Presiden John Fitzgerald Kennedy pernah menyatakan lebih takut kepada seorang wartawan daripada seribu tentara. Hal ini bisa saja hanya ungkapan eufimisme dalam menyikapi industri pers. Bahkan ada oknum yang berani mengatakan pers tak lebih keji dari seekor anjing. Separah itukah kesehatan pers saat ini? Lantas, bagaimana dengan nafas pers yang menyandang nama kehormatan Islam? Apakah ia ikut bermain-main di kandang lawan ataukah justru tidak sadar telah menjadi bulan-bulanan Pers Barat?
Memang pada misi awal, pers hanya berfungsi sebagai media penyalur informasi yang menyuguhkan data dan fakta. Selepas itu saat ini dunia jurnalistik modern yang tak lagi berkutat pada kepenulisan telah mengadopsi fungsi lain yakni entertainment, education dan public opinion reader (mempengaruhi khalayak). Dunia jurnalistik modern yang mencari lahan lain seperti media elektronik sebagai bahan produknya itu berada diposisi terpenting dalam membangun pendapat umum seperti apa yang telah dirancang produsennya. Maka, tak heran kalau Av Westin mengatakan dalam bukunya News Watch bahwa berita televisi megubah cara berfikir pemerintah dan orang Amerika. Ini tidak menutup kemungkinan terjadi hal yang sama pada pola pikir masyarakat non Amerika. Karena pada dasarnya barang siapa yang menguasai informasi, berarti mempunyai potensi untuk mempengaruhi opini orang lain.
Membincang pers Islam, dalam bukunya Tantangan Media Informasi Islam Ainur Rofiq Sophiaan mengemukakan bahwa sampai saat ini media Islam belum memiliki formulasi yang jelas untuk menandingi pers Barat yang mayoritas dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Tak hanya itu, ternyata perjalanan pers Islam terkepung oleh pasar media lain. Betapa tidak, perkembangan pers Islam hanya bisa dikatakan tersengal-sengal, produk yang dilempar ke tengah pasar hanya berupa paparan-paparan visi misi Islam. Pers Islam hanya mengetengahkan aspirasi ummatnya yang mayoritas.
Kalau boleh ditanggapi secara sepihak sepertinya Pers Islam seakan-akan merasa ada yang kurang jika tidak membubuhi kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Tapi, bukan berarti ini sesuatu yang buruk. Sebab pada dasarnya memang tujuan penerbitan adalah adanya suatu kepentingan. Dan kalau hal ini terus dibiarkan tanpa mengkombinasikan fungsi lain ke dalam pers Islam maka, secara tidak langsung pola pikir konsumen akan dibatasi ruang geraknya.
Masalah NU sendiri, yang penulis temukan melulu hanya pada pembahasan mengenai tantangan-tantangan pergolakan Ideologi, pernyataan tegas wajib rujuk pada Khittah NU, kepentingan politik yang bercampur aduk dengan misi awal berdirinya NU dan beberapa gap lain yang tidak bisa disebutkan semuanya. Namun setelah lelah membahas perkara-perkara yang muncul kepermukaan, solusi-solusi yang tepat belum terbaca dan terpetakan. Walaupun spesialis-spesialis NU sendiri berusaha menggembar-gemborkan kewajiban munculnya kader-kader NU yang benar-benar siap meredakan pergolakan Ideologi. Kenyataannya itu semua hanya angan-angan yang abstrak sebab generasi tua sendiri bisa dikata kurang merangkul dan mengayomi generasi mudanya.
Bukan tanpa alasan pernyataan diatas terlontarkan karena memang pada prakteknya banyak generasi yang lahir di kalangan NU tulen tapi dibesarkan, dididik dan diayomi ormas-ormas lain. Kalau itu masih dibiarkan berlarut maka jangan harap NU akan bergerak menuju progress bersama kader-kader unggul.
Padahal kalau mempertimbangkan perkataan Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, Rais Pimpinan Pusat Majelis Ilmi Jam’iyatul Qurra wal Huffazh NU kita akan mengamini pernyataannya yang mengatakan bahwa kekuatan NU sangat diperhitungkan oleh masyarakat global, terutama Amerika Serikat. Hal ini mengingat NU dengan pengikut terbanyak menjadi jangkar strategis kekuatan Islam moderat dunia. Sebuah catatan, bukan berarti lantas kita bisa berleha-leha karena posisi kita boleh dikata lumayan ditakuti. Seharusnya kita sadar kalu secara perlahan musuh kita sedang mencari-cari waktu dan kesempatan saat kita lengah. Dan salah satu senjata mereka adalah industri pers.
Menilik kembali penjelasan diawal, ternyata pers Islam perlu mendapat perhatian khusus sebab banyak ruangannya yang tak terisi. Bagaimana mau terisi kalau pers dunia lebih-lebih di Indonesia, bisnis pers dan penerbitannya masih saja dikuasai Zionis Internasional. Dan tantangannya sekarang, produk yang mereka suguhkan ke public juga tentang Islam dan Ummat Muslim. Bahkan ada media yang samapi menjapai rekor tiras dalam memuat cover story tentang Islam. Mereka berkeyakinan bahwa barang siapa ingin menakhlukkan musuh dia harus menguasai ilmu dan karakternya dengan berpura-pura bersahabat.
Oleh karena itu prolem yang mencuat saat ini adalah proses editorial policynya yang hanya menampakkan visi yang serupa dengan pers Islam pada waktu-waktu tertentu saja. Seperti ketika industry marak dengan perdebtan RUU Peradilan Agama, RUU Pendidika Nasional dan sebagainya. Lepas dari itu mereka menampilkan isu dan fitnah yang dsetting seakan-akan Islamlah dalang utamanya. Tak heran kalau public lebih mempercayai omongan dedengkot zionis ketika pemuka islam mencoba melakukan pembelaan terhadap Islam tentang tuduhan sebagai agamanya para teroris.
Berikut beberapa catatan dan analisis tentang rahasia kekuatan zionisme yang penulis temukan di sebuah buku kecil karangan Ainur Rofiq Sophiaan yang mungkin lepas dari perhatian cendekia muda khususnya calon jagung NU. Padahal buku ini setebal 137 halaman itu telah tercetak sejak tahun 1993. Penulis berani menyimpulkan bahwa buku ini nyaris tak tersentuh kaum cendekia karena sampai saat ini masih saja terdengar pernyataan bahwa pers Islam jauh tertinggal pengaruhnya dibanding pers Barat.
Ainur berusaha menunjukkan rahasia kekuatan Zionisme dengan menuliskan hasil interogasi Ketua Komisi Penyelidik Amerika terhadap Isadore Hamlin, Direktur Seksi Agen Yahudi Amerika tentang memorandum tanpa tanggal berjudul Dewan Zionis Amerika Komisi Informasi dan Hubungan Masyarakat. Ada sekitar sepuluh program kerja selama setahun yang berkisar antara tahun 1962-1963. Diantaranya yakni, pertama dibagian majalah, dengan memperalat para redaktur dengan mendorong menerbitkan artikel-artikel yang sesuai dengan misi terkait dalam majalah besar, mencetak serta menyebarluaskannya.
Kedua, di bagian Televisi, Radio dan Film yakni dengan mengatur pembicaraan, wawancara, melayani permintaan film dan mengendalikan orang-orang terkemuka. Ketiga, mengendalikan tokoh-tokoh kunci dan kelompok-kelompok agama dan membuat serangan balik atas materi-materi yang menyakitkan karena isinya hanya fitnah belaka. Keempat, mengendalikan tokoh-tokoh akademis, memantau dan menyerang balik materi-materi dalam pers kampus.
Kelima, mengendalika redaktur pers harian dengan menerbitkan artikel-artikel melalui sindikat penulis, kolumnis dan sebagainya. Keenam, membantu penerbit menerbitkan buku-buku berharga, menyebarkannya ke perpustakaan umum dan perguruan tinggi. Ketujuh, memanfaatkan pembicara-pembicara handal untuk menyajikan kajian-kajian mengenai misi terkait. Kedelapan, bersekongkol dengan berbagai organisasi local dan nasional. Kesembilan, menerbitkan petunjuk dan bahan tentang masalah yang controversial. Dan yang kesepuluh, membantu para pengatur pendapat umum.
Setelah mengetahui ini, aneh kalau masih tidak percaya kekuatan barisan mereka. Inilah penghalang sebenarnya dari pers Islam yang kemudian dituntut untuk melacak sejauh mana prefensi yang dikembangkan pers Islam itu berada di garda depan persaingan global sehingga membuka khazanah Islam seluas-luasnya.
Selain itu mujahid pers Islam dituntut untuk professional dalam keseluruhan mekanisme menejemen pers, redaksional, pemasaran dan keuangan. Kenapa menejemen keuangan diperlukan? Itu karena mirisnya pers Islam yang kurang memperhatikan nasib wartawan-wartawan muslim. Dengan menyandarkan diri pada dalih Lillahi Ta’ala pimpinan-pimpinan pers Islam telah mendholimi karyawannya. Padahal didalam Al-Qur’an dan Al-Hadits telah jelas tertulis mengenai kewajiban menggaji buruh/ karyawan. Resikonya adalah wartawan muslim handal harus memilih hengkang dari pers Islam dan terpaksa mengabdikan diri pada Pers Islam imitasi karena kebutuhan hidup.
Satu hal lagi yang perlu ditulis dalam note book kita bahwa ruang lingkup pers tak hanya terbats pada media cetak saja tapi, juga pada media elektronik seperti TV, Radio dan jejaring Internet. Tiga bekal dari Allah untuk siapa saja yang siap menjadi wartawan muslim dan pejuang pers Islam yakni, check and recheck (Q.S. Hujurat : 7) well informed (Q.S. Isra’ : 36) dan selektif (Q.S. Furqon : 72). Dan…mau dibawa kemana pers Islam kita?
Memang pada misi awal, pers hanya berfungsi sebagai media penyalur informasi yang menyuguhkan data dan fakta. Selepas itu saat ini dunia jurnalistik modern yang tak lagi berkutat pada kepenulisan telah mengadopsi fungsi lain yakni entertainment, education dan public opinion reader (mempengaruhi khalayak). Dunia jurnalistik modern yang mencari lahan lain seperti media elektronik sebagai bahan produknya itu berada diposisi terpenting dalam membangun pendapat umum seperti apa yang telah dirancang produsennya. Maka, tak heran kalau Av Westin mengatakan dalam bukunya News Watch bahwa berita televisi megubah cara berfikir pemerintah dan orang Amerika. Ini tidak menutup kemungkinan terjadi hal yang sama pada pola pikir masyarakat non Amerika. Karena pada dasarnya barang siapa yang menguasai informasi, berarti mempunyai potensi untuk mempengaruhi opini orang lain.
Membincang pers Islam, dalam bukunya Tantangan Media Informasi Islam Ainur Rofiq Sophiaan mengemukakan bahwa sampai saat ini media Islam belum memiliki formulasi yang jelas untuk menandingi pers Barat yang mayoritas dikuasai oleh orang-orang Yahudi. Tak hanya itu, ternyata perjalanan pers Islam terkepung oleh pasar media lain. Betapa tidak, perkembangan pers Islam hanya bisa dikatakan tersengal-sengal, produk yang dilempar ke tengah pasar hanya berupa paparan-paparan visi misi Islam. Pers Islam hanya mengetengahkan aspirasi ummatnya yang mayoritas.
Kalau boleh ditanggapi secara sepihak sepertinya Pers Islam seakan-akan merasa ada yang kurang jika tidak membubuhi kutipan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Tapi, bukan berarti ini sesuatu yang buruk. Sebab pada dasarnya memang tujuan penerbitan adalah adanya suatu kepentingan. Dan kalau hal ini terus dibiarkan tanpa mengkombinasikan fungsi lain ke dalam pers Islam maka, secara tidak langsung pola pikir konsumen akan dibatasi ruang geraknya.
Masalah NU sendiri, yang penulis temukan melulu hanya pada pembahasan mengenai tantangan-tantangan pergolakan Ideologi, pernyataan tegas wajib rujuk pada Khittah NU, kepentingan politik yang bercampur aduk dengan misi awal berdirinya NU dan beberapa gap lain yang tidak bisa disebutkan semuanya. Namun setelah lelah membahas perkara-perkara yang muncul kepermukaan, solusi-solusi yang tepat belum terbaca dan terpetakan. Walaupun spesialis-spesialis NU sendiri berusaha menggembar-gemborkan kewajiban munculnya kader-kader NU yang benar-benar siap meredakan pergolakan Ideologi. Kenyataannya itu semua hanya angan-angan yang abstrak sebab generasi tua sendiri bisa dikata kurang merangkul dan mengayomi generasi mudanya.
Bukan tanpa alasan pernyataan diatas terlontarkan karena memang pada prakteknya banyak generasi yang lahir di kalangan NU tulen tapi dibesarkan, dididik dan diayomi ormas-ormas lain. Kalau itu masih dibiarkan berlarut maka jangan harap NU akan bergerak menuju progress bersama kader-kader unggul.
Padahal kalau mempertimbangkan perkataan Dr. K.H. Ahsin Sakho Muhammad, Rais Pimpinan Pusat Majelis Ilmi Jam’iyatul Qurra wal Huffazh NU kita akan mengamini pernyataannya yang mengatakan bahwa kekuatan NU sangat diperhitungkan oleh masyarakat global, terutama Amerika Serikat. Hal ini mengingat NU dengan pengikut terbanyak menjadi jangkar strategis kekuatan Islam moderat dunia. Sebuah catatan, bukan berarti lantas kita bisa berleha-leha karena posisi kita boleh dikata lumayan ditakuti. Seharusnya kita sadar kalu secara perlahan musuh kita sedang mencari-cari waktu dan kesempatan saat kita lengah. Dan salah satu senjata mereka adalah industri pers.
Menilik kembali penjelasan diawal, ternyata pers Islam perlu mendapat perhatian khusus sebab banyak ruangannya yang tak terisi. Bagaimana mau terisi kalau pers dunia lebih-lebih di Indonesia, bisnis pers dan penerbitannya masih saja dikuasai Zionis Internasional. Dan tantangannya sekarang, produk yang mereka suguhkan ke public juga tentang Islam dan Ummat Muslim. Bahkan ada media yang samapi menjapai rekor tiras dalam memuat cover story tentang Islam. Mereka berkeyakinan bahwa barang siapa ingin menakhlukkan musuh dia harus menguasai ilmu dan karakternya dengan berpura-pura bersahabat.
Oleh karena itu prolem yang mencuat saat ini adalah proses editorial policynya yang hanya menampakkan visi yang serupa dengan pers Islam pada waktu-waktu tertentu saja. Seperti ketika industry marak dengan perdebtan RUU Peradilan Agama, RUU Pendidika Nasional dan sebagainya. Lepas dari itu mereka menampilkan isu dan fitnah yang dsetting seakan-akan Islamlah dalang utamanya. Tak heran kalau public lebih mempercayai omongan dedengkot zionis ketika pemuka islam mencoba melakukan pembelaan terhadap Islam tentang tuduhan sebagai agamanya para teroris.
Berikut beberapa catatan dan analisis tentang rahasia kekuatan zionisme yang penulis temukan di sebuah buku kecil karangan Ainur Rofiq Sophiaan yang mungkin lepas dari perhatian cendekia muda khususnya calon jagung NU. Padahal buku ini setebal 137 halaman itu telah tercetak sejak tahun 1993. Penulis berani menyimpulkan bahwa buku ini nyaris tak tersentuh kaum cendekia karena sampai saat ini masih saja terdengar pernyataan bahwa pers Islam jauh tertinggal pengaruhnya dibanding pers Barat.
Ainur berusaha menunjukkan rahasia kekuatan Zionisme dengan menuliskan hasil interogasi Ketua Komisi Penyelidik Amerika terhadap Isadore Hamlin, Direktur Seksi Agen Yahudi Amerika tentang memorandum tanpa tanggal berjudul Dewan Zionis Amerika Komisi Informasi dan Hubungan Masyarakat. Ada sekitar sepuluh program kerja selama setahun yang berkisar antara tahun 1962-1963. Diantaranya yakni, pertama dibagian majalah, dengan memperalat para redaktur dengan mendorong menerbitkan artikel-artikel yang sesuai dengan misi terkait dalam majalah besar, mencetak serta menyebarluaskannya.
Kedua, di bagian Televisi, Radio dan Film yakni dengan mengatur pembicaraan, wawancara, melayani permintaan film dan mengendalikan orang-orang terkemuka. Ketiga, mengendalikan tokoh-tokoh kunci dan kelompok-kelompok agama dan membuat serangan balik atas materi-materi yang menyakitkan karena isinya hanya fitnah belaka. Keempat, mengendalikan tokoh-tokoh akademis, memantau dan menyerang balik materi-materi dalam pers kampus.
Kelima, mengendalika redaktur pers harian dengan menerbitkan artikel-artikel melalui sindikat penulis, kolumnis dan sebagainya. Keenam, membantu penerbit menerbitkan buku-buku berharga, menyebarkannya ke perpustakaan umum dan perguruan tinggi. Ketujuh, memanfaatkan pembicara-pembicara handal untuk menyajikan kajian-kajian mengenai misi terkait. Kedelapan, bersekongkol dengan berbagai organisasi local dan nasional. Kesembilan, menerbitkan petunjuk dan bahan tentang masalah yang controversial. Dan yang kesepuluh, membantu para pengatur pendapat umum.
Setelah mengetahui ini, aneh kalau masih tidak percaya kekuatan barisan mereka. Inilah penghalang sebenarnya dari pers Islam yang kemudian dituntut untuk melacak sejauh mana prefensi yang dikembangkan pers Islam itu berada di garda depan persaingan global sehingga membuka khazanah Islam seluas-luasnya.
Selain itu mujahid pers Islam dituntut untuk professional dalam keseluruhan mekanisme menejemen pers, redaksional, pemasaran dan keuangan. Kenapa menejemen keuangan diperlukan? Itu karena mirisnya pers Islam yang kurang memperhatikan nasib wartawan-wartawan muslim. Dengan menyandarkan diri pada dalih Lillahi Ta’ala pimpinan-pimpinan pers Islam telah mendholimi karyawannya. Padahal didalam Al-Qur’an dan Al-Hadits telah jelas tertulis mengenai kewajiban menggaji buruh/ karyawan. Resikonya adalah wartawan muslim handal harus memilih hengkang dari pers Islam dan terpaksa mengabdikan diri pada Pers Islam imitasi karena kebutuhan hidup.
Satu hal lagi yang perlu ditulis dalam note book kita bahwa ruang lingkup pers tak hanya terbats pada media cetak saja tapi, juga pada media elektronik seperti TV, Radio dan jejaring Internet. Tiga bekal dari Allah untuk siapa saja yang siap menjadi wartawan muslim dan pejuang pers Islam yakni, check and recheck (Q.S. Hujurat : 7) well informed (Q.S. Isra’ : 36) dan selektif (Q.S. Furqon : 72). Dan…mau dibawa kemana pers Islam kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar