Senin, 19 Januari 2015

ABTHOL DAN PESAN RAHASIA



“Kepada…! Sang Saka Merah Putih…! Hormaaaaaaat…! Grak!” 
Suara lantang Sang pemimpin upacara HUT RI ke-35 menggema ke sudut-sudut lapangan Tugu Pahlawan yang sangat kokoh menjulang ke langit biru. Seakan-akan menantang awan dan burung-burung gereja yang tengah bermain riang di angkasa ciptaan Sang Khaliq.
Alunan suara regu koor mengikuti kelincahan tangan sang drijen yang membawakan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Aku yang tengah berdiri sebagai komandan peleton bersama komandan peleton lain dan peserta upacara serentak mengangkat tangan kananku ke pelipis. Sebagai tanda penghormatan seorang tunas bangsa pada bendera kebangsaannya.
Hatiku terenyuh, batinku benar-benar meresapi bait demi bait lagu kebangsaan Indonesia Raya. Naluriku memaksa otakku untuk membuka kembali kotak memori masa lalu yang sudah kukunci rapat-rapat.
.....
      Di sana, saat matahari sepenggalah tergambar jelas dalam monitor ingatanku sosok Abi yang tengah melantunkan surat Asy-Syamsi dalam kekhusukan sholatnya. Kulihat Ummi sedang membaca ayat demi ayat dari surat Al-Waqi’ah.
Saat itu, Abthol kecil, ya Abthol adalah namaku, nama seorang putra tunggal ustadz yang tengah bergerilya melawan tentara Belanda dengan misinya menaklukkan Madura, pulau dimana seorang Abthol dilahirkan. Abi memberiku nama Abthol agar kelak jika aku dewasa, aku akan menjadi pahlawan bagi agama, nusa, dan bangsa.
Sayangnya, petaka itu datang begitu saja, bak air pasang menerjang daratan. Peristiwa yang merusak semua kedamaian mataku. ‘Duar..!’ ledakan bom rakitan menghancurkan rumah kayuku. Beberapa pasukan Belanda sudah mengepung rumah kami dari berbagai arah. Ummi menghentikan bacaan Al-Waqi’ah pada ayat 40, kemudian lari memelukku. Sedangkan Abi tetap melanjutkan salam terakhir dalam sholatnya.
Tembakan beruntun mengalir begitu saja.  Aku mendengar jelas teriakan Ummi melafadzkan takbir sembari mendekap erat diriku. Buliran air mata menetes membasahi pipi. Peluru timah bertengger di punggung Ummi. Seketika itu Ummi tergolek tak berdaya. Senyum ejekan musuh mengembang.
Abi bangkit dari duduk tawaruk[1], berlari mendekap Ummi dan menutup mata beliau. Aku hanya terdiam dalam kebisuan dan linangan air mata. Abi mengecup keningku dan keluar dari surau.
“Ha…ha…ha… Ustadz brengsek! Kita orang sudah kasih tahu yei-yei if kita tidak main-main with you all!” Teriak komandan pasukan berkumis lebat berwarna pirang dengan aksen Belandanya.
“Apa kalian berfikir Aku akan menyerahkan tanah airku pada penjajah seperti kalian.”
You sombong sekali, memangnya You punya apa untuk melawan kita. Pasukan You sudah I bantai. And rumah you rata dengan tanah. Istri you juga sudah mati.”
“Saya masih punya Allah.”
“Jangan banyak omong. Pasukan… serang dia …!”
‘’Dor…dor…dor…!”
Abi tumbang dan jatuh ke tanah. Darah segar mengalir deras. Tidak henti-hentinya Abi menyebut nama Allah. Amarahku meluap-luap. Jika saja aku mampu, pasti akan kurobek jantung tentara-tentara asing biadab itu.
Kupejamkan mata ini, mencoba melupakan semua kenangan pahit tentang diriku dan masalaluku. Rentetan peristiwa itu yang telah menuntunku untuk mengabdikan diri pada negara. Sekarang aku dipercaya menjadi pimpinan pasukan Densus 88[2] di Surabaya.
Seandainya saat itu, pamanku tidak datang menolong, Aku akan memutuskan ikut Abi dan Ummi ke syurga. Tiba-tiba monitor masalaluku terputus ketika ‘dor! dor!’ Kurasakan panasnya peluru timah bersarang di perut kiriku. Perih sekali. Suasana upacara bendera menjadi kacau. Tangan kananku lunglai. Aku roboh. Dentuman senapan kembali kudengar dan mampu memutus tali bendera merah putih yang sedang berkibar. Bendera terbang ke udara dan jatuh tepat di atas tubuhku yang bersimbah darah.
Sekilas terbesit wajah Ummi dan Abi di kerajaan langit. “Maafkan Abthol, Abi, Ummi. Perjuangan Abthol mengemban pesan kalian cukup sampai di sini saja. Berakhir dengan mengalirnya darah ananda. Tapi, ananda yakin, masih banyak Abthol-Abthol muda yang akan meneruskan perjuangan ananda kelak.” Kemudian pelupuk mataku berat, rohku berontak keluar, aku tak sadarkan diri dalam dzikir.
          .....
Dua mataku sedikit terbuka, aku melihat ke sekeliling. Hanya langit-langit ruangan bercat putih yang terlihat. Apakah ini syurga itu tapi jika ini syurga, mengapa Aku masih bisa merasakan perihnya timah panas di perutku. Banyak pertanyaan di hatiku.
“Abthol nak… Alhamdulillah kamu sudah siuman. Aku hanya bisa menatapnya nanar. Mencoba membuka mulut ‘’Bi…bi…” “Ya Nak, aku bibi Aisyah. Bagaimana, apa rasa sakitnya sudah berkurang?” Tanyanya mengelus kepalaku.
Aku mengangguk. Kulihat sosok Ummi membayangi bibi Aisyah. bibi Aisyah adalah adik Ummi. Aku menahan tangis saat mengingat pesan Abi dan Ummi sehari sebelum peristiwa naas menimpa keluarganya.
“Abthol jika Abi dan Ummi sudah tidak ada, Kami titip agama, nusa dan bangsa ya Nak.” Aku hanya bisa mengangguk polos. Dan baru mengerti pesan rahasia itu ketika menginjak remaja. Lamunanku tiba-tiba dibuyarkan oleh suara lantang paman Sobri, seorang pensiunan Letjen TNI angkatan darat yang sangat dengan bapak Walikota Surabaya.
“Abthol, nih kamu dapat  karangan bunga dari Walikota. Setelah sembuh, kamu akan dikirim ke Jakarta Pusat. Bapak Presiden memanggilmu. Tapi kali ini bukan untuk bertugas, melainkan untuk menerima penghargaan sebagai Tentara Terbaik di Indonesia. Ketua Badan Kepolisian Internasional juga memujimu dalam tugas yang Kau selesaikan kemarin. Yang menyerangmu kemarin masih komplotan penjahat yang kau tangani. Tapi, Kau tenang saja. Mereka sudah dipastikan tidak ada yang lolos.”
Aku tersenyum mengingat peristiwa sebulan yang lalu. Aku ditugaskan memata-matai aktifitas mafia berkedok keluarga keraton sekaligus meringkusnya. Ternyata dia seorang raja judi sekaligus bandar napza paling berbahaya yang dikenal Badan Kepolisian Internasional. Menangkapnya bukan hanya sulit bahkan hampir tidak mungkin. Tapi berkat keyakinan bahwa Allah bersama tentaraNya akan membantuku, Aku tak pernah gentar.
Dalam peristiwa penangkapan ini aku mengalami kejadian yang membuatku semakin yakin bahwa Allahlah pelindungku. Aku selamat dari tembakan peluru ke arah dada lantaran terhalang oleh kitab suci Al-Qur’an yang selalu kubawa dan kuletakkan di saku dada. Peluru itu hanya bisa merobek bajuku bukan jantungku. Keajaiban ini yang membuatku menang melawan komplotan mafia. Seluruh tubuhku tidak mengeluarkan darah bahkan meski setetes. Kalaupun banyak noda darah. Itu adalah darah musuh-musuhku.
Tekat dan kepercayaan diriku terus kubangun demi pesan rahasia yang diamanahkan oleh orangtuaku. Jika Sultan Hasanuddin mendapat gelar Ayam Jantan dari Timur dan Sayyidina Hamzah dan Sayyidina Umar di kenal sebagai Singa Padang Pasir aku harus dikenal sebagai Harimau Jantan Pulau Garam.

2000 direvisi 2014
























[1] Duduk tahiyyat akhir
[2] Detasemen Khusus 

Tidak ada komentar: