Balada Bu Sukarni Prapto Wiyono Melawan Getirnya Hidup
“Kata Pak Yai iku ujian, Yo wes mboh… Kulo diutus sabar mawon. “
Ucapan tegar Bu Arni terlontar begitu saja menanggapi pertanyaan tentang
musibah yang menimpanya seminggu yang lalu, (23/04). Musibah yang membuat Ibu
kelahiran 31 Desember 1968 itu kehilangan Sim C dan dompet serta uang sejumlah
Rp. 75.000,00 saat beliau tengah berbelanja untuk keperluan jualan jamu di
Pasar Gresik.
Bu Arni mengelap keringat yang mulai membasahi keningnya dengan
lengan bajunya. Kedua tangannya cekatan melayani konsumen tetap yang membeli
jamu darinya, para santri Pondok Pesantren Mamba’us Sholihin. Ibu dua orang putri ini mulai bekerja
berjualan jamu di Pon.Pes tersebut sejak antara tahun 1998 sampai 1999.
Dengan kegigihannya membantu suami mencari
nafkah, Ibu yang mempunyai nama kelahiran Sukarni Prapto Wiyono itu juga mampu
membiyayai kedua putrinya hingga tamat SMA/MA sederajat meski dirinya sendiri dan suami tidak mampu
menamatkan Sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi. Karena menurut beliau pendidikan itu sangatlah penting untuk masa
depan.
“Ya, setidaknya semoga kedua putri saya ditakdirkan mengalami nasib
yang lebih baik dari Saya. Meski pekerjaan saya ini halal.” Ujarnya tersipu.
Sebelum berhijrah dan terdampar di kota Pudak, Gresik, Bu Arni yang
dilahirkan orangtuanya di Gesingan Bulakan Sukoharjo Solo ini sempat berjuang
mencari pekerjaan di Solo. Beliau sempat menjadi buruh batik dengan upah Rp.
5.000,00 sampai Rp. 6.000,00 perharinya. Dengan upah yang relatif sedikit
tersebut Bu Arni dan suaminya Paimin,
48 tahun melangsungkan hidup. Akhirnya
dengan tekat yang bulat Bu Arni dan suaminya berangkat menuju Gresik untuk
mencari pekerjaan.
Awalnya Beliau melamar pekerjaan di Pabrik Mie Sedap, meski dengan
gaji pas-pasan beliau dan suami tetap bertekat menyekolahkan kedua putrinya.
Sedangkan saat itu upah buruh berkisar antara Rp. 15.000,00 sampai Rp.
16.000,00. Kalau ditimbang memang tidak rasional sebab selain harus membiayai
pendidikan kedua putrinya Bu Arni juga berkewajiban membayar uang sewa
kontrakan sebesar Rp. 1.600.000,00 per tahunnya.
Beberapa tahun kemudian, ada jalan baru untuk Bu Arni. Melihat
banyaknya tetangga mendulang sukses dengan berjualan jamu, Bu Arni mencoba
belajar berjualan meski sebenarnya tidak mempunyai bakat turunan. Bu Arni
memulai bisnis ini dari nol. Awalnya beliau berjualan jamu dengan gendongan dan
beroprasi di desa Suci, sedangkan suaminya menjadi petugas kebersihan di Rumah
Sakit Petrokimia Gresik. Bu Arni sengaja memilih Desa Suci karena jarang ada
penjual jamu di daerah tersebut. Dan kebetulan saat itu ada peluang ramainya
konsumen yang notabenenya para santriwati.
Pertengahan tahun 2008 Bu Arni mampu membeli sepeda kayuh untuk
menjajakan jamunya. “Alhamdulillah, saat itu saya bersyukur. Biasanya saya
cepat lelah karena harus berkeliling mengendong jamu. Dengan sepeda pancal,
sedikit meringankan beban saya saat itu. Apalagi setelah mampu membeli sepeda
motor. Pekerjaan saya jadi lebih mudah. Cuma ya namanya juga hidup. Pasti ada
cobaan dari Allah. Pertama suami saya tidak bekerja lagi di Petrokimia dan baru
saja beralih kerja menjadi tukang Bakso keliling, terus surat-surat motor dan
uang saya hilang di copet saat belanja keperluan jualan di pasar.“
Meski muncul berbagai rintangan dengan berjualan jamu, Bu Arni
mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 75.000,00 perharinya dan labanya berkisar
antara Rp. 20.000,00 sampai Rp. 25.000,00. “Biasanya Saya menyimpan sisa uang
belanja untuk ditabung. Kalau tidak bisa Rp. 5.000,00 ya Rp. 3.000,00. Apalagi
tahun ini bayar kontrakan tambah naik. Jadi Rp. 1.700.000,00 per tahunnya. Harus disiasati seperti itu, kalau tidak, kita
bisa diusir dari kontrakan.” Tuturnya Bu
Arni tersenyum. /titah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar