Rabu, 01 Desember 2010

KOMA



Prolog :
Seringkali manusia mengatasnamakan Rosulullah dan jihad berani menghalalkan apapun yang menurutnya benar. Begitu pula yang terjadi dengan seorang Arju vijaisi yang belakangan mengganti namanya dengan Ar-Rozi karena kekagumannya pada tokoh filsafat tersebut. Meski Faruq, adik ipar sekaligus sahabatnya itu memberikan pelurusan-pelurusan terhadap konstruk pemikirannya. Tapi, tetap tak mengubah keinginannya menteror petinggi yang menurutnya telah banyak menyusahkan rakyat.
Dan segala keinginan itu akhirnya berakhir seperti tanpa akhir karena seperti yang telah tertulis dalam agenda hariannya, kata MATI yang hurufnya berangsur hilang. Kematian yang tak mengantarkan pada pintu mati dan tak mengantarnya pula kembali menuju dunia. KOMA. Lantas, sudah benarkah perjuangannya mengikuti jejak Sang Nabi? Wa Allahu A’lam.

“Zi, Aku mimpi tentang Kau…!”
“Hegh… seperti perempuan.” Rozi tersenyum mengejek.
“Apa Kau bilang…?”
“Melodramatis… cengeng!” Berujar datar terus menikmati sebatang rokok kretek yang menyala di tangannya.
“Apa hubungannya cengeng dengan mimpi-mimpi itu?”
“Kebanyakan perempuan kalau rindu, akan terbawa mimpi.” Berujar setelah mengepulkan asap rokok terakhirnya. Kemudian membuang puntung kecil itu ke tanah dan menginjak apinya yang masih menyala.
“Aku bukan gay seperti yang Kau kira. Lagi pula seandainya Aku gay, Aku akan berfikir dua kali untuk berhubungan dengan tubuh kurus kering seperti tubuh Kau itu.” Sergah Faruq menjauh dari tempat Rozi duduk.
“Ha… ha… ha… Faruq…Faruq…! Kau emosi rupanya. Lantas, apa yang Kau lihat dalam mimpimu kawan.” Rozi mendekat dan tertawa setengah memeluk Faruq. Kata-katanya terdengar ingin menunjukkan bahwa Dia sangat bergairah pada lawan bicaranya.
“Enyah Kau…! Ihhh…! Aku melihatmu menikah lagi” Ujar Faruq melepaskan pelukan Rozi dengan kasar, menampakkan sikap bahwa Dia jijik dipeluk seperti itu. 
“Hegh…, berarti benar-benar sebentar lagi…” Aura wajah gurauan Rozi berubah datar dan serius. Pandangannya lurus ke depan, menerawang.
“Maksudmu, Zi?” Faruq mengubah wajah menjadi lebih serius, keningnya berkerut.
“Ah, tidak…!” Rozi beranjak dari tempat duduknya.
“Kau ingin kawin lagi? Ku laporkan pada Kak Balqis baru tahu rasa, Kau”
Rozi berbalik arah,
“Tenang saja walaupun sebenarnya Aku ingin, Kakakmu Balqis bukan perempuan yang pantas dapatkan ketidak adilan itu. Kau tahu sendiri kan kalau Pria Taurus adalah tipe pria paling setia.”
“Masih percaya Kau rupanya dengan ramalan bintang, bukankah Kau yang menulis artikel berjudul ’Persetan untuk Zodiak’ di Al-Qalam seminggu yang lalu. Tak malu Kau jilat lagi ludah yang sudah Kau keluarkan.”
“Terus dengan apa Aku bisa membuatmu percaya? Kau penggila ramalan bintang, bukan. Ya, syukurlah kalau akhirnya Kau  sadar  tak selamanya ramalan-ramalan itu benar. Lagi pula jenis orang sepertiku masih pantaskah berpoligami? Istri satu saja Aku limbung.”
“Lalu apa makudmu mengucap kata benar-benar sebentar lagi kalau tidak merujuk ke poligami?”
“Bagiku hidup sekali, mati sekali dan menikahpun hanya sekali.”
“Aku merasa, daunku di Arsy telah rontok dari pohonnya.” Ujar Rozi lagi datar kemudian kembali melangkah.
Faruq diam mengerutkan kening, selang beberapa detik Rozi berbalik arah seakan merasa ada sesuatu yang tertinggal.
“Oya, Aku mau… pasukan Densus tak nganggur”
“Daun, arsy, densus… Aku tak paham dengan segala ucapanmu hari ini.” Sergah Faruq dengan nada semakin meninggi sehingga membuatnya enggan tetap duduk.
“Kalau Kau ingin tahu, datang saja nanti sore. Aku membuat semacam mainan spesial yang dirancang khusus untuk calon petinggi kita.” Sahut Rozi menampakkan senyum kecutnya. Faruq hanya bisa menelan ludah kemudian menggeleng tak mengerti dengan ucapan sahabat sekaligus Kakak iparnya itu.
***
Sebuah meja kayu jati persegi di pojok ruangan kosong berdinding anyaman rotan kering, beratap jerami dan berlantai tanah. Satu kursi panjang. Bisa diprediksi ukuran ruangan tak lebih luas dari kantor pos kamling di ujung jalan. Mungkin Pos Kamling itu lebih Istimewa di banding ruangan ini. Di atas meja berserakan beberapa buku-buku tentang atom, alat elektronik dan tata cara merakit bom. Kitab Ihya’ Ulumu Ad-din dan Safinatun Najah bertumpuk rapi di ujung bersebelahan dengan dinding. Bubuk mesiu di dalam kaleng susu bendera bekas berada di ujung meja.
Ada bak sampah untuk sampah basah di bawah meja. Beberapa ekor nyamuk betina gemuk meraung-raung mencari darah manusia untuk membantu proses persalinannya. Di pojok ruangan yang berlawanan tergelar tikar anyaman janur kering. Kalau disebut sebagai tempat tidur mungkin akan kurang pantas karena kedua ujungnya tercabik gigi tikus got yang nyelonong masuk rumah saat penghuninya tidur. Satu bantal usang penuh peta dan seperangkat alat sholat yang ditata rapi. Tapi, itu benar-benar tempat tidur. Di sampingnya satu lemari tanggung yang disekat sebagai tempat menata perabot rumah tangga dan beberapa potong pakaian usang. 
“Kau sudah gila apa? Untuk apa buku-buku ini? Hugh, ini juga, bubuk mesiu!”Faruq mendengus mencium aroma mesiu yang menyengat.
“Tadi pagi Aku sudah jelaskan padamu, bukan.” Rozi berujar datar, tetap fokus pada buku MERAKIT BOM, bubuk mesiu dan bom rakitan belum jadi di atas meja jati usang miliknya.
“Kau ingin mengebom mereka?”
“Apa ada hal lain selain itu di benakmu?”
“Jangan katakan menjelang malam nanti Kau akan menteror mereka dengan bom Tuan Vijay.”
“Aku tak suka Kau menyebutku dengan nama panggilan yang menjijikkan itu.” Sergah Rozi ketus mendengar nama kecilnya disebut-sebut. Tangan kirinya mencengkram krah hem putih Faruq, tangan kanannya siap melibas dagu Faruq.
“Kenapa berhenti? Hajar saja…!” Faruq semakin mendekatkan wajahnya pada Rozi dengan aura menantang. Kemudian menggebu-gebu Dia ber-argument.
“Kenapa pula Kau tak suka nama itu? Bukankah Vijay adalah nama yang sungguh luar biasa. Sangat heroik… lagi pula nama itu mirip nama-nama orang India, Negara kelahiran Ilmuan serba bisa yang menulis sirah[1] Nabi SAW, Shibli Nomani. Bukankah Kau pengagumnya?” Ucapan Faruq membuat Rozi terdiam menggurungkan niat untuk menghantam wajah kuning langsat sahabat sekaligus adik iparnya itu dengan tangan kanannya. Cengkraman tangan kirinya mengendur. Pikirannya sekarang tertambat pada sosok ulama’ besar kelahiran Bindawal Azamgarh, India yang telah lama dikaguminya. Perlahan Dia duduk kembali.
“Namaku Arju Vi Jaisy. Bukan berarti Kau bisa seenak pusarmu memanggilku dengan panggilan yang Kau suka. Kalau Kau ingin memanggilku dengan nama itu, sebut dengan lengkap.”
“Kereta api…!” Ujar Faruq sekenanya mencoba meraih kursi dan duduk di sebelah Rozi. Otaknya terus berfikir bagaimana caranya mengalihkan perhatian Rozi agar lupa dengan rencananya menteror calon petinggi.
“Maksudmu…?”
“Terlalu panjang!” Faruq kembali berujar santai dengan mencecerkan bubuk mesiu di dalam kaleng susu bekas ke tempat sampah.
“Hei, jangan lancang Kau! Bukankah Aku sudah menyediakan alternative lain. Panggil saja Aku Ar-Rozi atau Rozi, lebih singkat kan.” Rozi menjendul kepala Faruq lalu mencoba mengumpulkan bubuk mesiu yang telah tercecer di dalam bak sampah yang penuh dengan sampah basah itu.
“Sial Kau… Kau membuang satu-satunya bubuk mesiuku.” Rozi mengucapkan sumpah serapah karena bubuk mesiu itu gagal diselamatkannya. Faruq mengangkat alis acuh.
“Tokoh yang cenderung mempunyai pemikiran bebas, persis seperti karaktermu.”
“Dasar sok tahu pribadi orang…!”
“Itu kenyataan, Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria Ibn Yahya Al-Rozi adalah seorang rasionalis murni yang hanya mempercayai kekuatan akal. Bukankah Kau juga tahu kalau beliau memiliki garis fikir yang berkeyakinan bahwa setiap tingkah laku harus berdasarkan rasio.”
“Bukankah pemikiran seperti itu 100 % benar?”
“Tapi, bukan berarti kita dapat menafikan kekuatan Allah!”
“Ar-Rozi tidak menafikan kekuatan Allah! Malahan beliau mendefinisikan Allah ta’ala dengan Dzat maha pencipta serta pengatur seluruh alam. Terkait moral, beliau menempatkan hawaa[2] berada dibawah kendali akal dan agama. Jadi sudah seharusnya manusia perlu mengetahui kekurangan dengan meminta teman yang berkemampuan nalar untuk mengatakan dimana letak kekurangannya. Apa itu salah?”
“Tak salah…! Tapi, seandainya Kau lebih mengenal Al-Ghazali, rasa kagummu itu akan berpindah padanya.”
“Ya Aku tahu beliau… Aku suka kitab Ihya’Ulum Ad-Din-nya. Kitab tasawwuf yang tiada duanya.”
“Kalau Kau sudah membacanya. Kenapa Kau masih ingin menyelesaikan masalah dengan bom? Beliau tak menuliskan tentang itu, bukan. Kalau Kau ingin mengingatkan mereka lebih baik pakai cara Sunan Kalijogo, Negara kita sangat cinta damai. Tak suka yang namanya perang dan kekerasan. Apalagi Rosulullah … Beliau sangat tak suka dengan hal yang mengatas namakan jihad tapi, merusak tatanan Negara tanpa berfikir. Seperti Kau”
“Tahu apa Kau tentang Sejarah.”
“Kau meragukanku?”
“Kalau situasinya terpaksa, Rosulullah memperbolehkan berperang.”
“Hei…! Keadaan Kau saat ini bukan terpaksa… Kayak gak ada cara lain apa?”
Rozi tetap diam tak bergeming meski pernyataan sekaligus pertanyaan itu terlontar dengan sangat serius. Beranjak dari tempat duduknya, berjalan perlahan menuju pintu dan membukanya lebar-lebar, sejenak Rozi menghirup angin sore yang sejuk dan mengambil sebatang kretek dari saku celana selutut di balik sarung compang-campingnya.
“Ah… Untunglah… masih ada satu.” Rozi menyalakan api untuk rokoknya, perlahan mengepulkan asapnya dan kembali berujar.
“Aku tak suka nama India itu karena Aku cemburu pada Syah Rukh Khan. Balqis begitu mengaguminya.”
“Kau mengalihkan pembicaraan…! Dan… memaksakan diri mencari-cari alasan.”
“Tapi, di awal Kau juga membahas India bukan?”
“Kau menyebalkan! Kak Balqis bisa menderita karena rokokmu ini.” Ujar Faruq membuang rokok yang dihisap Rozi ke luar.
“Hei…Kau…! Aku susah payah membelinya Kau tahu?” Rozi mengambil kembali rokoknya dari tanah kemudian menghisapnya lagi.
“Itulah bodohnya Kau! Benda mahal dan merusak tubuh begitu masih saja Kau beli. Apa Kau sudah lupa dengan ilmu biologi dari guru SD-mu dulu, di dalam asap rokok itu mengandung Hydrogen Cyanide (racun hukuman mati), Aceton (penghapus cat), Toluene (Pelarut Industri), Methanol (Bahan bakar roket), Pyrene, Benzopyrene, Vinyl Chloride,…”
“Urethane… Dibenzacridine… Phenol, Butane…, Napthalene (kapur barus)…”Sahut Rozi meneruskan ucapan Faruq. Asap rokoknya tetap mengepul.
“Itu Kau masih ingat!”
“Gak jantan kalau laki-laki gak suka rokok, seperti Kau…! Banci…!”
“Heh, Asal Kau tahu! Kebanyakan perempuan terserang kanker payudara karena suaminya itu perokok berat.”
“Mbuhhh…!” Spontan Rozi menyemburkan rokok dari bibirnya. Rokok itu jatuh ke tanah
“Kau menyumpahiku dan Kakakmu”
“Justru Aku tak rela Kakakku menderita terus karena tingkahmu, Tuan Arju Vi Jaisy. Awas saja kalau Kau berani lakukan itu.” Sergah Faruq meninggalkan rumah Rozi. Lirikannya mengancam.
***
17 Mei 2010
Mereka bilang tulisan itu do’a. Jadi jangan sekali – kali menulis hal yang buruk. Karena sesuatu yang buruk akan menimpamu pula. Ah, aku tak percaya. Kalaupun terjadi sesuatu yang buruk padaku, itu bukan karena hal buruk yang aku tulis. Tapi, karena kehendak Tuhanku.
18 Mei 2010
Hari ini Indonesia kembali menuliskan sejarahnya. Setiap Kabupaten/ Kota Madya di seluruh Indonesia sedang bersiap-siap menyambut acara pemilihan bupati/ walikota masing-masing secara bergilir. Begitu pula dengan Kota Kapur, Kota tempat Aku Arju Vi Jaisy dan istri tercintaku Balqis menjalani bahtera rumah tangga. Di antara kandidat calon bupati kota kami bersaudara, mereka Kakak beradik. Wah, bisa-bisa wartawan dan paparazi dapat honor tambahan nih gara-gara mereka. Apa yang akan mereka pilih ya? Jalur damai, ada salah satu yang mengalah atau akan berlomba-lomba mengangkat senjata dan saling baku hantam…?
20 Mei 2010
Mereka sama-sama menggelar kampanye, Kata orang-orang saling jor…joran…[3]. Mereka berlomba-lomba mengadakan istigosah kubro, ziarah makam wali dan kegiatan rohani lainnya. Maklum kota ini katanya disebut sebagai kotanya para santri. Kasihan santri-santri itu mereka sekarang jadi korban koran-koran kuning[4].
21 Mei 2010
Berdebat dengan teman chatting. Dia tak terima kalau Aku mengatakan bahwa kebanyakan pesantren di kota Kapur ini belum bisa menerapkan sistem Demokrasi. Aku kekeh[5] dengan pendapatku karena Aku merasa sistem dari, oleh untuk rakyat itu tak mungkin bisa diterapkan jika masih ada saja oknum yang secara tidak langsung memaksa santri memilih tidak dengan hati nurani.
Berbeda dengan pendapatnya, Menurutnya para santri telah memfungsikan kata Demokrasi secara penuh di awal saat santri memasrahkan dirinya untuk menuntut ilmu di Pesantren. Dalam menentukan pilihannya untuk menuntut ilmu di pesantren, itu saja sudah berarti dari oleh untuk dirinya sendiri. Setelah itu kewajiban santri adalah sam’an wa tha’atan[6] kepada gurunya sebagai tindak lanjut dari pilihan hidupnya di awal.
Ah, itulah yang membuatku kagum pada pesantren dan orang-orangnya. Benar-benar isi kitab Ta’limul Muta’alim yang diamalkan sepenuhnya.
23 Mei 2010
Ini bukan yang pertama kalinya Aku memanfaatkan hak pilihku pada pemilihan Bupati kota Kapur. Tapi, yang membuatku benci adalah ketidak warasan salah satu kandidat calon petinggi. Pak A … melalui kaki tangannya memberiku sebungkus plastik berisi 4 buah mie instan. Padahal dalam aturan perundang-undangan pemilu dilarang keras berkampanye dalam bentuk apapun pada masa hari tenang, apalagi saat pemilu. Bagiku 1 mie instan, 1 suara = menjual harga diri.
25 Mei 2010
Entah kenapa pertemuan dengan sobat lama sekaligus adik iparku Faruq, mengingatkanku kembali dengan Negara Mesir. Ya, mungkin karena Aku, Istriku dan Faruq pernah belajar satu kampus di Al-Azhar Cairo Mesir. Namun Aku dan Balqis lebih dulu pulang ke Indonesia setelah meraih gelar Lc dan melangsungkan pernikahan di sana, sedangkan Muhammad Faruq sobat sekaligus adik iparku itu tetap melanjutkan study S-2 nya.
Peradaban Ekstrim di Negri Piramid itulah yang sebenarnya membuat Aku tak bisa dengan mudah melupakannya. Ulama’ disana punya ciri khusus yang siapapun tidak berani meniru cara berpakaiannya apalagi sampai menyamar menjadi bagian dari mereka. Jubah putih dengan imamah yang dilingkarkan ke kopyah merah mereka. Yang berpakaian seperti itu biasanya menyimpan 30 juz ayat Al-qur’an, cara membaca dan mentafsiri di dalam dadanya.
Dan yang membuatku tak berkedip ketika pertamakali menginjakkan kaki dan berdesak-desakan di sebuah angkutan umum di negri itu adalah kebiasaan wanita-wanita Mesir yang tidak betah berlama-lama memakai pakaian tebal. Pakaian mereka sangat tipis dan nyaris terlihat warna kulitnya. Alasannya simple, PANAS…! Namun, rupa-rupanya gadis Indonesia mulai mengikuti tren ini. AJANG MEMPERLIHATKAN LEKUK TUBUH…!
Tak urung Aku memanfaatkan kesempatan melihat pemandangan itu selama mungkin. Menurut isi hadits Rosul yang pernah Aku pelajari, pandangan pertama adalah rizqi, yang kedua dan selanjutnya adalah haram. Dan di saat yang bersamaan pula Faruq menginjak kakiku dan berbisik, “Jangan suka Kau plesetkan hadits Nabi…! Kwalat…!”
Yang jelas, dari latar belakang untuk menahan diri dan nafsu inilah banyak perkumpulan Mahasiswa yang kemudian menghalalkan kawin muth’ah atau di Indonesia di kenal sebagai kawin kontrak. Tapi, bukan berarti pernikahanku dengan Balqis, istriku juga karena hal itu. Aku benar-benar jatuh cinta pada budi, kecantikan, dan kecerdasannya sebagai seorang wanita. Aku mencintainya karena Allah. Meskipun teman-teman sering mempertanyakan kewarasanku karena menyukai gadis 3 tahun lebih tua dariku. Aku tak peduli, Dia adalah Khadijah bagi seorang Arju Vi Jaysi.
27 Mei 2010
Aku tak suka dengan kedatangan Faruq ke rumah untuk pertama kalinya. Bukan karena Dia mengomentari keadaan rumahku. Tapi ada hal lain. Walaupun Dia berkelakar, “Mana hasil gelar Licence-mu.” Ah biar saja, Dia tak perlu tahu kalau sebenarnya Aku hanya tak ingin jejak kehidupan Rosulullah SAW terhapus dari peradaban Islam modern. Rumah yang sederhana dan tidur beralaskan tikar bersama Sayyidah Aisyah. Bukankah Al-Ghazali yang dikaguminya juga menghendaki hal yang sama sepertiku terhadap segala sesuatu berbau dunia?
Yang membuatku sakit hati, Dia menyinggungku dengan kata MANDUL gara-gara Aku belum juga memberi Balqis putra. Jodoh…, kelahiran…, rizqi…, kehidupan… dan kematian…, toh bukan Aku yang menentukan.  Tapi, yang membuatku bahagia dan semakin mencintai Balqis, istriku adalah kesetian dan ketaatan Balqis yang luar biasa. Dia benar-benar istri yang sholihah.
18 Juni 2010
Ada putaran kedua pemilihan bupati Kota Kapur kali ini, kedua Kakak beradik kandidat calon petinggi sama-sama unggul.  Mereka saling tidak menyapa. Bahkan isu yang tersebar di masyarakat, mereka berusaha menjatuhkan satu sama lain. Para pendukung mereka tawuran, aksi sogok menyogok terjadi di setiap Kecamatan. Kali ini posisi dan peran uang tak hanya sebagai alat transaksi, tapi sebagai Alat KOMUNIKASI MODERN.
Gimana mau memimpin rakyat kalau memimpin diri sendiri saja tidak bisa, gimana mau mengayomi dan menyayangi rakyat kalau mengayomi dan menyayangi saudara sedarah sedaging saja tidak bisa. Apa yang harus Aku lakukan agar hal ini tak berlarut-larut. Aku harus lakukan sesuatu.
25 Juni 2010
Aku kesepian. Balqis ke rumah mertuaku, Mamak Balqis di kota Tahu. Mungkin sebulan. Katarak di mata kanan Mamak  melebar. Katanya keadaan bapak juga semakin buruk, TBC yang menyerangnya membuat batuknya tak berhenti. Sesekali keluar darah dari mulutnya. Kata dokter sudah stadium akhir. Mendengar penyakit itu Aku teringat rokok yang  selalu Aku dan Bapak gemari. Ngeri juga.
Kalau Cuma mengandalkan Faruq…, mana mungkin Dia bantu pengobatan Bapak. Masih mending Aku, walau pekerjaanku hanya sebagai blogger dan novelis amatiran yang kata orang terlalu revolusioner. Aku masih bisa bantu sedikit untuk biaya makan Mamak Bapak sehari-hari tiap bulannya. Tapi, bukan berarti Faruq lebih miskin dari Aku.
Sebenarnya Dia benci sama Bapak, karena Bapak hanya suami kedua Mamak. Bukan Bapak kandungnya. Apalagi setelah Faruq tahu Bapak kandungnya meninggal bukan karena penyakit, tapi dibunuh Bapak tirinya. Perebutan perempuan…! Ah, Aku teringat hadits Rosul SAW yang dihukumi Hasan Shohih oleh Abu Isa, Insya Allah bermakna “ Tidaklah Aku tinggalkan sesudahku suatu fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) perempuan.” Perempuan memang fitnah, ujian. Perempuan adalah ujian bagi laki-laki sekaligus sesuatu yang dicintai.
Untung saja Faruq masih menyisakan sedikit iman, barang kali. Kalau tak, mungkin namanya berada dalam daftar buronan polisi. ‘Dicari Buronon dengan nama lengkap Muhammad Faruq bin Mustofa Al-Maulidy sebagai tersangka pembunuh Bapak Saleman’. Mungkin lebih tepatnya Sulaiman, Nama mertua tiriku yang diplesetkan lidah ajam alias non Arab.
1 Juli 2010
Ide gilaku muncul, ... menteror calon petinggi. Eemm… tapi dengan apa ya…? Hanya senjata api biasa atau dinamit? Aku akan buat mereka rukun kembali karena terorku. Biar saja pasukan Detasemen Khusus 88 kelimpungan mencariku. Aku muak dengan berita di Koran hari ini. Pilbub tak jelas. Ujung-ujungnya hanya diberitakan bahwa pendukung keduanya bentrok. Seandainya salah satu diantara mereka terpilih, tidak menutup kemungkinan uang rakyat juga yang diembat untuk menutupi pengeluaran biaya kampanye. Rakyat juga yang repot. Faruq berulang kali mencegah… katanya kalau memang niatanku menteror mereka karena tak rela perjuangan Rosulullah mengantarkan kedamaian untuk kita sia-sia dan seenaknya mereka rusak, berarti Aku tak harus bertindak bodoh dengan menggembar-gemborkan jihad fi sabilillah. Faruq selalu berkelakar, bukankah banyak cara lain untuk berdakwah… cari yang lebih tak menggunakan kekerasan. Alah…ba…bi…bu yang tak jelas.  Atau memang Aku saja yang tak jelas. Pokoknya Aku tak rela Rosulullah dilupakan.
2 Juli 2010
Ha…ha…ha… Alhamdulillah, akhirnya Balqis hamil. Aku akan punya Arju Vi Jaysi kecil…
3 Juli 2010
Faruq bermimpi Aku  menikah lagi, Jika benar tafsiran mimpi menikah adalah sebaliknya atau bisa berarti K.E.M.A.T.I.A.N, lalu bagaimana nasib Balqis jika Aku mati, Apakah ada hubungan antara kematianku dengan rencana penteroran? Akankah Aku menghentikan ide gilaku untuk menteror calon petinggi? Tak apa Aku masih punya Arju Vi Jaysi kecil, penerusku, pelindung Balqisku. Aku harus punya komitmen dan tidak plin plan. Bagaimana kalau  Arju Vi Jaysi kecilku tahu kalau Ayahnya takut pada misteri maut? Itu tak boleh dibiarkan.
Tapi, Faruq mengataiku, berusaha sekuat tenaga agar Aku tak melakukan ide gilaku. Bahkan Dia berani membuang satu-satunya bubuk mesiu milikku. Dia bingung dengan ucapanku tentang densus, arsy dan daunnya. Aku yakin sebenarnya Dia tahu makna ucapanku hanya saja Dia ingin menyakinkan dirinya bahwa Aku sedang mengigau.
5 Juli 2010
Aku berangkat menuju MATI
***
7 Juli 2020
Lembaran catatan harian dengan sebuah nama ‘Arju Vi Jaysi alias Ar-Rozi’ di halaman depannya berlumuran darah. Truk, Mobil pick-up, phanter dan beberapa sepeda motor telah melindasnya. Lembarannya terkoyak. Ada sepasang mata kecil bercahaya tanpa berkedip memperhatikan lembaran yang sesekali tertiup angin itu. Yang terlihat jelas di lembar terakhir adalah kata mati dengan huruf yang semakin tak jelas karena sepertinya tinta yang digunakan telah habis.
Beberapa jam yang lalu memang terjadi kecelakaan lalu lintas. Sebuah tragedi tabrak lari, korbannya dilarikan ke Rumah Sakit terdekat. Sesuatu milik korban yang tertinggal adalah buku catatan harian berlumuran darah pemiliknya. Bocah kecil bersarung kumal dan berkaus putih mangkak yang sedari tadi memperhatikan buku itu memungutnya. Jantungnya berdegup sangat kencang. Matanya awas memperhatikan sekeliling, kemudian mendekapnya erat, mungkin Dia takut ada orang lain atau polisi ingin merebut buku itu darinya. Perlahan Dia masuk Gang dan merapat ke gang kecil di antara dua warung kopi. Siaran Telivisi di warung, berlomba  memberitakan kejadian beberapa jam yang lalu di sekitar jalanan itu.
“Sebuah kecelakaan lalu lintas kembali terjadi di jalan Panglima Sudirman, Kecamatan Tambak Rejo Kota Kapur. Korban tabrak lari itu adalah seorang laki-laki tua yang belakangan sedang dicari-cari oleh polisi dan pihak Rumah Sakit Jiwa Permata kapur lantaran tindakan membahayakan yang dilakukannya. Setelah sepuluh tahun yang lalu Dia membuat keributan di kediaman Bupati terpilih kota Kapur, sebulan yang lalu, Dia telah mencuri senjata api bermerek Colt M-14 Stayer milik Komandan Sucipto.
Korban yang bernama lengkap Arju Vi Jaysi ini dilarikan ke Rumah Sakit Harapan Rakyat dalam keadaan tak sadarkan diri. Senjata bermerek Colt M-14 Stayer milik Komandan Sucipto yang ditemukan oleh polisi lalu lintas langsung diamankan ke kantor Kepolisian pusat di Kabupaten. Menurut keterangan dokter yang menanganinya, Dia mungkin akan mengalami KOMA[7] untuk beberapa waktu yang cukup lama karena ada benturan hebat di otaknya….”  Keterangan panjang lebar yang di sampaikan oleh Presenter salah satu stasiun TV itu membuat Bocah kecil semakin menggenggam erat buku berlumuran darah di tangannya. Air matanya perlahan jatuh.
“Vijay…! Arju Vi Jaysi…! Dimana Kau Nak…!” Perempuan Tua terdengar serak memanggil sebuah nama.
Bocah itu terperangah karena merasa namanya di panggil.
“Rupanya Kau disini sayang! Bunda cari Kamu kemana-mana tadi.” Tangan kecilnya cekatan menggulung buku catatan harian berlumuran darah dan memasukkannya ke dalam lipatan sarung kumalnya.
    
Selesai di Suci, Manyar Gresik
Ahad, 20 Pebruari 2011 M/ 17  Rabi’ul Awal 1432 H
10 : 25 WIB













[1] Sejarah hidup
[2] Hawa Nafsu
[3] Berlomba paling istimewa
[4] Koran berisi gosip.
[5] Berpendirian teguh
[6] Sendika dawuh, memperhatikan kemudian taat melaksanakan apa yang diperintahkan.
[7] Antara hidup dan mati

Tidak ada komentar: