Minggu, 07 Agustus 2011

ROMANTISME SIMULASI CINTA

Fabiayyi ’alaa irobbikuma tukaddiban…
Dan, nikmat Allah yang manakah yang akan engkau dustakan…
Ali berhenti melanjutkan ayat berikutnya. Bukan Karena Ia enggan atau tak hafal lanjutan ayat tersebut. Tapi, karena matanya basah ketika otot bathinnya secara spontan mentafsiri kata demi kata dalam ayat indah surat Ar-Rahman itu.
“Aku Ali Hasan, mensyukuri setiap darah yang mengalir, mensyukuri setiap nafas yang mendesah, mensyukuri setiap udara yang ku hirup, mensyukuri 30 juz yang ku hafal, mensyukuri bidadariku, mensyukuri kedua putra putriku, mensyukuri pribadiku yang kembali normal dan mensyukuri rasa cinta halalku.” Batinnya bergumam mantab. Matanya terpejam.
Ruangan dan perabot di kamarnya berubah hitam putih, menyusuri sebuah lorong waktu dan mencari kebenaran sejarah masa lalunya yang terlanjur diukir alam.
***

 “Kaum Sadum atau yang biasa kalian kenal dengan Sodom adalah masyarakat pada masa Nabi Luth a.s yang sangat rendah tingkat moralnya. Masyarakat yang akhirnya dihancur leburkan oleh Allah, karena moralnya semakin minus meski Nabi Luth sudah mati-matian berseru pada mereka tentang kebenaran. Mereka suka menjarah harta yang bukan hak, mabuk-mabukan serta menghalalkan lesbian dan… homosex…” Ali tercekat, bibirnya kelu. Lembar-lembar kitab Sejarah Peradaban Islam di mejanya dibiarkan carut marut tertiup angin yang tiba-tiba masuk melalui pintu kelas VIII B Mts Baitur Rohmah Malang.
“Rahmad, bisa Kau tutup pintunya!”
“Nggih Ustadz.” Sahut murid yang bernama  Rahmad  ta’dzim.
Bayangan lafdz surat As-Syu’araa’ ayat 165 -166 terngiang-ngiang dalam batok kepalanya. Matanya terpejam. ‘Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas’.
“Ustadz Ali, boleh nggak orang yang keranjingan lesbi dan homosex kita ibaratkan seperti jeruk yang suka makan jeruk.” Kelakar  seorang  murid ceking yang berada dipojok kelas. Terlihat tangannya masih mengacungkan tangan. Wajahnya serius. Ali tersadar dari lamunannya.
“Eem… boleh.” Jawab Ali memaksa senyum. Dirinya merasa tersindir. Terlihat Rahmad  juga mengacungkan tangan tanda ingin berkomentar atau mungkin menanyakan sesuatu.
“Ustadz, bagaimana bunyi ayat yang menerangkan tentang kisah ini.” Ali kembali tersenyum tapi, tetap dengan paksaan.
“Baiklah anak-anak!  Ayat yang ditanyakan Rahmad tadi akan menjadi pekerjaan rumah kalian yang harus dikumpulkan Ahad depan.” Suasana kelas menjadi riuh, penuh suara bisik-bisik. Raut para murid seakan tak setuju dengan tugas itu tapi tak berani menolak.
“Yach Ustadz, Kita kan belum tahu letak surat serta ayatnya. Masa’ harus membolak-balik lembar demi lembar Al-Qur’an satu persatu. ”
“Justru karena kalian belum tahu, kalian harus menemukannya. Bukankah suatu kebanggaan jika kalian mampu menemukannya sendiri dalam Al-Qur’an. Agar lebih mudah kalian cari ayat itu dengan bantuan kitab Fathur Rahman. Tapi, Kalian temukan kata kuncinya terlebih dahulu. Ini sebuah tantangan untuk kalian. Ahad depan, siapa yang paling cepat menemukannya bahkan bisa mengumpulkan sebelum hari H-nya tiba, akan Ustadz beri hadiah berupa ziarah ke makam Gusdur di Jombang. Gimana, mau nggak?"
"Mau sekali Ustadz." Teriak murid-murid Ali bersemangat. Apalagi Rahmad, murid cerdas andalan Ali. Ali sudah menduga bahwa Rahmad-lah yang akan menemukannya terlebih dahulu. Kelas agak gaduh sejenak membicarakan Gusdur dan julukan Bapak Pluralisme yang disandangnya. Ali hanya membisu membiarkan sejenak murid-muridnya saling mengungkap pendapat lirih. Ali memang menanamkan rasa cinta dan kagum pada Gusdur serta pemikirannya di jiwa murid-murid. Berharap bisa mencontoh hal-hal luar biasa yang Almarhum miliki.
***
Rahmad berada di dalam perpustakaan utama Yayasan Baitur Rohmah. Perpustakaan yang luas dan kaya literatur itu terletak tak jauh dari Kampus IKABA (Institut Keislaman Baitur Rohmah). Kampus dibawah naungan Yayasan Baitur Rohmah. Yang dituju hanya satu, kitab Fathur Rahman. Meski sebenarnya Dia suka segala jenis bacaan asalkan tak berbau porno, hari ini Dia ingin fokus meneliti Fathur Rohman untuk menemukan ayat yang dimaksud Ustadz Ali. Setelah menemukan Kitab yang diinginkan, Rahmad mengambil posisi duduk agak tersembunyi dan membelakangi pintu masuk. Didepannya duduk Dava teman seangkatannya yang juga musuh bebuyutannya. Tapi, Rahmad tak peduli asalkan Dava tidak berbuat ulah dengannya.
Diatap yang berbeda Ali berjalan gontai menuju asramanya, bayangan kisah kaum Sadum dan perilaku homosex dan lesbian yang mereka lakukan masih melumat pikirannya.
"Diriku tak lebih baik dari kaum Sadum. Diriku yang hafal Al-Qur’an, diriku yang seorang ustadz. Seharusnya Aku memberi tauladan akhlaq terpuji pada anak didikku. Bukan malah meniru perilaku kaum Sadum. Aku sholat, puasa, berdzikir tapi juga bernafsu pada sesama jenis. Kenapa Aku tak bisa menahan nafsu saat tubuh seksi dan putih teman sekamarku itu terlihat oleh kedua mataku. Kenapa Aku bernafsu mencumbunya yang berstatus sama lelakinya denganku. " Ali terus mendebat hatinya.
Ia merogoh saku tas jinjingnya, mengambil kacamata hitam, memandangnya sesaat,
" Lima tahun sejak Aku memutuskan tak meneruskan studiku di kampus As Sa’adah dan memilih meneruskan hafalanku hingga akhirnya sampai dan mengabdi di Pondok Pesantren Baitur Rohmah aku selalu mengenakan kacamata ini untuk menahan nafsuku. Namun, kenapa Aku belum bisa mensudahi 180° pribadiku yang tak normal. Kenapa bukan perempuan yang aku inginkan. Kenapa…eghh…" Ali mendesah sejenak kemudian memakai kacamata hitam ditangannya. Ia sudah yakin sebentar lagi Ia akan menemukan teman sekamarnya bersiap-siap untuk mandi dan kemudian sholat Dzuhur berjama’ah. Dan secara otomatis mereka akan bertelanjang dada. Ia tak kuat harus terus menerus tak bisa menahan nafsunya apalagi pada Zakka, Ustadz pengajar baru dari Jakarta.
TEACHERS ROOM, seperti itu kiranya tulisan dengan font huruf Arial Black diatas papan berukuran sedang yang tergantung di atas pintu. Kamar Ali. Dan Dugaannya sama sekali tak meleset, seluruh penghuni kamar itu memang bersiap-siap untuk antri mandi. Beberapa ada yang masih rebahan, mengipasi tubuhnya yang kepanasan dengan kardus bekas aqua, dan bertelanjang dada.
“Buat apa Loe pakai kacamata item disiang bolong Ali, emangnya Loe keturunan vampire?” Ujar Zakka, laki-laki tinggi, tampan, putih dan berlesung pipi. Ustadz lulusan Syiria itu beracting lenjeh menggoda Ali, melepas kacamata Ali lalu menyembunyikannya dibalik punggungnya. Dada berbulu tipisnya itu terbuka. Ia hanya mengenakan sarung BHS hijau toska sepinggang. Ali yang tak lagi mengenakan kacamata memandang tubuh itu lekat-lekat, tekstur kulitnya yang putih kemerah-merahan, lesung pipinya dan dada berbulunya. Ada nafsu di mata Ali. Hatinya berdegup sangat kencang, seakan mengulang peristiwa beberapa tahun yang lalu saat Ali remaja sedang jatuh cinta. Bedanya saat ini rasa itu bukan untuk manusia berjenis betina. Bendera hitam kejahatan berkibar diatas kepalanya dan mengenahi tengkuk. Ali menelan ludah sebelum kemudian sadar dirinya telah ditakhlukkan nafsu.
“Astaghfirullahal Adzim.” Ucap Ali lirih mengalihkan pandangan, merampas kacamatanya dan bergerak menjauh sambil tertunduk.
“Loe aneh!” Zakka berujar agak ketus.
Ali tak bergeming, meletakkan tas jinjingnya ke dalam lemari dan mengambil laptop dan segera bergegas.
“Eh, mau kemana? Nggak shalat dulu apa? Bentar lagi Dzuhur.”
“Ke perpus, ntar shalat di musholla deket kampus aja.” Jawab Ali datar tanpa menoleh kebelakang dan tak mengindahkan gelengan heran Zakka.
 ***
Di Perpustakaan tempat Rahmad mendalami isi Kitab Fathur Rahman, Ali datang mengucap salam dengan lirih tetap dengan kacamata hitamnya. Seisi ruangan menoleh padanya dengan pandangan tak suka yang tertahan.
Dava, teman seangkatan Rahmad yang duduk didepannya buru-buru merobek kertas memonya, menuliskan sesuatu sembari tersenyum usil, kemudian melemparkan kertas itu pada Rahmad. Sebuah tulisan yang tertulis asal-asalan itu berbunyi.
“Heh… murid engselen. Kau tahu nggak, kenapa Ustadz favoritmu itu selalu mengenakan kacamata hitam? Ha… ha… ha… Dia Gay. Kacamata itu ia gunakan untuk menahan nafsunya untuk tak melihat tubuh seksi laki-laki. Saran gratis dariku, mendingan jangan dekat-dekat dengannya. Ingat Kau punya seorang Ustadz H.O.M.O.” Dava terlihat cekikikan.
“Brengsek Kau…!” Bentak Rahmad geram meremas kertas itu kemudian melemparnya pada siempunya. Teman sekaligus musuh itu mencibir. Rahmad benar-benar marah bukan karena dirinya dipanggil engselen, sebuah julukan pelesetan dari kata excellent. Tapi, karena guru kebanggaanya dihina dan difitnah. Suara Rahmad yang agak keras membuat seisi perpustakaan menoleh padanya. Rahmad mendapat teguran kecil dari penjaga perpustakaan. Ali terlihat tetap fokus pada laptop dan kitab disamping kanannya, tak perduli dengan keributan kecil yang dibuat Rahmad. Kacamata hitam Ali berada tak jauh dari laptopnya.
“Kau boleh pilih percaya atau tidak setelah melihat tulisan ini.” Ujar Dava berlalu dengan senyum kecutnya. Kertas sobekan sebuah diari bertanda tangan milik Ustadz Ali digeletakkan begitu saja diatas meja Rahmad. Tulisan dikertas itu benar-benar mirip tulisan Ustadz Ali. Isinya persis seperti apa yang diucapkan Dava.
***
Laila bersimpuh diatas sajadah, hatinya terus melafadzkan pujian untuk Rabb, tangannya ia lipatkan di dadanya yang sesak karena tangis,
“Allah…! Hamba akui hamba lemah, hamba seringkali lalai, terkecoh pada nafsu, terkecoh pada kesenangan duniawi, lupa bahwa seharusnya yang berhak mendapatkan rasa cinta ini adalah…hanya Engkau.”
 “Selamatkan Ia, yang hamba cintai. Jangan Engkau biarkan dirinya menderita karena apapun. Dan Jangan biarkan siapapun membencinya, terutama Kak Ali, Sahabat karibnya. Hamba tak ingin hanya gara-gara hamba persahabatan mereka sejak kecil jadi berantakan.”
 “Allah, ampuni hamba yang mencintai laki-laki yang belum tentu menjadi pendamping hidup hamba. Hamba sudah berusaha sekuat hamba untuk menjaga hati hamba agar suami hamba kelak, mendapatkan cinta hamba yang seutuhnya karena Engkau. Namun, Jika amanah berupa rasa cinta ini benar-benar tidak ingin Engkau hilangkan dari lubuk hati hamba, tolong jangan biarkan hamba berbuat maksiat atau dosa karenanya. Karena hamba lebih memilih mati syahid karena memendam perasaan ini daripada berbuat bodoh mengumbar nafsu hamba. Lindungi hamba Allah… Amien…” Laila mengusap wajahnya dengan kedua tangannya yang basah oleh airmata. Kemudian bangkit menuju meja belajar dan membuka lacinya. Mengobrak-abrik isi laci dan menemukan kertas kusam dan usang yang tulisannya mulai tak jelas. Alamat e-mail Kakak kandungnya Ali Idris, tertulis Ali_kang79@rocketmail.com Tapi, tanpa sadar dia telah mengirim pesan pada Ali_kang74@rocketmail.com  Tulisan pudar itu membuat mata minus tanpa kacamatanya tak bisa membedakan angka 9 dan 4.
***
Pukul 21.12 WIB, setelah diniyah[i] di kamar, Rahmad berulangkali memegang kening, Pikirannya sekarang ada pada Ustadz Ali. Sobekan kertas diari yang kata Dava milik Ustadz Ali itu membuat Rahmad tak sabar ingin membuktikan pada Dava bahwa Ustadznya bukan homo. Ia berkeyakinan, bisa jadi sobekan kertas, tulisan dan tanda tangan Ustadz Ali adalah rekayasa.
“Ya Rabb, jika hal ini benar, hamba tak ingin mengetahui aib guru hamba, sekecil apapun aib itu. Tapi, jika ini fitnah, hamba tak ingin guru hamba dipermalukan oleh orang dengan fitnah murahan yang mereka lontarkan. Jadi tolong lindungi hamba dan guru hamba.“
Dikantor Madrasah Diniyah, Ustadz Ali tengah serius dengan laptop dihadapaannya. Ia tak peduli dengan sepi disekitarnya, kenyataan bahwa sudah tak ada lagi guru diruangan itu. Matanya berkaca. Sebuah e-mail salah kirim yang ada hubungannnya dengannya itu membuat jiwanya bergetar hebat.
Date       : Wed,March,21,2010             11:35:15
From      : <laila_idris@rocketmail.com>
Subject    : Re : Share
To         : <ali_kang74@rocketmail.com>
Assalam Kak Ali, Abi, Ummi, Laila dan Indonesia alhamdulillah baik. Semoga Kak Ali di Yaman juga tetap berada dalam lindungan Allah. Dan semoga study S-3 Kak Ali lancar, agar cepet bisa pulang ke Indonesia. Laila kangen banget ma Kakak.
Maaf ya Kak, nggak biasanya Laila ngirim kabar lewat e-mail, HP Laila ada di counter, habis kecemplung bathtub. Walhasil mesinnya rusak parah. Abi ma Ummi ada di rumah Eyang jadi terpaksa deh Aku nggak telfon Kakak. :)
Oya, Kak… Laila dapat beasiswa S-2 di Bandung terus ada tawaran kegiatan ditempat Om Yusuf. Kegiatan sosial. Itung-itung untuk ngelupain masalalu. Habis sulit banget ngelupainnya. Tapi, Aku tulus maafin teman kakak itu kok. Suer…! Lagian terus-terusan marah nggak ada untungnya buat Laila. Kakak juga nggak boleh sedikitpun punya rasa benci padanya. Dia harus tetap menjadi teman karib kakak. OK…!
Laila memang mencintainya, bahkan sangat mencintainya meski dia telah membuat hati Laila sangat sakit. Tapi, Laila nggak akan menuntut dia merasakan hal yang sama seperti apa yang Laila rasakan. Kesalahannya di masalalu yang membuat Laila merasakan ini hanyalah kesalahan remaja baru gede pada umumnya. Bukankah manusia itu tempatnya luput dan salah. :)
Laila akan coba lupain impian dan prinsip Laila. Mungkin Dia bukan jodoh Laila. Laila percaya cinta itu amanah dari Allah, dan tak salah jika seseorang merasakan itu, tergantung bagaimana orang tersebut menahan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang melanggar syari’at. Do’akan Laila berhasil menjadi perempuan sholehah ya…
Wassalam, Laila sayang Kakak.
“Laila… Ali… maafkan Aku!” Ujar Ali lirih mengarahkan kursor laptopnya pada tulisan sign out. Pikirannnya berada di masalalu. Mengingat sosok Ali Idris, kakak kandung Laila Idris yang memiliki alamat e-mail yang hampir sama dengannya. Hanya beda angka 9 dan 4. Mengingat sosok Laila Idris yang dingin dan cuek pada kaum ikhwan terutama dirinya.
Peristiwa demi peristiwa berkelebat cepat dalam ingatannya. Saat Ali mengutarakan cinta simulasinya pada Laila di depan umum dengan niatan ingin mengubah sifat dingin dan cuek serta persepsi buruk Laila pada kaum ikhwan. Kemudian Laila hanya bisa mengacungkan telunjuknya dengan marah pada Ali karena dirinya tak tega menyakiti siapapun. Disusul dengan peristiwa ditamparnya Ali Hasan oleh Ali Idris, kakak kandung Laila. Dan diakhiri dengan ucapan maaf tulus dari bibir Ali Hasan serta ucapan memaafkan yang sama tulusnya dari bibir Laila dan Ali Idris. Belakangan Ali Hasan tahu kalau sifat dingin dan cuek Laila berlatar belakang oleh prinsip kuat yang tak ingin teledor dengan tak menjaga hati dan cintanya sehingga suaminya kelak mendapat sisa cinta masalalu. Laila hanya tak ingin berkhianat pada orang yang akan menjadi suaminya kelak.
Peristiwa terakhir yang Dia ingat adalah berangkatnya Ali Idris ke Al-Ahghaff, Yaman dan menghilangnya dirinya dari Kampus yang Ia, Laila dan Ali Idris tempati. Dan dirinya baru sadar bahwa selama ini Laila dan dirinya telah termakan oleh cinta simulasi yang Ia ciptakan. Simulasi cinta yang membuat Laila merasakan sakit yang luar biasa karena memendam cintanya pada Ali dan simulasi cinta yang membuat dirinya, Ali Hasan menjadi abnormal. Simulasi Cinta yang sebenarnya juga bagian dari skenario Ilahi.       
***
“Ayolah Ali… ! Aku tahu Loe menginginkan Gue… ! Mumpung teman-teman lagi pada rapat. Dulu Gue juga ngerasa risih… tapi, lama-lama rasanya nikmat. “
“Gila Kau Zakka, ini pesantren. Aku tak mau merusak nama baik pesantren ini. “ Ali berusaha menghindari Zakka yang memaksa Ali untuk bercumbu dengannya.
“Jangan munafik Loe, Gue tahu Loe juga sama kayak Gue, nggak punya hasrat ama yang namanya perempuan. “
Mata Ali terpejam, telinganya risih mendengar itu semuanya. Dirinya memang belum bisa mencintai perempuan tapi, Ia tak ingin rapuh dihadapan Allah kelak di padang mahsyar ketika dimintai pertanggungjawaban atas Al-qur’an yang dihafalnya dan status muallim yang disandangnya.
“Ayolah sayang… Kau akan menikmati ini. “ Ujar Zakka lirih meraba tubuh Ali. Namun Ali menolak agak kasar. Antara ingin dan takut berdosa.
“Glodak… ! “ Mereka berdua terkejut,  langsung membenarkan  letak  sarung masing-masing dan segera melompat menuju arah suara.
Ali di posisi paling awal berada diluar. Tempat sampah didepan kamarnya terjatuh dan sampah didalamnya berserakan. Sebuah tanda ada seseorang telah memata-matai mereka. Mata Ali tertuju pada sebuah buku diatas lantai yang lembarannya terbuka dan tertiup angin. Dua Ayat Alqu’an beserta arti dan tafsirannya. Surat As-Syu’araa’ ayat 165 -166. Nama pada buku bersampul coklat itu, Rahmad Al-Ghozali.  Dia melihat tanggal dan hari di jam tangannya. Sabtu. Artinya besok adalah hari Ahad . Hari ketika muridnya wajib mengumpulkan tugas mencari ayat tentang kaum Sadum. Air mata Ali menetes, salah satu murid terbaiknya tahu aibnya.
***
Siapa yang bisa bertahan jika setiap hari mendapat olokan. Seperti itu juga yang dirasakan Ali. Kali ini seluruh penjuru pesantren telah tahu kalau dirinya bernafsu pada laki-laki. Atau mungkin sebentar lagi seluruh dunia juga akan tahu. Karena Zakka yang berulang kali ditolak Ali atas bantuan Dava telah menyebarkan aib Ali dengan memfitnahnya dengan keterangan yang tak benar. Rahmad yang juga tahu dan memergoki Ustadznya berbuat tidak patut itu tak bisa membantu banyak.
Ali terus saja bertahan dan sabar menghadapi cobaan berat itu. Meski Ia sudah berusaha merubah perasaannya dengan sesekali melirik pada Ustadzah yang ada di pesantren, hatinya tetap tak bisa berpindah haluan. Dia menginginkan laki-laki. Hidup yang benar-benar abnormal.
Jika itu ada hubungannnya dengan Laila.  Ali merasa tidak cukup siap untuk bertemu Laila kembali, karena Dia merasa dosanya dimasalalu sudah cukup membuat Laila menderita. Dia tak ingin Laila semakin sakit jika harus kembali bertemu dengannya. Ali tak ingin usaha Laila untuk menghapus masalalunya sia-sia karena kedatangannya. Hal itu yang membuat Ali lebih memilih pasrah dengan kehidupan abnormalnya ketimbang mencari laila di Bandung.
Dan, kehidupan abnormal itu yang kini membuat Ali berusaha bertahan pada garis lurus. Ali tak ingin benar-benar menjadi homo, Ia meredam nafsu itu agar hanya sampai sebatas memandang, tak boleh lebih. Ia merasa tak mudah berusaha hidup tetap pada jalur yang Allah syariatkan dengan takdir yang begitu berat.
Dan, kehidupan abnormal itu pula yang membuat Ali tak pernah khusyuk dengan shalatnya. Yang terbayang pada saat takbiratul ikhrom hanya tekstur kulit seksi Zakka atau teman lelaki lainnya. Hingga akhirnya pada suatu sore, Ia memutuskan untuk keluar dari barisan jama’ah dan berlari menuju puncak tebing gunung tak jauh dari pesantren. Dari belakang diam-diam mengikutinya Rahmad, murid kesayangan Ali yang meski terbersit benci tetap mencintai dan menghormati Ali sebagai guru.
Diatas puncak gunung, Ali memandang langit dan menjerit, Rahmad berada dibelakangnya, bersembunyi di balik pohon ikut mendengarkan jeritan itu.
“Allah, ini kehendak-Mu… Dan hamba tidak akan pernah marah atau membenci-Mu karena hamba sadar ini balasan atas kekhilafan hamba pada masa lalu. Hamba tahu Allah, hamba bersalah telah menyakiti hati hamba-Mu yang lain. Tapi, tolong perkenankan hamba meraih maaf darinya dan dari-Mu. “
“Allah…! Hamba tahu Engkau akan sulit memaafkan hamba jika hamba tidak mendapat maaf dari salah satu makhluk-Mu itu. Engkau akan sulit memaafkan hamba jika hamba telah menyakiti salah satu makhluk-Mu, apalagi Ia adalah makhluk yang Engkau sayangi. Hamba tahu Allah…!” Langit berubah mendung, kilat memecah awan. Dan hujanpun mengguyur Ali dan Rahmad yang sama-sama meneteskan airmata.
“Allah…! Meski Engkau memberi cobaan sebesar apapun, Hari ini atau seterusnya hamba tidak akan pernah membunuh diri hamba seperti apa yang telah ada dalam pikiran hamba beberapa hari yang lalu. Karena hamba tahu, Engkau akan bertambah murka. Tapi, tolong izinkan hamba merusak mata hamba… Allah. Karena mata ini yang membuat hamba tersesat, mata ini yang membuat hamba mendewakan nafsu. Allah… Maafkan hamba karena telah lalai menjaga amanah darimu berupa anggota tubuh yang sempurna ini, Allah…!”
“Dimasalalu mata hamba tak bisa menahan nafsu untuk tak melihat indahnya perempuan lalu mengucapkan cinta palsu dengan bibir yang hamba miliki pula. Dan saat ini, dimasa sekarang mata hamba lagi-lagi tidak bisa menahan nafsu untuk tidak mencumbu laki-laki yang sama jenisnya dengan hamba. Hamba telah berusaha Allah, berusaha untuk menghindar semampu hamba. Jika Engkau berkenan ambil kembali mata hamba ini. Allah, kumohon jangan marah lagi pada hamba.”
“Allah, ambil kembali mata hamba dan perkenankan hamba beribadah pada-Mu dengan khusyuk. Hamba ingin beribadah dengan khusyuk…” Suara Ali semakin serak, teriakannya perlahan memudar seiring dengan suara tangisnya
Ali siap dengan keputusan untuk merusak kedua matanya dengan pasir dan batu gunung. Sekarang benda-benda kasar itu telah ada di kedua telapak tangannya. Dan saat Ali akan memasukkan benda-benda itu kematanya,
“Ustadz…! Saya mohon jangan lakukan itu.”
Ali tercekat, kaget dengan hadirnya suara Rahmad,
“Kenapa Kau mengikutiku Rahmad?”
“Saya tidak mengizinkan Ustadz merusak mata Ustadz.”
“Kau tidak tahu apa-apa Rahmad.”
“Saya tahu semuanya, Saya mendengar semuanya.“ Rahmad berjalan mendekati Ali dengan tangis. Tubuhnya juga basah kuyub terguyur hujan.
“Kau akan celaka kalau mataku ini tidak Aku buat buta.“
“Bukankah Ustadz yang mengajariku untuk tidak gampang putus asa pada taqdir Allah, sepait apapun taqdir itu.“
“Kau tidak akan mengerti Rahmad.“ Ali bersiap-siap akan merusak matanya. Rahmad merebut pasir dan batu dari tangan Ali. Sejenak terjadi adegan saling mendorong dan menarik hingga Ali terpeleset karena licinnya batu yang terkena air hujan. Ali jatuh tersungkur ke dalam jurang dekat jalan raya. Kepalanya membentur batu didasar jurang. Rahmad berteriak minta tolong.Sebuah mobil BMW hitam melintas.   
***
Ali merasa tubuhnya kaku, pergelangan tangannya terpasang jarum infus, kepalanya terbalut perban dan dihidungnya terhubung selang oksigen. 7 jam Ali mengalami koma. Rahmad masih setia menemani disamping Ali, sesekali Rahmad memijit lengan Ali sambil meneteskan air mata dan bergumam,
“Maafkan Saya, Ustadz! “ Perlahan mata Ali terbuka.
“Rahmad…!”
“Ustadz Ali, Ustadz sudah siuman?”
“Aku…! Di…”
Rahmad menekan bel disebelah tempat tidur Ali lalu seorang laki-laki berpakaian dokter dan perempuan berjilbab dan berkacamata memasuki ruangan dimana Ali berbaring. Ketika dokter memberikan beberapa penanganan, mata Ali tidak terlepas dari wajah perempuan yang sepertinnya Ia kenal. Wajah perempuan di masa lalunya. Laila. Rahmad sepertinya mulai faham dengan gelagat penasaran Ali.
“Ustadz…! Kakak itu yang mendonorkan darahnya untuk ustadz saat Ustadz membutuhkan darah dan stok di Rumah Sakit ini habis. Dan dia juga yang membawa ustadz kesini. Meski baru kenal tapi, dia sangat menghawatirkan keselamatan Ustadz. Namanya Laila. Dia sukarelawati di Rumah Sakit ini.” Hati Ali berdegup, perempuan itu benar-benar Laila, perempuan yang pernah dibuatnya menangis dan merasakan sakit yang luar biasa.
“Ustadz sebenarnya Laila itu siapa? Kenapa ketika koma, Ustadz selalu menyebut nama itu. Kakak itukah orangnya.” Rahmad kembali berbisik.
“Laila, setelah ini Kau ganti perban dikepalanya dan bersihkan. Sepertinya darahnya mulai mengering.”
“Baik, Dok!” Ujar Laila tanpa melihat Ali.
“Rahmad, bisa Kau tinggal Aku sebentar.”
“Baik Ustadz.” Rahmad mematuhi perintah Ali, meski dalam hatinya terbesit  rasa heran dan penasaran, ada hubungan apa sebenarnya antara Ali dan Laila.
Rahmad bergegas menutup ruang VIP yang ditempati Ali. Seketika ruangan itu membisu, begitu juga Laila dan Ali. Hati keduanya berdegub. Sebenarnya Laila tak berharap kejadian itu terjadi, Ia tak ingin kembali mengingat masa lalunya. Tangan Laila gemetar meraih perban yang membalut kepala Ali.
“Laila…!” Serak, Ali memanggil nama Laila. Laila tercekat, tidak bisa membalas sapaan itu. Tangannya bertambah gugup membuka perban. Ali meraih tangan Laila dan,
“Bukankah Anda seorang Ustadz, seharusnya Anda faham bahwa menyentuh perempuan yang bukan muhrim itu berdosa. “
“Maaf“ Ali menjadi serba salah. Sekarang matanya mulai basah.
“Ukhti… ! “ Ali memanggil Laila dengan panggilan masalalu.
“Maaf, Saya tak nyaman Anda panggil seperti itu.“ Laila menjawab ketus.
“Kau belum bisa memaafkan khilafku dimasalalu. “  
“Aku tak mau kembali mengingat masalalu. “
“Kalau begitu, kenapa Kau membiarkan Aku tetap hidup, kenapa Kau malah mendonorkan darahmu padaku.“ Ali mulai membentak Laila. Suaranya mulai meninggi.
“Kau juga faham bukan kalau melukai tubuh sendiri itu berdosa.“ Suara Laila juga bertambah tinggi. Airmatanya menetes. Tubuh Laila membelakangi Ali.
“Tahan Laila… ! Tahan… ! Jangan emosi… Dia sedang sakit… ! Lagi pula bukankah katamu juga Engkau telah tulus memaafkannya.“ Laila berujar pada dirinya sendiri.
“Tapi Aku tak bisa… Aku benar-benar tak bisa mengontrol emosiku. Karena rasanya sangat sakit. “ lagi-lagi Laila berujar pada dirinya sendiri.
“Percuma Aku hidup kalau jiwaku abnormal. Kau tahu Laila, sejak Aku meninggalkan kampus, Aku cacat. Cacat  bathin, dan itu lebih menyakitkan dari hanya sekedar kehilangan mata atau anggota tubuhku yang lain.“Ali menghela nafas,
“Aku yang sekarang sudah tak lagi bisa tertarik pada perempuan. Aku bukan  penakhluk perempuan seperti yang teman-teman julukkan padaku dulu. Dan Kau boleh mengolokku homo, seperti orang lain mengolokku. Ya, mungkin ini balasan dari Allah karena Aku telah mempermalukanmu di depan umum, telah membuatmu menangis tiap malam,  telah ceroboh mempermainkan cinta dan telah lancang merusak semua impian dan prinsipmu.“
“Deg… ! “ Hati laila berdegup, separah itukah kondisi Ali. Ragu Laila berujar,
“Kau… Kau tak bisa berbohong untuk merebut simpatiku lagi. “
“Laila, lihat mataku…! Apakah Kau melihat ketidak jujuranku. Ayo, Laila...! Jawab…!“
“Lantas, apakah Kau akan menyalahkan Aku dan menuntut ganti rugi untuk itu?“
“Tidak Laila…! Tidak ! Aku tak pernah menyalahkanmu. Dan Tak akan pernah sampai kapanpun. Aku hanya ingin Kau tulus memaafkan Aku. Aku tak ingin Allah semakin murka padaku“ Mata Ali terpancar sinar tulus.
“Astaghfirullahal ‘Adzim… ! Seharusnya Aku tak boleh marah… ! “ Laila berujar lirih memejamkan mata.
“Kau tahu, rasanya sakit… sakit sekali… harus bertahun-tahun merasakan hal yang Aku sendiri tak mengerti. Harus setiap malam menangis, merasa rindu… mengesampingkan Allah yang seharusnya berhak meraih cinta dariku dan lebih memilih merasakan cinta yang balasannya palsu… Harus merasa…“ Laila mencoba tegar, air mata Ali menetes.
“Aku tahu, Aku yang salah dan mungkin tak akan pernah bisa dimaafkan tapi, Aku mohon Laila tunjukkan bagaimana caranya memperoleh maafmu.“
Laila diam tak memandang Ali.
“Aku… tahu mungkin ini hal bodoh dan lancang. “
“Aku akan mewujudkan impian itu. Dan prinsipmu, selamanya tak akan berubah. Seorang Ali tidak akan mampu merubahnya.“
Laila berujar datar, “Kau tahu apa soal impian dan prinsip itu?“
“Kamu telah mengirim e-mail tentang perasaanmu pada Ali Hasan bukan Ali Idris“ Laila kembali meneteskan airmata, bibirnya kelu. 
“Ini bukan hanya soal perinsip tapi, soal hati yang tidak bisa berubah haluan semudah membalikkan telapak tangan.“
“Maaf telah membuatmu mencintaiku yang tak pernah tahu harga dan arti cinta bagimu, maaf telah membuatmu goyah dari prinsipmu karena permainanku, maaf…“Suara Ali tercekat,
“Laila, Tolong beri Aku kesempatan untuk berusaha membalas cinta itu dengan cinta Allah. Itu…“ Ragu Ali berujar,
“Itu … kalau Kamu berkenan hidup bersama Laki-laki yang tak punya hasrat pada…“ Ali terus meneteskan airmata.
“Cukup, Akhi…! Akhi tak perlu meneruskan kata-kata itu.“ Laila sesenggukan merasa dirinya telah sangat berdosa dan sombong jika tidak memaafkan orang yang tulus meminta maaf padanya. Bukankah Allah yang memiliki sifat Agung Maha diatas Maha, bisa memaafkan hamba-Nya. Sebesar apapun dosa itu. Laila mengingat sebuah kisah tentang seorang pembunuh 100 nyawa yang atas sifat Rahman Rahim Allah, tobatnya diterima dan dihadiahi surga.
Ruangan hening sejenak.
“Akhi…!“ Laila menghadap Ali sambil tertunduk
“Tolong… jangan buat Aku semakin sakit dengan ulah Akhi yang melukai diri sendiri.“ Ucapan terakhir Laila membuat airmata Ali tak berhenti menetes namun kali ini, diwajahnya tersungging senyuman.   
***
“Brakk…!“ Suara pintu kamar Ali terbuka tiba-tiba. Renungan tentang masalalu Ali buyar. Cepat-cepat Ia menghapus airmatanya dan menoleh ke asal suara. Kedua malaikat kecil berlari-lari mengahmpiri Buynya. Ali.
“Buya…! Ayo dong…! Dah ditunggu ma Om Rahmad lo di mobil. Kata Om Rahmad  jadi nggak ke makamnya Gus Dur. Ntar aja ngelanjutin ngajinya di makam.” Rengek Fuad, 5 tahun dengan busana muslimnya.
“Ada apa sayang?” Ujar Ali mencoba tenang, meraih Fuad ke pangkuannya.
“Ditundu Om Lahmad Buya…” Sela Hanna, 2,5 tahun dengan bahasa cadelnya
“Om Rahmad, Adek! R.A.H.M.A.D. pakek R… bukan Lahmad.”
“Hanna belon bica, Kakak.” Ujar Hanna sedih
“Kakak, Gak boleh buat Adek sedih gitu. Cepet minta maaf…!” Ali meraih Hanna dan menariknya juga ke pangkuannya kemudian berpura-pura marah pada Fuad. Kemudian secara bergantian mengecup kepala Hanna dan Fuad.
“Adek sayang, Kakak minta maaf.” Ujar Fuad tulus mengulurkan tangan mungilnya pada Hanna. Hanna membalas uluran tangan Fuad sambil tersenyum sangat manis.
“Buya…! Katanya mau jalan-jalan ke makam Gus Dur.”
“Zialah Kakak, bukan jalan-jalan. “
“Oiya, Kakak lupa he…he...he... “ Ujar Fuad menepuk dahinya diiringi tawa renyah Hanna.
 “Kak Fuad benel Buya, kata Om Lahmad, Buya punya hutang janji ngajak zialah ke makamnya gus Dul. Katanya Om Lahmad udah nggak sabal ingin cepet campek.” Ali tersenyum mengingat janjinya dulu pada Rahmad, murid kesayangannya.
“Iya-iya. Buya dah siap nih tinggal berangkat.”
“Nggak Pakek Lama Buya. Ntar makamnya keburu di bom sama pasukan jahat.” Sergah Fuad.
“Ah kata siapa makamnya mau di bom. Siapa yang berani coba? “
“Iya Buya, Ummah pelnah celita ke kita kalau di negala… di negala…“ Hanna memandang Buyanya lekat-lekat. Wajahnya serius. Begitu pula Fuad.
“Palestina Adek. “
“Betul.”
“Banyak makam-makam para kekasih Allah ikut kena bom. Kasihan kan Buya.” Sela Fuad tak sabar. Ali kembali tersenyum mendengar ocehan kedua buah hatinya yang mulai tumbuh semakin cerdas.
“Sayang…! Cerita Ummah itu memang benar tapi, Negara kita berbeda dengan Palestina. Negara kita sangat mencintai perdamaian.”
“O…” Ujar Hanna dan Fuad hampir bersamaan dan salin berhadapan. Bibir mereka membulat
“Kata Ummah cinta damai itu…”
“Sepelti ini. “ Hanna dan Fuad menautkan jari kelingkingnya masing-masing. Sebuah tanda tak akan bermusuhan. Meski agak sedikit berbohong, Ali merasa lega putra putrinya tak lagi khawatir dengan bom. Bukankah di Indonesia masih suka main bom. Bali, salah satu korbannya. Jangankan Bali, Presiden saja, pernah tidak bisa tidur pulas karena terror bom.
“Kakak…! Ummah mana? “ Tanya Ali pada Fuad
“Lagi beres-beres perlengkapan yang harus kita bawa, Buya. “
“Lima menit lagi Buya ke bawah tapi, Buya minta tolong Kakak panggilin Ummah dulu ya. Ada yang pengen Buya omongin. “
“Ada syaratnya Buya. “
“Apa coba ?“
“Mampil ke tempat pemandian ail panas telus nginep di Puncak. “ Teriak Hanna bersemangat.
“Ya Adek ! Kalau nginep sih bukan mampir namanya. Tapi, Seru juga Buya di puncak kan tempatnya sejuk. Syaratnya sama kayak Hanna deh.
“Beres Bos. “ Seru Ali memberi hormat pada Putra putrinya.
“Hore… ! “ Teriak mereka riuh sambil tertawa kemudian bergegas pewrgi.
“Kakak, Buya tadi nyuruh apa hayo! “ Fuad menoleh pada Buyanya yang terus tersenyum.
“Ummah… ! Ummah … ! Ditimbali2 Buya. Ummah…!“ Teriak Fuad riang menuju lantai bawah.
***
“Assalamu’alaikum, Buya…! Kriekk…!”
Ali bersembunyi di balik pintu masih dengan airmatanya yang tak berhenti mengalir.
“Mas Ali…“
“Ckrieek…Cklekk!” Ali mengunci pintu kemudian terduduk dilantai dengan airmata. Laila menoleh pada Ali. Rautnya mulai panik. Segera Ia mendekati suami yang dicintainya itu kemudian memeluknya erat. Airmatanya ikut meleleh.
“Mas kenapa? Sakit? Agendanya kita batalin aja ya.“
“Nggak Sayang…! Mas hanya mau… minta maaf. “
“Tapi, untuk hal apa? “ Laila memandang suaminya lekat.
“Atas perilakuku yang membuatmu selalu menangis.
“Mas ingat masa lalu? Seharusnya Adek yang minta maaf telah membuat Mas menderita karena ketidak ikhlasan Adek. “ Laila menghapus airmata suaminya dan kembali menariknya ke dalam pelukan.
“Mas itu laki-laki, nggak pantes nangis kayak gitu di depan perempuan. “
“Meski di depan orang yang sangat Mas cintai? “ Mendengar jawaban lemah suaminya, Air mata Laila mengalir lagi. Ali menarik Laila ke dadanya, memeluk erat istri yang dicintainya.
“Dok…dok…! Buya… Ummah…! Katanya Cuma 5 menit. Udah 15 menit nih, Kakak, Adek ma Om Rahmad udah kelamaan nunggunya.“
“Iya, sayang…! Ummah lagi bantu Buya nyiapin perlengkapan. “ Teriak Laila menahan tangis.
“Oke deh Ummah. Cepet Lo! Kalau nggak, mobilnya Kakak setir sendiri nich.“ Ali tertawa sambil menangis setelah mendengar jawaban Fuad.
“Kau berbohong pada putramu sayang.“
“Siapa bilang, Adek berbohong Mas. Bukankah Adek benar-benar membantu Mas menyiapkan perlengkapan terpenting saat ziarah yakni… hati. Supaya tenang. “ Ujar Laila lembut menepuk dada Suaminya, Ali . Air matanya kini sudah Ia hapus.
“Eh, Anak-anak minta nginep dipuncak. Mas akan carikan tempat yang asyik untuk bulan madu kita. “ Ujar Ali sesenggukan.
“Bulan madu, udah nggak pengantin baru kali.“ Sergah Laila geli.
“Tapi, Mas akan buat kamu merasa menjadi pengantin baru lagi.“
“Terus anak-anak siapa yang ngurus?“
“Kan ada Rahmad…“ Laila tersenyum manis menggeleng tanda tak setuju. Ali tersenyum, menghapus airmata kemudian meraih wajah Laila dan mengecup dahinya sangat lama.
“Dok…dok…! Ummah, Hanna kebelet pipis. Telus di bawah ada om Ali, Tante Ima dan Kak Lana, kata Kak Fuad, meleka pengen ikut Hanna zialah.“ Teriak Hanna dari luar.
Ali dan Laila kaget kemudian tertawa bersama.
***
Tak mudah berjalan diatas garis lurus yang tipis dengan dua sisi permukaan koral dan tajam. Dan seperti itu pula tingkat kesulitan berpegang pada prinsip di jalur lurus. Karena terkadang melibatkan indra paling sensitif untuk berbagai pelanggaran. Tahukah? Hati. Indra itu adalah hati.Tak mudah berjalan menuju garis lurus yang tipis dengan dua sisi permukaan koral dan tajam. Bukankah garis itu berawal dari tikungan curam. Dan. Seperti itu pula tingkat kesulitan bertahan untuk tidak menjadi terkadang alim dan terkadang dzalim. Karena semua itu butuh darah juang yang arif. 
Selesai di Suci, Manyar Gresik
di bawah atap Diwan Markas
Ahad, 20 Pebruari 2011 M/ 17  Rabi’ul Awal 1432 H
11 : 45 WIB



1.     Sekolah agama nonformal khas pondok pesantren
2.     Dipanggil
      

1 komentar:

SANTRI LIVE TIME mengatakan...

siiplah.....!
lanjutkan.....!