Senin, 19 Januari 2015

WONDER WOMEN DARI SOLO

Balada Bu Sukarni Prapto Wiyono Melawan Getirnya Hidup


“Kata Pak Yai iku ujian, Yo wes mboh… Kulo diutus sabar mawon. “ Ucapan tegar Bu Arni terlontar begitu saja menanggapi pertanyaan tentang musibah yang menimpanya seminggu yang lalu, (23/04). Musibah yang membuat Ibu kelahiran 31 Desember 1968 itu kehilangan Sim C dan dompet serta uang sejumlah Rp. 75.000,00 saat beliau tengah berbelanja untuk keperluan jualan jamu di Pasar Gresik.
Bu Arni mengelap keringat yang mulai membasahi keningnya dengan lengan bajunya. Kedua tangannya cekatan melayani konsumen tetap yang membeli jamu darinya, para santri Pondok Pesantren Mamba’us Sholihin. Ibu dua orang putri ini mulai bekerja berjualan jamu di Pon.Pes tersebut sejak antara tahun 1998 sampai 1999.
     “Mungkin benar sekitar tahun segitu, lupa tahun berapa itu. Pokoknya Pondok ini masih berupa bangunan lama. Di tengah lapangannya masih ada beberpa pohon tua. Bangunannya juga baru 1 lantai “ Tuturnya menggaruk kepalanya yang tak gatal.
Dengan kegigihannya membantu suami mencari nafkah, Ibu yang mempunyai nama kelahiran Sukarni Prapto Wiyono itu juga mampu membiyayai kedua putrinya hingga tamat SMA/MA sederajat  meski dirinya sendiri dan suami tidak mampu menamatkan Sekolah sampai jenjang yang lebih tinggi. Karena menurut beliau pendidikan itu sangatlah penting untuk masa depan.
“Ya, setidaknya semoga kedua putri saya ditakdirkan mengalami nasib yang lebih baik dari Saya. Meski pekerjaan saya ini halal.” Ujarnya tersipu.
Sebelum berhijrah dan terdampar di kota Pudak, Gresik, Bu Arni yang dilahirkan orangtuanya di Gesingan Bulakan Sukoharjo Solo ini sempat berjuang mencari pekerjaan di Solo. Beliau sempat menjadi buruh batik dengan upah Rp. 5.000,00 sampai Rp. 6.000,00 perharinya. Dengan upah yang relatif sedikit tersebut  Bu Arni dan suaminya Paimin, 48  tahun melangsungkan hidup. Akhirnya dengan tekat yang bulat Bu Arni dan suaminya berangkat menuju Gresik untuk mencari pekerjaan.
Awalnya Beliau melamar pekerjaan di Pabrik Mie Sedap, meski dengan gaji pas-pasan beliau dan suami tetap bertekat menyekolahkan kedua putrinya. Sedangkan saat itu upah buruh berkisar antara Rp. 15.000,00 sampai Rp. 16.000,00. Kalau ditimbang memang tidak rasional sebab selain harus membiayai pendidikan kedua putrinya Bu Arni juga berkewajiban membayar uang sewa kontrakan sebesar Rp. 1.600.000,00 per tahunnya.
Beberapa tahun kemudian, ada jalan baru untuk Bu Arni. Melihat banyaknya tetangga mendulang sukses dengan berjualan jamu, Bu Arni mencoba belajar berjualan meski sebenarnya tidak mempunyai bakat turunan. Bu Arni memulai bisnis ini dari nol. Awalnya beliau berjualan jamu dengan gendongan dan beroprasi di desa Suci, sedangkan suaminya menjadi petugas kebersihan di Rumah Sakit Petrokimia Gresik. Bu Arni sengaja memilih Desa Suci karena jarang ada penjual jamu di daerah tersebut. Dan kebetulan saat itu ada peluang ramainya konsumen yang notabenenya para santriwati.
Pertengahan tahun 2008 Bu Arni mampu membeli sepeda kayuh untuk menjajakan jamunya. “Alhamdulillah, saat itu saya bersyukur. Biasanya saya cepat lelah karena harus berkeliling mengendong jamu. Dengan sepeda pancal, sedikit meringankan beban saya saat itu. Apalagi setelah mampu membeli sepeda motor. Pekerjaan saya jadi lebih mudah. Cuma ya namanya juga hidup. Pasti ada cobaan dari Allah. Pertama suami saya tidak bekerja lagi di Petrokimia dan baru saja beralih kerja menjadi tukang Bakso keliling, terus surat-surat motor dan uang saya hilang di copet saat belanja keperluan jualan di pasar.“
Meski muncul berbagai rintangan dengan berjualan jamu, Bu Arni mendapatkan penghasilan sebesar Rp. 75.000,00 perharinya dan labanya berkisar antara Rp. 20.000,00 sampai Rp. 25.000,00. “Biasanya Saya menyimpan sisa uang belanja untuk ditabung. Kalau tidak bisa Rp. 5.000,00 ya Rp. 3.000,00. Apalagi tahun ini bayar kontrakan tambah naik. Jadi Rp. 1.700.000,00 per tahunnya. Harus disiasati seperti itu, kalau tidak, kita bisa diusir dari kontrakan.” Tuturnya Bu Arni tersenyum. /titah.


Tidak ada komentar: