“Kepada…! Sang Saka Merah Putih…! Hormaaaaaaat…! Grak!”
Suara lantang Sang pemimpin upacara HUT RI ke-35 menggema ke sudut-sudut lapangan Tugu Pahlawan yang sangat kokoh menjulang ke langit biru. Seakan-akan menantang awan dan burung-burung gereja yang tengah bermain riang di angkasa ciptaan Sang Khaliq.
Suara lantang Sang pemimpin upacara HUT RI ke-35 menggema ke sudut-sudut lapangan Tugu Pahlawan yang sangat kokoh menjulang ke langit biru. Seakan-akan menantang awan dan burung-burung gereja yang tengah bermain riang di angkasa ciptaan Sang Khaliq.
Alunan suara regu koor mengikuti kelincahan tangan sang drijen
yang membawakan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Aku yang tengah berdiri sebagai
komandan peleton bersama komandan peleton lain dan peserta upacara serentak
mengangkat tangan kananku ke pelipis. Sebagai tanda penghormatan seorang tunas
bangsa pada bendera kebangsaannya.
Hatiku terenyuh, batinku benar-benar meresapi bait demi bait lagu
kebangsaan Indonesia Raya. Naluriku memaksa otakku untuk membuka kembali kotak
memori masa lalu yang sudah kukunci rapat-rapat.
.....
Di sana, saat matahari sepenggalah tergambar jelas dalam monitor
ingatanku sosok Abi yang tengah melantunkan surat Asy-Syamsi dalam
kekhusukan sholatnya. Kulihat Ummi sedang membaca ayat demi ayat dari surat Al-Waqi’ah.
Saat itu, Abthol kecil, ya Abthol adalah namaku, nama seorang
putra tunggal ustadz yang tengah bergerilya melawan tentara Belanda dengan
misinya menaklukkan Madura, pulau dimana seorang Abthol dilahirkan. Abi
memberiku nama Abthol agar kelak jika aku dewasa, aku akan menjadi pahlawan
bagi agama, nusa, dan bangsa.
Sayangnya, petaka itu datang begitu saja, bak air pasang menerjang
daratan. Peristiwa yang merusak semua kedamaian mataku. ‘Duar..!’ ledakan bom
rakitan menghancurkan rumah kayuku. Beberapa pasukan Belanda sudah mengepung
rumah kami dari berbagai arah. Ummi menghentikan bacaan Al-Waqi’ah pada
ayat 40, kemudian lari memelukku. Sedangkan Abi tetap melanjutkan salam
terakhir dalam sholatnya.
Tembakan beruntun mengalir begitu saja. Aku mendengar jelas teriakan Ummi melafadzkan
takbir sembari mendekap erat diriku. Buliran air mata menetes membasahi pipi.
Peluru timah bertengger di punggung Ummi. Seketika itu Ummi tergolek tak
berdaya. Senyum ejekan musuh mengembang.
Abi bangkit dari duduk tawaruk[1],
berlari mendekap Ummi dan menutup mata beliau. Aku hanya terdiam dalam kebisuan
dan linangan air mata. Abi mengecup keningku dan keluar dari surau.
“Ha…ha…ha… Ustadz brengsek! Kita orang sudah kasih tahu yei-yei
if kita tidak main-main with you all!” Teriak komandan pasukan
berkumis lebat berwarna pirang dengan aksen Belandanya.
“Apa kalian berfikir Aku akan menyerahkan tanah airku pada
penjajah seperti kalian.”
“You sombong sekali, memangnya You punya apa untuk
melawan kita. Pasukan You sudah I bantai. And rumah you
rata dengan tanah. Istri you juga sudah mati.”
“Saya masih punya Allah.”
“Jangan banyak omong. Pasukan… serang dia …!”
‘’Dor…dor…dor…!”
Abi tumbang dan jatuh ke tanah. Darah segar mengalir deras. Tidak
henti-hentinya Abi menyebut nama Allah. Amarahku meluap-luap. Jika saja aku
mampu, pasti akan kurobek jantung tentara-tentara asing biadab itu.
Kupejamkan mata ini, mencoba melupakan semua kenangan pahit
tentang diriku dan masalaluku. Rentetan peristiwa itu yang telah menuntunku
untuk mengabdikan diri pada negara. Sekarang aku dipercaya menjadi pimpinan
pasukan Densus 88[2] di
Surabaya.
Seandainya saat itu, pamanku tidak datang menolong, Aku akan
memutuskan ikut Abi dan Ummi ke syurga. Tiba-tiba monitor masalaluku terputus
ketika ‘dor! dor!’ Kurasakan panasnya peluru timah bersarang di perut kiriku.
Perih sekali. Suasana upacara bendera menjadi kacau. Tangan kananku lunglai.
Aku roboh. Dentuman senapan kembali kudengar dan mampu memutus tali bendera
merah putih yang sedang berkibar. Bendera terbang ke udara dan jatuh tepat di
atas tubuhku yang bersimbah darah.
Sekilas terbesit wajah Ummi dan Abi di kerajaan langit. “Maafkan
Abthol, Abi, Ummi. Perjuangan Abthol mengemban pesan kalian cukup sampai di
sini saja. Berakhir dengan mengalirnya darah ananda. Tapi, ananda yakin, masih
banyak Abthol-Abthol muda yang akan meneruskan perjuangan ananda kelak.”
Kemudian pelupuk mataku berat, rohku berontak keluar, aku tak sadarkan diri
dalam dzikir.
.....
Dua mataku sedikit terbuka, aku melihat ke sekeliling. Hanya
langit-langit ruangan bercat putih yang terlihat. Apakah ini syurga itu tapi
jika ini syurga, mengapa Aku masih bisa merasakan perihnya timah panas di
perutku. Banyak pertanyaan di hatiku.
“Abthol nak… Alhamdulillah kamu sudah siuman.” Aku
hanya bisa menatapnya nanar. Mencoba membuka mulut ‘’Bi…bi…” “Ya Nak, aku bibi
Aisyah. Bagaimana, apa rasa sakitnya sudah berkurang?” Tanyanya mengelus
kepalaku.
Aku mengangguk. Kulihat sosok Ummi membayangi bibi Aisyah. bibi
Aisyah adalah adik Ummi. Aku menahan tangis saat mengingat pesan Abi dan Ummi
sehari sebelum peristiwa naas menimpa keluarganya.
“Abthol jika Abi dan Ummi sudah tidak ada, Kami titip agama, nusa
dan bangsa ya Nak.” Aku hanya bisa mengangguk polos. Dan baru mengerti pesan
rahasia itu ketika menginjak remaja. Lamunanku tiba-tiba dibuyarkan oleh suara
lantang paman Sobri, seorang pensiunan Letjen TNI angkatan darat yang sangat
dengan bapak Walikota Surabaya.
“Abthol, nih kamu dapat
karangan bunga dari Walikota. Setelah sembuh, kamu akan dikirim ke
Jakarta Pusat. Bapak Presiden memanggilmu. Tapi kali ini bukan untuk bertugas,
melainkan untuk menerima penghargaan sebagai Tentara Terbaik di Indonesia.
Ketua Badan Kepolisian Internasional juga memujimu dalam tugas yang Kau
selesaikan kemarin. Yang menyerangmu kemarin masih komplotan penjahat yang kau
tangani. Tapi, Kau tenang saja. Mereka sudah dipastikan tidak ada yang lolos.”
Aku tersenyum mengingat peristiwa sebulan yang lalu. Aku
ditugaskan memata-matai aktifitas mafia berkedok keluarga keraton sekaligus
meringkusnya. Ternyata dia seorang raja judi sekaligus bandar napza paling
berbahaya yang dikenal Badan Kepolisian Internasional. Menangkapnya bukan hanya
sulit bahkan hampir tidak mungkin. Tapi berkat keyakinan bahwa Allah bersama
tentaraNya akan membantuku, Aku tak pernah gentar.
Dalam peristiwa penangkapan ini aku mengalami kejadian yang
membuatku semakin yakin bahwa Allahlah pelindungku. Aku selamat dari tembakan
peluru ke arah dada lantaran terhalang oleh kitab suci Al-Qur’an yang selalu
kubawa dan kuletakkan di saku dada. Peluru itu hanya bisa merobek bajuku bukan
jantungku. Keajaiban ini yang membuatku menang melawan komplotan mafia. Seluruh
tubuhku tidak mengeluarkan darah bahkan meski setetes. Kalaupun banyak noda
darah. Itu adalah darah musuh-musuhku.
Tekat dan kepercayaan diriku terus kubangun demi pesan rahasia
yang diamanahkan oleh orangtuaku. Jika Sultan Hasanuddin mendapat gelar Ayam Jantan
dari Timur dan Sayyidina Hamzah dan Sayyidina Umar di kenal sebagai Singa
Padang Pasir aku harus dikenal sebagai Harimau Jantan Pulau Garam.
2000 direvisi 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar