Jumat, 17 Desember 2010

KESALAHAN MERANCANG PREMIS


Flash back pada sejarah tak perlu lagi menjadi wacana baru dalam headline. Sebab fardhu ‘ain hukumnya mendarah-dagingkan memori liku jihad masa itu. Katakan saja tanggal keramat 17 Agustus sebagai peristiwa awal yang kemudian menyeret Kita pada gerbang era marak berjejaring sosial. Sebuah tanggal sakti yang membuat negara-negara Timur Tengah (baca : Mesir, Siria, Irak, Saudi-Arabia, Turki, Iran, Afganistan dan Jemen) bertepuk tangan bangga karena perhelatan ketat mereka membela Indonesia menang mutlak. Dan dari tanggal sakti itu pula otak orang-orang Indonesia serempak merancang premis (baca: muqoddimah) masa depan.

Wasiat ke-12 Haqiqi Alif dalam buku best sellernya ‘Wasiat untuk Remaja’ menuliskan bahwa kebijaksanaan seseorang diukur dari prosentase kemampuan mengambil ibroh serta sikap antusiasnya memperhatikan berbagai peristiwa awal. Karena pada hakikatnya suatu kesimpulan tergantung pada premis mayor atau minorkah. Jika premisnya sudah salah maka kesimpulannya juga akan salah. Tak jarang kita jumpai orang-orang yang bangga mengucapkan ‘stress’ saat secuil masalah mereka dapati. Atau tiba-tiba semangat yang awalnya berapi-api tiba-tiba padam sehingga berakibat terkatung-katungnya cita-cita. Padahal peristiwa awal tersungkurnya mereka pada jurang masalah adalah peluang berhasilnya melalui proses pengangkatan derajat.
Begitu juga dengan kenyataan banyaknya orang keliru mengambil pelajaran pada peristiwa ditetapkannya tanggal 17 Agustus sebagai tanggal heroik untuk kata kebebasan. Mereka anggap dewa kebebasan itu hidup dari kebebasan-kebebasan perilaku tanpa kontrol. Pada akhirnya mereka akan berani memperkosa UUD 1945 pasal 28 ayat 1 tentang kebebasan berpendapat. Akibatnya lambat laun bebas berpendapat berubah menjadi pendapat bebas tanpa rujukan yang kemudian menjadi bebas memaksakan pendapat.
Kalau ditanya soal contoh, terjawab tak hanya satu. Mereka yang ingin bebas berpendapat bahwa mengawini Anak kandung tak jadi soal, hasilnya banyak Ayah yang memiliki anak yang sekaligus berstatus cucu. Ingin bebas berpendapat kawin sejenis adalah Hak Asasi Manusia, hasilnya berbagai penyakit kelamin mengalahkan kepopuleran penyakit gigi. Atau mereka yang ingin bebas berpendapat bahwa satu-satunya jihad fi sabilillah hanya dengan membumi-hanguskan ahlul maksiat dan dedengkot-dedengkot kafir, hasilnya berunit-unit pasukan penjinak bom dan Densuus 88 Mabes Polri dapat job berlebih. Seandainya Rosulullah tidak menetapkan angka tiga sebagai sunnah, mungkin akan tertulis contoh lebih dari itu.
Setelah kebebasan versi mereka mewabah ke segala usia, lantas berbangga-bangga meneriakkan Hubbul Wathan Minal Iman. Semua kalangan sepakat bahwa cinta tanah air adalah manifestasi iman. Orang yang tidak mencintai tanah airnya boleh kita sebut sebagai pengkhianat. Orang yang beriman menempatkan negara di tempat yang tinggi. Jadi bila tidak ada cinta kepada tanah air, kepada bangsanya maka tidak ada iman di dalam dadanya. Karena tempatnya yang tinggi ini, oleh Allah, tanah air disejajarkan dengan agama. Firman Allah dalam (QS. 60:8).: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Namun, persoalannya sekarang kenapa berani bersemboyan seperti itu kalau proses menyalurkan cintanya saja sudah salah. Apa hanya dengan memasang umbul-umbul di setiap lapangan desa bisa disebut sebagai hubbul wathan. Atau hanya dengan ramai-ramai memasang spanduk-spanduk besar bertuliskan ‘Dirgahayu Indonesiaku’. Apalagi berbuat mubadzir terhadap uang rakyat dengan menghadirkan group orkes tertentu pada malam puncak 17 Agustus, padahal jika dilihat dari moment tahun ini, HUT RI bersamaan dengan hadirnya bulan suci Ramadhan. Semua itu ibarat menegakkan benang basah jika perayaan-perayaan itu hanya sebatas mengenang. Walaupun pada akhirnya kita semua melaksanakan upacara bendera dengan hikmad, itu saja belum cukup menunjukkan rasa cinta kita pada tanah air.
Lantas, bagaimana ciri-ciri individu yang benar-benar meraih lafadz merdeka haqiqi dengan Hubbul Wathan-nya? Kemerdekaan adalah kita dapat dengan bebas mengatur negara kita sendiri, lalu dari kebebasan mengatur ini akan keluarlah beberapa peraturan yang kita ciptakan sendiri, dan kita mengikatkan diri dengan peraturan-peraturan tersebut dalam rangka kebahagiaan bersama.
Manifestasi dari peraih kemerdekaan haqiqi adalah mensyukurinya dengan cara melaksanakan peraturan-peraturan yang telah dibuat tersebut guna mencapai kebahagiaan bersama. Bagaimana bisa dikatakan bersyukur kalau KTP saja belum punya, Bagaimana bisa dikatakan bersyukur kalau dalam pembuatan KTP saja masih banyak terjadi pungli. Bagaimana bisa dikatakan bersyukur kalau sampai saat ini peraturan lalu lintas hanya menjadi hiasan. Bagaimana bisa dikatakan bersyukur kalau penindakan bagi pelanggar lalu lintas terlihat tak tegas dan mengecewakan. Bagaimana bisa dikatakan bersyukur kalau perkara kecil saja tak teratasi. Inikah peraih kemerdekaan haqiqi.
Sebenarnya Kita bisa belajar dari negara kita sendiri, karena negara kita mengandung juga makna-makna yang dalam. Seperti di negeri kita, tumbuh berdampingan antara pohon besar dan rumput di sekitarnya. Kita bisa mengambil pelajaran bahwa rumput kecil bisa hidup berdampingan dengan pohon besar tanpa merasa khawatir tidak kebagian rizki. Pohon besarpun melindungi rumput dari panas terik dan angin besar. Kalau pohon dan rumput bisa demikian, seharusnya antara rakyat kecil dan para pengusaha besar dan pejabat dapat hidup berdampingan dan saling membantu bukan malah saling merugikan dan mengecam.
Presiden Pertama Ir. Soekarno dalam pidatonya berpesan pada Indonesia : Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai sesuatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa merdeka." Satu pesan yang akhirnya memberi urutan kedua salah satu ciri Orang Indonesia yang berhasil meraih merdeka haqiqi dengan hubbul wathannya adalah orang yang tidak menyandarkan dirinya pada bangsa lain. Tidak cukupkah dengan bukunya “Indonesia butuh Nuklir”, Agus Mustofa mengingatkan kita tentang betapa pentingnya tidak mengharap bantuan orang lain.
Kita punya laut, punya ikan-ikannya, mutiaranya, tambang emas, minyak, tanah berhumus dan sebagainya. Lantas, berapa banyak ikan yang bisa kita tangkap? Berapa banyak mutiara yang baru diambil? Masih sangat sedikit. Boleh jadi Jepang lebih mensyukuri pemberian negaranya. “Dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.” (QS. 16:14).
Dalam setiap prolog khutbahnya AA. Gym mengemukakan: "Barang siapa yang tidak mensyukuri nikmat Allah, sesungguhnya ia telah membuka jalan hilangnya nikmat dari dirinya. Akan tetapi barangsiapa yang mensyukuri nikmat Allah, maka ia sesunguhnya ia telah memberi ikatan yang kuat pada kenikmatan Allah itu." Mensyukuri adalah menggunakan anugerah nikmat sesuai dengan tujuan anugerah itu diberikan. Seperti misalkan kita diberi baju, maka mensyukurinya adalah baju itu digunakan, bukan untuk dijadikan kain pembersih lantai. Mensyukuri kemerdekaan adalah demikian juga, harus sesuai dengan cita-cita kemerdekaan itu sendiri, yaitu bisa mengelola negara dan bangsa sendiri seoptimal dan sebaik mungkin.
Kufur nikmat jika kita belum mengambil seluruhnya sumber daya alam negara kita. Kufur itu artinya adalah menutupi. Kekayaan alam yang belum tergali adalah berstatus menutup. Bersyukur adalah membuka dan mengangkat kekayaan alam itu sehingga dapat kita gunakan sebaik-baiknya.
Kemerdekaan bukanlah kebebasan yang mutlak. Karena kebebasan yang mutlak bisa menyebabkan kerusakan yang mutlak pula. Karena itu lantas, kemerdekaan mengandung batas-batas tertentu agar tak mudah dijajah ulang. Penjajahan tak lagi berupa invasi pasukan, karena bisa memakan biaya sangat boros di sisi penjajah, tapi penjajahan akan masuk pada sektor-sektor pendidikan, ekonomi, teknologi dan budaya. Beberapa persoalan ini akan terjadi jika proses pengambilan ibroh sebagai hasil rancangan premis dalam menyikapi peristiwa awal yang berupa kemerdekaan cenderung keliru. Secara serempak alihkan rancangan premis dari sekarang…!

Tidak ada komentar: