupercalia juga ditangkap. Mereka juga dipastikan akan didrop out dari
kampus. Layana melihat Boim juga ditangkap. “Pak Polisi …! Dia tidak bersalah,
Dia bahkan berusaha menolong saya. Dia juga korban. Dia tidak terlibat dalam
kejahatan ini.” Boim tersenyum. “Terimakasih Layana!” “Justru, Aku yang
berterimakasih karena Kau telah berusaha
menolongku.” Hasan dan Husain menjabat tangan dan memeluk Ibrahim. Bibir mereka
mengucapkan terimakasih.
Layana
bergumam,”Terimakasih Allah… Engkau telah memberi hamba kekuatan. Terimakasih
Nabi… Engkau mendengar rintihanku.”
Selesai
Ahad, 7 Desember 2014 08:59
Terimakasih
Nabi ..!. Engkau inspirasiku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar