Prolog :
Seringkali
manusia mengatasnamakan Rosulullah dan jihad berani menghalalkan apapun yang
menurutnya benar. Begitu pula yang terjadi dengan seorang Arju vijaisi yang
belakangan mengganti namanya dengan Ar-Rozi karena kekagumannya pada tokoh
filsafat tersebut. Meski Faruq, adik ipar sekaligus sahabatnya itu memberikan
pelurusan-pelurusan terhadap konstruk pemikirannya. Tapi, tetap tak mengubah
keinginannya menteror petinggi yang menurutnya telah banyak menyusahkan rakyat.
Dan
segala keinginan itu akhirnya berakhir seperti tanpa akhir karena seperti yang
telah tertulis dalam agenda hariannya, kata MATI yang hurufnya berangsur
hilang. Kematian yang tak mengantarkan pada pintu mati dan tak mengantarnya
pula kembali menuju dunia. KOMA. Lantas, sudah benarkah perjuangannya mengikuti
jejak Sang Nabi? Wa Allahu A’lam.
“Zi, Aku mimpi tentang
Kau…!”
“Hegh… seperti
perempuan.” Rozi tersenyum mengejek.
“Apa Kau bilang…?”
“Melodramatis…
cengeng!” Berujar datar terus menikmati sebatang rokok kretek yang menyala di tangannya.
“Apa hubungannya
cengeng dengan mimpi-mimpi itu?”
“Kebanyakan perempuan
kalau rindu, akan terbawa mimpi.” Berujar setelah mengepulkan asap rokok
terakhirnya. Kemudian membuang puntung kecil itu ke tanah dan menginjak apinya
yang masih menyala.
“Aku bukan gay seperti
yang Kau kira. Lagi pula seandainya Aku gay, Aku akan berfikir dua kali untuk
berhubungan dengan tubuh kurus kering seperti tubuh Kau itu.” Sergah Faruq
menjauh dari tempat Rozi duduk.
“Ha… ha… ha…
Faruq…Faruq…! Kau emosi
rupanya. Lantas, apa yang Kau lihat dalam mimpimu kawan.” Rozi mendekat dan
tertawa setengah memeluk Faruq. Kata-katanya terdengar ingin menunjukkan bahwa
Dia sangat bergairah pada lawan bicaranya.
“Enyah Kau…! Ihhh…! Aku
melihatmu menikah lagi” Ujar Faruq melepaskan pelukan Rozi dengan kasar,
menampakkan sikap bahwa Dia jijik dipeluk seperti itu.
“Hegh…, berarti
benar-benar sebentar lagi…” Aura wajah gurauan Rozi berubah datar dan serius.
Pandangannya lurus ke depan, menerawang.
“Maksudmu, Zi?” Faruq
mengubah wajah menjadi lebih serius, keningnya berkerut.
“Ah, tidak…!” Rozi
beranjak dari tempat duduknya.
“Kau ingin kawin lagi?
Ku laporkan pada Kak Balqis baru tahu rasa, Kau”
Rozi berbalik arah,
“Tenang saja walaupun
sebenarnya Aku ingin, Kakakmu Balqis bukan perempuan yang pantas dapatkan
ketidak adilan itu. Kau tahu sendiri kan kalau Pria Taurus adalah tipe pria
paling setia.”
“Masih percaya Kau
rupanya dengan ramalan bintang, bukankah Kau yang menulis artikel berjudul ’Persetan
untuk Zodiak’ di Al-Qalam seminggu yang lalu. Tak malu Kau jilat lagi ludah
yang sudah Kau keluarkan.”
“Terus dengan apa Aku
bisa membuatmu percaya? Kau penggila ramalan bintang, bukan. Ya, syukurlah
kalau akhirnya Kau sadar tak selamanya ramalan-ramalan itu benar. Lagi
pula jenis orang sepertiku masih pantaskah berpoligami? Istri satu saja Aku
limbung.”
“Lalu apa makudmu
mengucap kata benar-benar sebentar lagi kalau tidak merujuk ke
poligami?”
“Bagiku hidup sekali,
mati sekali dan menikahpun hanya sekali.”
“Aku merasa, daunku di
Arsy telah rontok dari pohonnya.” Ujar Rozi lagi datar kemudian kembali
melangkah.
Faruq diam mengerutkan
kening, selang
beberapa detik Rozi berbalik arah seakan merasa ada sesuatu yang tertinggal.
“Oya, Aku mau… pasukan
Densus tak nganggur”
“Daun, arsy, densus…
Aku tak paham dengan segala ucapanmu hari ini.” Sergah Faruq dengan nada
semakin meninggi sehingga membuatnya enggan tetap duduk.
“Kalau Kau ingin tahu,
datang saja nanti sore. Aku membuat semacam mainan spesial yang dirancang
khusus untuk calon petinggi kita.” Sahut Rozi menampakkan senyum kecutnya.
Faruq hanya bisa menelan ludah kemudian menggeleng tak mengerti dengan ucapan
sahabat sekaligus Kakak iparnya itu.
***
Sebuah meja kayu jati
persegi di pojok ruangan
kosong berdinding anyaman rotan kering, beratap jerami dan berlantai tanah.
Satu kursi panjang. Bisa diprediksi ukuran ruangan tak lebih luas dari kantor
pos kamling di ujung jalan. Mungkin Pos Kamling itu lebih Istimewa di banding ruangan ini. Di atas meja berserakan beberapa buku-buku
tentang atom, alat elektronik dan tata cara merakit bom. Kitab Ihya’ Ulumu Ad-din dan Safinatun Najah bertumpuk rapi
di ujung bersebelahan dengan dinding. Bubuk mesiu di dalam kaleng susu bendera
bekas berada di ujung meja.
Ada bak sampah untuk
sampah basah di bawah meja. Beberapa ekor nyamuk betina gemuk meraung-raung
mencari darah manusia untuk membantu proses persalinannya. Di pojok ruangan
yang berlawanan tergelar tikar anyaman janur kering. Kalau disebut sebagai
tempat tidur mungkin akan kurang pantas karena kedua ujungnya tercabik gigi
tikus got yang nyelonong masuk rumah saat penghuninya tidur. Satu bantal usang
penuh peta dan seperangkat alat sholat yang ditata rapi. Tapi, itu benar-benar
tempat tidur. Di sampingnya satu lemari tanggung yang disekat sebagai tempat
menata perabot rumah tangga dan beberapa potong pakaian usang.
“Kau sudah gila apa?
Untuk apa buku-buku ini? Hugh, ini juga, bubuk mesiu!”Faruq mendengus mencium
aroma mesiu yang menyengat.
“Tadi pagi Aku sudah
jelaskan padamu, bukan.” Rozi berujar datar, tetap fokus pada buku MERAKIT
BOM, bubuk mesiu dan bom rakitan belum jadi di atas meja jati usang
miliknya.
“Kau ingin mengebom
mereka?”
“Apa ada hal lain selain
itu di benakmu?”
“Jangan katakan
menjelang malam nanti Kau akan menteror mereka dengan bom Tuan Vijay.”
“Aku tak suka Kau
menyebutku dengan nama panggilan yang menjijikkan itu.” Sergah Rozi ketus
mendengar nama kecilnya disebut-sebut. Tangan kirinya mencengkram krah hem
putih Faruq, tangan kanannya siap melibas dagu Faruq.
“Kenapa berhenti? Hajar
saja…!” Faruq semakin mendekatkan wajahnya pada Rozi dengan aura menantang.
Kemudian menggebu-gebu Dia ber-argument.
“Kenapa pula Kau tak
suka nama itu? Bukankah Vijay adalah nama yang sungguh luar biasa. Sangat
heroik… lagi pula nama itu mirip nama-nama orang India, Negara kelahiran Ilmuan
serba bisa yang menulis sirah[1]
Nabi SAW, Shibli Nomani. Bukankah Kau pengagumnya?” Ucapan Faruq membuat Rozi terdiam menggurungkan
niat untuk menghantam wajah kuning langsat sahabat sekaligus adik iparnya itu
dengan tangan kanannya. Cengkraman tangan kirinya mengendur. Pikirannya
sekarang tertambat pada sosok ulama’ besar kelahiran Bindawal Azamgarh,
India yang telah lama dikaguminya. Perlahan Dia duduk kembali.
“Namaku Arju Vi
Jaisy. Bukan berarti Kau bisa seenak pusarmu memanggilku dengan panggilan
yang Kau suka. Kalau Kau ingin memanggilku dengan nama itu, sebut dengan
lengkap.”
“Kereta api…!” Ujar
Faruq sekenanya mencoba meraih kursi dan duduk di sebelah Rozi. Otaknya terus
berfikir bagaimana caranya mengalihkan perhatian Rozi agar lupa dengan
rencananya menteror calon petinggi.
“Maksudmu…?”
“Terlalu panjang!”
Faruq kembali berujar santai dengan mencecerkan bubuk mesiu di dalam kaleng
susu bekas ke tempat sampah.
“Hei, jangan lancang
Kau! Bukankah Aku sudah menyediakan alternative lain. Panggil saja Aku Ar-Rozi
atau Rozi, lebih singkat kan.” Rozi menjendul kepala Faruq lalu mencoba
mengumpulkan bubuk mesiu yang telah tercecer di dalam bak sampah yang penuh
dengan sampah basah itu.
“Sial Kau… Kau membuang
satu-satunya bubuk mesiuku.” Rozi mengucapkan sumpah serapah karena bubuk mesiu
itu gagal diselamatkannya. Faruq mengangkat alis acuh.
“Tokoh yang cenderung
mempunyai pemikiran bebas, persis seperti karaktermu.”
“Dasar sok tahu pribadi
orang…!”
“Itu kenyataan, Abu
Bakar Muhammad ibn Zakaria Ibn Yahya Al-Rozi adalah seorang rasionalis murni
yang hanya mempercayai kekuatan akal. Bukankah Kau juga tahu kalau beliau
memiliki garis fikir yang berkeyakinan bahwa setiap tingkah laku harus
berdasarkan rasio.”
“Bukankah pemikiran
seperti itu 100 % benar?”
“Tapi, bukan berarti
kita dapat menafikan kekuatan Allah!”
“Ar-Rozi tidak
menafikan kekuatan Allah! Malahan beliau mendefinisikan Allah ta’ala dengan
Dzat maha pencipta serta pengatur seluruh alam. Terkait moral, beliau
menempatkan hawaa[2]
berada dibawah kendali akal dan agama. Jadi sudah seharusnya manusia perlu
mengetahui kekurangan dengan meminta teman yang berkemampuan nalar untuk mengatakan
dimana letak kekurangannya. Apa itu salah?”
“Tak salah…! Tapi,
seandainya Kau lebih mengenal Al-Ghazali, rasa kagummu itu akan berpindah
padanya.”
“Ya Aku tahu beliau…
Aku suka kitab Ihya’Ulum Ad-Din-nya. Kitab tasawwuf yang tiada duanya.”
“Kalau Kau sudah
membacanya. Kenapa Kau masih ingin menyelesaikan masalah dengan bom? Beliau tak
menuliskan tentang itu, bukan. Kalau Kau ingin mengingatkan mereka lebih baik
pakai cara Sunan Kalijogo, Negara kita sangat cinta damai. Tak suka yang
namanya perang dan kekerasan. Apalagi Rosulullah …
Beliau sangat tak suka dengan hal yang mengatas namakan jihad tapi, merusak
tatanan Negara tanpa berfikir. Seperti Kau”
“Tahu apa Kau tentang
Sejarah.”
“Kau meragukanku?”
“Kalau situasinya
terpaksa, Rosulullah memperbolehkan berperang.”
“Hei…! Keadaan Kau saat
ini bukan terpaksa… Kayak gak ada cara lain apa?”
Rozi tetap diam tak
bergeming meski pernyataan sekaligus pertanyaan itu terlontar dengan sangat
serius. Beranjak dari tempat duduknya, berjalan perlahan menuju pintu dan
membukanya lebar-lebar, sejenak Rozi menghirup angin sore yang sejuk dan
mengambil sebatang kretek dari saku celana selutut di balik sarung
compang-campingnya.
“Ah… Untunglah… masih
ada satu.” Rozi menyalakan api untuk rokoknya, perlahan mengepulkan asapnya dan
kembali berujar.
“Aku tak suka nama
India itu karena Aku cemburu pada Syah Rukh
Khan. Balqis begitu mengaguminya.”
“Kau mengalihkan pembicaraan…! Dan… memaksakan diri mencari-cari alasan.”
“Tapi, di awal Kau juga membahas India bukan?”
“Kau menyebalkan! Kak
Balqis bisa menderita karena rokokmu ini.” Ujar Faruq membuang rokok yang
dihisap Rozi ke luar.
“Hei…Kau…! Aku susah
payah membelinya Kau tahu?” Rozi mengambil kembali rokoknya dari tanah kemudian
menghisapnya lagi.
“Itulah bodohnya Kau! Benda
mahal dan merusak tubuh begitu masih saja Kau beli. Apa Kau sudah lupa dengan
ilmu biologi dari guru SD-mu dulu, di dalam
asap rokok itu mengandung Hydrogen Cyanide (racun hukuman mati), Aceton
(penghapus cat), Toluene (Pelarut Industri), Methanol (Bahan bakar roket),
Pyrene, Benzopyrene, Vinyl Chloride,…”
“Urethane…
Dibenzacridine… Phenol, Butane…, Napthalene (kapur barus)…”Sahut Rozi
meneruskan ucapan Faruq. Asap rokoknya tetap mengepul.
“Itu Kau masih ingat!”
“Gak jantan kalau
laki-laki gak suka rokok, seperti Kau…! Banci…!”
“Heh, Asal Kau tahu!
Kebanyakan perempuan terserang kanker payudara karena suaminya itu perokok
berat.”
“Mbuhhh…!” Spontan Rozi
menyemburkan rokok dari bibirnya. Rokok itu jatuh ke tanah
“Kau menyumpahiku dan
Kakakmu”
“Justru Aku tak rela
Kakakku menderita terus karena tingkahmu, Tuan Arju Vi Jaisy. Awas saja kalau
Kau berani lakukan itu.” Sergah Faruq meninggalkan rumah Rozi. Lirikannya
mengancam.
***
17 Mei 2010
Mereka bilang tulisan itu do’a. Jadi jangan sekali – kali menulis hal yang
buruk. Karena sesuatu yang buruk akan menimpamu pula. Ah, aku tak percaya.
Kalaupun terjadi sesuatu yang buruk padaku, itu bukan karena hal buruk yang aku
tulis. Tapi, karena kehendak Tuhanku.
18 Mei 2010
Hari ini Indonesia
kembali menuliskan sejarahnya. Setiap Kabupaten/ Kota Madya di seluruh Indonesia sedang bersiap-siap
menyambut acara pemilihan bupati/ walikota masing-masing secara bergilir.
Begitu pula dengan Kota Kapur, Kota tempat Aku Arju Vi Jaisy dan istri
tercintaku Balqis menjalani bahtera rumah tangga. Di antara kandidat calon bupati kota kami
bersaudara, mereka Kakak beradik. Wah, bisa-bisa wartawan dan paparazi dapat
honor tambahan nih gara-gara mereka. Apa yang akan mereka pilih ya? Jalur
damai, ada salah satu yang mengalah atau akan berlomba-lomba mengangkat senjata
dan saling baku hantam…?
20 Mei 2010
Mereka sama-sama
menggelar kampanye, Kata orang-orang saling jor…joran…[3].
Mereka berlomba-lomba mengadakan istigosah kubro, ziarah makam wali dan
kegiatan rohani lainnya. Maklum kota ini katanya disebut sebagai kotanya para
santri. Kasihan santri-santri itu mereka sekarang jadi korban koran-koran
kuning[4].
21 Mei 2010
Berdebat dengan teman
chatting. Dia tak terima kalau Aku mengatakan bahwa kebanyakan pesantren di
kota Kapur ini belum bisa menerapkan sistem Demokrasi. Aku kekeh[5]
dengan pendapatku karena Aku merasa sistem dari, oleh untuk rakyat itu tak
mungkin bisa diterapkan jika masih ada saja oknum yang secara tidak langsung
memaksa santri memilih tidak dengan hati nurani.
Berbeda dengan
pendapatnya, Menurutnya para santri telah memfungsikan kata Demokrasi secara
penuh di awal saat santri memasrahkan dirinya untuk
menuntut ilmu di Pesantren. Dalam menentukan pilihannya untuk menuntut ilmu di
pesantren, itu saja sudah berarti dari oleh untuk dirinya sendiri. Setelah itu
kewajiban santri adalah sam’an wa tha’atan[6]
kepada gurunya sebagai tindak lanjut dari pilihan hidupnya di awal.
Ah, itulah yang
membuatku kagum pada pesantren dan orang-orangnya. Benar-benar isi kitab
Ta’limul Muta’alim yang diamalkan sepenuhnya.
23 Mei 2010
Ini bukan yang pertama
kalinya Aku memanfaatkan hak pilihku pada pemilihan Bupati kota Kapur. Tapi,
yang membuatku benci adalah ketidak warasan salah satu kandidat calon petinggi.
Pak A … melalui kaki tangannya memberiku
sebungkus plastik berisi 4 buah mie instan. Padahal dalam aturan
perundang-undangan pemilu dilarang keras berkampanye dalam bentuk apapun pada
masa hari tenang, apalagi saat pemilu. Bagiku 1 mie instan, 1 suara = menjual
harga diri.
25 Mei 2010
Entah kenapa pertemuan
dengan sobat lama sekaligus adik iparku Faruq, mengingatkanku kembali dengan
Negara Mesir. Ya, mungkin karena Aku, Istriku dan Faruq pernah belajar satu
kampus di Al-Azhar Cairo Mesir. Namun Aku dan Balqis lebih dulu pulang ke
Indonesia setelah meraih gelar Lc dan melangsungkan pernikahan di sana, sedangkan Muhammad Faruq sobat
sekaligus adik iparku itu tetap melanjutkan study S-2 nya.
Peradaban Ekstrim di
Negri Piramid itulah yang sebenarnya membuat Aku tak bisa dengan mudah
melupakannya. Ulama’ disana punya ciri khusus yang siapapun tidak berani meniru
cara berpakaiannya apalagi sampai menyamar menjadi bagian dari mereka. Jubah
putih dengan imamah yang dilingkarkan ke kopyah merah mereka. Yang berpakaian
seperti itu biasanya menyimpan 30 juz ayat Al-qur’an, cara membaca dan
mentafsiri di dalam dadanya.
Dan yang membuatku tak
berkedip ketika pertamakali menginjakkan kaki dan berdesak-desakan di sebuah angkutan umum di negri itu adalah
kebiasaan wanita-wanita Mesir yang tidak betah berlama-lama memakai pakaian
tebal. Pakaian mereka sangat tipis dan nyaris terlihat warna kulitnya.
Alasannya simple, PANAS…! Namun, rupa-rupanya gadis Indonesia mulai mengikuti
tren ini. AJANG MEMPERLIHATKAN LEKUK TUBUH…!
Tak urung Aku
memanfaatkan kesempatan melihat pemandangan itu selama mungkin. Menurut isi hadits Rosul yang
pernah Aku pelajari, pandangan pertama adalah rizqi, yang kedua dan selanjutnya
adalah haram. Dan di saat
yang bersamaan pula Faruq menginjak kakiku dan berbisik, “Jangan suka Kau
plesetkan hadits Nabi…! Kwalat…!”
Yang jelas, dari latar
belakang untuk menahan diri dan nafsu inilah banyak perkumpulan Mahasiswa yang
kemudian menghalalkan kawin muth’ah atau di Indonesia di kenal sebagai kawin
kontrak. Tapi, bukan berarti pernikahanku dengan Balqis, istriku juga karena
hal itu. Aku benar-benar jatuh cinta pada
budi, kecantikan, dan kecerdasannya sebagai seorang wanita. Aku mencintainya
karena Allah. Meskipun teman-teman sering mempertanyakan kewarasanku karena
menyukai gadis 3 tahun lebih tua dariku. Aku tak peduli, Dia adalah Khadijah
bagi seorang Arju Vi Jaysi.
27 Mei 2010
Aku tak suka dengan
kedatangan Faruq ke rumah untuk pertama kalinya. Bukan karena Dia mengomentari
keadaan rumahku. Tapi ada hal lain. Walaupun Dia berkelakar, “Mana hasil gelar Licence-mu.”
Ah biar saja, Dia tak perlu tahu kalau sebenarnya Aku hanya tak ingin jejak
kehidupan Rosulullah SAW terhapus dari peradaban Islam modern. Rumah yang
sederhana dan tidur beralaskan tikar bersama Sayyidah Aisyah. Bukankah
Al-Ghazali yang dikaguminya juga menghendaki hal yang sama sepertiku terhadap
segala sesuatu berbau dunia?
Yang membuatku sakit
hati, Dia menyinggungku dengan kata MANDUL gara-gara Aku belum juga memberi
Balqis putra. Jodoh…, kelahiran…, rizqi…, kehidupan… dan kematian…, toh bukan
Aku yang menentukan. Tapi, yang
membuatku bahagia dan semakin mencintai Balqis, istriku adalah kesetian dan
ketaatan Balqis yang luar biasa. Dia benar-benar istri yang sholihah.
18 Juni 2010
Ada putaran kedua
pemilihan bupati Kota Kapur kali ini, kedua Kakak beradik kandidat calon
petinggi sama-sama unggul. Mereka saling tidak menyapa. Bahkan isu yang
tersebar di masyarakat,
mereka berusaha menjatuhkan satu sama lain. Para pendukung mereka tawuran, aksi
sogok menyogok terjadi di setiap Kecamatan. Kali ini posisi dan peran uang tak
hanya sebagai alat transaksi, tapi sebagai Alat KOMUNIKASI MODERN.
Gimana mau memimpin
rakyat kalau memimpin diri sendiri saja tidak bisa, gimana mau mengayomi dan menyayangi
rakyat kalau mengayomi dan menyayangi saudara sedarah sedaging saja tidak bisa.
Apa yang harus Aku lakukan agar hal ini tak berlarut-larut. Aku harus lakukan
sesuatu.
25
Juni 2010
Aku kesepian. Balqis ke
rumah mertuaku, Mamak Balqis di kota Tahu. Mungkin sebulan. Katarak di mata
kanan Mamak melebar. Katanya keadaan
bapak juga semakin buruk, TBC yang menyerangnya membuat batuknya tak berhenti.
Sesekali keluar darah dari mulutnya. Kata dokter sudah stadium akhir. Mendengar
penyakit itu Aku teringat rokok yang
selalu Aku dan Bapak gemari. Ngeri juga.
Kalau Cuma mengandalkan
Faruq…, mana mungkin Dia bantu pengobatan Bapak. Masih mending Aku, walau
pekerjaanku hanya sebagai blogger dan novelis amatiran yang kata orang terlalu
revolusioner. Aku masih bisa bantu sedikit untuk biaya makan Mamak Bapak
sehari-hari tiap bulannya. Tapi, bukan berarti Faruq lebih miskin dari Aku.
Sebenarnya Dia benci
sama Bapak, karena Bapak hanya suami kedua Mamak. Bukan Bapak kandungnya.
Apalagi setelah Faruq tahu Bapak kandungnya meninggal bukan karena penyakit,
tapi dibunuh Bapak tirinya. Perebutan perempuan…! Ah, Aku teringat hadits Rosul
SAW yang dihukumi Hasan Shohih oleh Abu Isa, Insya Allah bermakna “ Tidaklah Aku tinggalkan sesudahku suatu
fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) perempuan.”
Perempuan memang fitnah, ujian. Perempuan adalah ujian bagi laki-laki sekaligus sesuatu
yang dicintai.
Untung saja Faruq masih
menyisakan sedikit iman, barang kali. Kalau tak, mungkin namanya berada dalam
daftar buronan polisi. ‘Dicari Buronon dengan nama lengkap Muhammad Faruq bin
Mustofa Al-Maulidy sebagai tersangka pembunuh Bapak Saleman’. Mungkin lebih
tepatnya Sulaiman, Nama mertua tiriku yang diplesetkan lidah ajam alias non Arab.
1
Juli 2010
Ide gilaku muncul, ...
menteror calon petinggi. Eemm… tapi dengan apa ya…? Hanya senjata api biasa
atau dinamit? Aku akan buat mereka rukun kembali karena terorku. Biar saja
pasukan Detasemen Khusus 88 kelimpungan mencariku. Aku muak dengan berita di
Koran hari ini.
Pilbub tak jelas. Ujung-ujungnya hanya diberitakan bahwa pendukung keduanya
bentrok. Seandainya salah satu diantara mereka terpilih, tidak menutup
kemungkinan uang rakyat juga yang diembat untuk menutupi pengeluaran biaya
kampanye. Rakyat juga yang repot. Faruq berulang kali mencegah… katanya kalau
memang niatanku menteror mereka karena tak rela perjuangan Rosulullah mengantarkan
kedamaian untuk kita sia-sia dan seenaknya mereka rusak, berarti Aku tak harus
bertindak bodoh dengan menggembar-gemborkan jihad fi sabilillah. Faruq selalu
berkelakar, bukankah banyak cara lain untuk berdakwah… cari yang lebih tak
menggunakan kekerasan. Alah…ba…bi…bu yang tak jelas. Atau memang Aku saja yang tak jelas. Pokoknya
Aku tak rela Rosulullah dilupakan.
2
Juli 2010
Ha…ha…ha…
Alhamdulillah, akhirnya Balqis hamil. Aku akan punya Arju Vi Jaysi kecil…
3
Juli 2010
Faruq bermimpi Aku menikah lagi, Jika benar tafsiran mimpi
menikah adalah sebaliknya atau bisa berarti K.E.M.A.T.I.A.N, lalu bagaimana
nasib Balqis jika Aku mati, Apakah ada hubungan antara kematianku dengan
rencana penteroran? Akankah Aku menghentikan ide gilaku untuk menteror calon
petinggi? Tak apa Aku masih punya Arju Vi Jaysi kecil, penerusku, pelindung
Balqisku. Aku harus punya komitmen dan tidak plin plan. Bagaimana kalau Arju Vi Jaysi kecilku tahu kalau Ayahnya takut
pada misteri maut? Itu tak boleh dibiarkan.
Tapi, Faruq mengataiku,
berusaha sekuat tenaga agar Aku tak melakukan ide gilaku. Bahkan Dia berani
membuang satu-satunya bubuk mesiu milikku. Dia bingung dengan ucapanku tentang
densus, arsy dan daunnya. Aku yakin sebenarnya Dia tahu makna ucapanku hanya
saja Dia ingin menyakinkan dirinya bahwa Aku sedang mengigau.
5
Juli 2010
Aku
berangkat menuju MATI
***
7
Juli 2020
Lembaran catatan harian
dengan sebuah nama ‘Arju Vi Jaysi alias
Ar-Rozi’ di halaman depannya
berlumuran darah. Truk, Mobil pick-up, phanter dan beberapa sepeda motor telah
melindasnya. Lembarannya terkoyak. Ada sepasang mata kecil bercahaya tanpa
berkedip memperhatikan lembaran yang sesekali tertiup angin itu. Yang terlihat
jelas di lembar terakhir adalah kata mati dengan huruf yang semakin tak jelas
karena sepertinya tinta yang digunakan telah habis.
Beberapa jam yang lalu
memang terjadi kecelakaan lalu lintas. Sebuah tragedi tabrak lari, korbannya
dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Sesuatu milik korban yang tertinggal adalah buku catatan harian
berlumuran darah pemiliknya. Bocah kecil bersarung kumal dan berkaus putih
mangkak yang sedari tadi memperhatikan buku itu memungutnya. Jantungnya
berdegup sangat kencang. Matanya awas memperhatikan sekeliling, kemudian
mendekapnya erat, mungkin Dia takut ada orang lain atau polisi ingin merebut
buku itu darinya. Perlahan Dia masuk Gang dan merapat ke gang kecil di antara dua warung kopi. Siaran Telivisi
di warung, berlomba memberitakan
kejadian beberapa jam yang lalu di sekitar jalanan itu.
“Sebuah kecelakaan lalu
lintas kembali terjadi di jalan Panglima Sudirman, Kecamatan Tambak Rejo Kota
Kapur. Korban tabrak lari itu adalah seorang laki-laki tua yang belakangan
sedang dicari-cari oleh polisi dan pihak Rumah Sakit Jiwa Permata kapur
lantaran tindakan membahayakan yang dilakukannya. Setelah sepuluh tahun yang lalu Dia membuat keributan di kediaman Bupati terpilih kota
Kapur, sebulan yang lalu, Dia telah mencuri senjata api
bermerek Colt M-14 Stayer milik Komandan Sucipto.
Korban yang bernama
lengkap Arju Vi Jaysi ini dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Rakyat dalam keadaan
tak sadarkan diri. Senjata bermerek Colt M-14 Stayer milik Komandan Sucipto
yang ditemukan oleh polisi lalu lintas langsung diamankan ke kantor Kepolisian
pusat di Kabupaten. Menurut keterangan dokter yang menanganinya, Dia mungkin
akan mengalami KOMA[7]
untuk beberapa waktu yang cukup lama karena ada benturan hebat di
otaknya….” Keterangan panjang lebar yang
di sampaikan oleh Presenter salah
satu stasiun TV itu membuat Bocah kecil semakin menggenggam erat
buku berlumuran darah di tangannya. Air matanya perlahan jatuh.
“Vijay…! Arju Vi
Jaysi…! Dimana Kau Nak…!” Perempuan Tua terdengar serak memanggil sebuah nama.
Bocah itu terperangah
karena merasa namanya di panggil.
“Rupanya Kau disini
sayang! Bunda cari Kamu kemana-mana tadi.” Tangan kecilnya cekatan menggulung
buku catatan harian berlumuran darah dan memasukkannya ke dalam lipatan sarung
kumalnya.
Selesai di Suci, Manyar Gresik
Ahad, 20 Pebruari 2011
M/ 17 Rabi’ul Awal 1432 H
10 : 25 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar