Senin, 19 Januari 2015

KUPELUK KAU AL


Di sebuah ruangan di atas gedung megah bercat kuning hijau setinggi 7 kaki, lantai dua pojok komplek Al- Maliky.
“Doel, penggemar Al mengirim pesan protes lagi.” Melempar kertas lusuh dengan tulisan semrawut ke meja Abdoel. Abdoel melirik kertas itu, kemudian acuh. Tulisan tanpa judul, dengan kalimat ‘Hi... Al, apa kabar?’ sebagai intro.
“Di ponselku juga banyak sekali sms, menanyakan kabar Al...” Alvin menyela, melirik Arif yang tiba-tiba duduk di sebelahnya menunggu tanggapan Abdoel.
“Ah, itu sudah biasa, jawab saja dengan beberapa alasan. Beres...!”
“Hei Bung, sampai kapan kita akan terus beralasan? Apa sampai kau beruban?”
“Aku memang sudah beruban memikirkan Al dan penggemarnya itu.Sudah tiga tahun aku mengasuhnya.”

        “Kau bosan mengasuh Al?” Arif berkelakar.
“Bukan begitu. Kau tak paham bahasa kias rupanya. Aku berkata begitu berarti Al tak pernah luput dari pikiranku. Aku mencintainya.” Sahut Abdoel tenang.
“Kau seperti menuduh kami tak mencintai Al.”Alvin angkat bicara.
“Bukan aku yang bilang begitu, kan?” Abdoel tersenyum sembarifokus menggerakkan jari-jarinya di atas keyboard. Dia menuliskan, rundown acara DIES NATALIS.
“Ayolah, Doel. Mereka berteriak minta Al hadir ke tengah mereka bulan ini.”
“Iya, Rif aku tahu... aku dengar...! Mana surat itu, aku akan pikirkan sebuah alasan. Oh... salah aku ralat, sebuah respon!”
“Apa bedanya respon dan alasan kalau isinya juga alasan kenapa Al selalu terlambat muncul.”
“Kau seperti tak tahu saja Rif, pengasuh – pengasuh Al punya kesibukan beragam. Hidup mereka bukan hanya untuk tua merawat Al. Ya meski aku, kalian dan mereka mengaku mencintai Al, Aku yakin semua dari mereka mendua. Al bukan satu – satunya...”
“Sssstttt... jangan keras – keras, nanti Al dengar, dia bisa menangis jika tahu pengasuh pengasuhnya selalu berdebat memperebutkan pepesan kosong.” Alvin menyela serius.
“Bagaimana bisa dia menangis, sejak lahir dia bisu, tuli, pincang, atau mungkin... idiot.” Sergah Arif mencibir.
“Kau menghina Al di depanku, ayahnya yang sejak tiga tahun merawatnya? Al memang bisu, dan selamanya bisu jika pengasuhnya tidak memberinya bibir untuk berbicara soal paradigma. Al, memang tuli dan selamanya akan tuli, kalau pengasuhnya sama sekali tak peka pada hal – hal kecil. Al memang pincang dan selamanya akan pincang kalau pengasuhnya tidak pernah berusaha melaksanakan tugas sesuai dateline. Tapi kalau katamu Al idiot berarti kau juga idiot... Kau kan salah satu pengasuhnya? ” Abdoel berdiri mengeraskan suara memelototkan mata.
         “Tapi kan kau ayahnya.”
“Bukan aku yang melahirkannya. Aku hanya merawatnya selama tiga tahun.”
“Tenang Doel,” Alvin memegang tangan Abdoel berusaha menenangkan.
“Hemghf... tiga tahun... tiga tahun... kau selalu ungkit-ungkit tiga tahun...!”Arif terus memancing amarah Abdoel.
“Kau...!” Abdoel bernafas berat.
“Sudah... sudah...! Gak etis orang berpendidikan adu mulut seperti ini. Kita bicarakan baik – baik bagaimana pemecahannya.” Alvin kembali menengahi
Tut...tut...tut...
“Assalamualaikum... Mal, ada apa?”
“Waalaikumsalam...Doel, Kami gagal menemui Mentri BUMN. Motor kami mengalami kecelakaan, Aku sih cuma lecet di lengan kiri, tapi luka di tangan, kaki dan kepala sebelah kiri Hudan sepertinya serius. Sekarang dia sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit terdekat. Posisi kami sekarang ... emm... Depok... ya di Depok. Hallo...! Doel, Kau mendengarku?”
“I...i... ya Mal aku mendengarmu... Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Hudan belum siuman.”
“Lantas, apa kau berurusan dengan polisi?”
“Alhamdulillah, berkat Al, mereka tak mengusutku.”
“Maksudmu?”
“Iya... Aku tunjukkan identitasku sebagai pengasuh Al. Mereka mundur, sebagian dari mereka tak mau ikut campur. Lagian Aku tak bersalah. Aku diserempet mobil dengan plat nomer berwarna merah.”
“Gila...! yang membuat kalian celaka adalah seorang pejabat? Kenapa tak kau tuntut dia.”
“Yang ada dipikiranku saat itu hanya menyelamatkan Hudan, Doel. Lagi pula mana bisa menuntut, kalau pelakunya kabur.”
“Jadi kalian korban tabrak lari yang pelakunya adalah wakil rakyat? Lalu polisi – polisi itu hanya diam? Ternyata negara kita benar – benar diambang kehancuran. Ok... Mal...! masalah mentri BUMN, tak usah kau fikirkan, yang penting sekarang kalian harus pulang ke Gresik dalam keadaan tak kurang suatu apapun.”
“Tapi... Bagaimana dengan Al? Penggemarnya berulangkali mengirim sms padaku, menanyakan kabar Al, dan kapan Al akan kembali muncul menemui mereka.”
“Sudahlah...! persoalan Al, aku dan pengasuh-pengasuhnya yang lain yang akan urus! Biaya perawatan Hudan, Aku transfer ke rekeningmu.”
“Doel, terimakasih...!”
“Kau dan Hudan bekerja untuk Al dan Aku ayah Al harus bertanggungjawab atas keselamatan dan kesejahteraan hidup orang-orang yang memperjuangkan Al. O... ya motor kamu, nggak rusak kan?”
“Alhmadulillah, hanya retak di bagian kaca spion kiri. O... Iya...Sus... terimakasih...! Doel, Aku dipanggil dokter ke ruangannya. Assalamualaikum...!”
“Waalaikumsalam! Tut.”
“Siapa Doel?”
“Akmal dan Hudan mengalami masalah, mereka kecelakaan, sekarang mereka ada di rumah sakit Depok.”
“Berarti, mentri BUMNnya?” Arif kembali menyela.
“Heemhhff... All iz Well... kita ganti yang lain saja.”
“Doel... Aku minta maaf...!” Arif menatap Abdoel.
“Aku juga minta maaf. Lupakan soal tadi. Toh Aku juga bersalah. Seandainya Aku bisa santai tanpa menomersatukan emosi, mungkin kita tak akan bersitegang. Aku juga tahu kalau Kau berbuat itu karena Kau juga peduli pada Al.” Abdoel menepuk pundak Arif, kemudian kembali berujar.
“Sekarang tugas kita adalah fokus mengasuh Al. Masalah penggemar – penggemar Al itu kita bahas kembali di rapat pengasuh nanti malam. Vin..., nanti malam kita rapat, kau kabari pengasuh – pengasuh Al yang lain, katakan juga mereka harus hadir tepat waktu. Banyak yang harus kita bicarakan. Hubungi juga pengasuh – pengasuh Al di asrama putri. Instruksikan mereka untuk mengadakan rapat membahas kesiapan mereka menyambut kemunculan Al bulan depan. Kabari juga kendala – kendala yang ada di sini. Mungkin mereka bisa memberi solusi.”
“Kak Abdoel juga diundang kan...?”
“Ya... ajak dia juga... !”
“He’em...!” Alvin mengangguk tersenyum.
***
Di sebuah ruang kelas lantai dua dengan lampu bercahaya remang.
“Kenapa lampunya?” Shofi bertanya menyelidik
“Rusak barangkali...” Farda menjawab sekenanya.
“Kotor sekali...! Salah satu dari kalian tak ada yang mau bersihkan ruangan ini sebelum semuanya datang? Kalian menungguku? Katanya beriman, menjaga kebersihan aja tidak bisa.”Shofi menggerutu sendiri.
“Gak ada ruangan lain apa Shof? Di tempat biasanya aja kan enak. Kalau di sini kan capek naek turunnya.”
“Di pakai rapat pengurus asrama pusat.”
“O... ya Kak Indah dan Kak May izin...!”
“Kenapa memangnya Far?”
“Mereka harus nyelesain proposal skripsinya yang tertunda gara – gara mempersiapkan kemunculan Al bulan yang lalu.”
“Kalau Rizky?”
“Lagi galau, besok dia harus ikut tes beasiswa.”
“Maksudmu, dia mau meninggalkan Al?”
“Entahlah...! Justru itu, Aku bilang dia galau.”
“Yang lain pada kemana?”
“Perjalanan mungkin...! Atau masih izin untuk keluar asrama.”
Setengah jam kemudian.
“Kemana Salma? Jam segini belum datang? Gimana urusan Al bisa kelar kalau tiap rapat tak ada yang patuh dateline.” Shofi akhirnya angkat bicara, tak sabar menunggu.
“Katanya dia lapar.” Marsya menjawab tanpa melihat Shofi, tangannya masih lekat memegang pensil menggambar sketsa wajah baru sebagai penyempurna komicnya.
“Lapar? perut saja yang dia fikirkan!”
“La kau Shof, selalu mengajak kita rapat tanpa memberi logistik. Kita bukan malaikat yang betah memegang sangkakala selama beratus – ratus tahun tanpa makan dan minum. Han, kau kan pemegang kas, sekali – sekali nasi bebek dan es oyen gitu.” Marsya melirik Youhana dengan tatapan meledek.
“Uang kas terjaga aman... Aku tak pernah memakannya sepeserpun. Hanya saja uang kas kita menipis. Untuk biaya Al saja masih kurang.” Youhana menyahut tersinggung.
“Aku sama sekali tak menuduhmu korupsi Han. Aku cuma... “
“Sssssttttt... apa kalian bawa Al?”Shofi memotong pembicaraan.
“Ya, aku bawa dia. Kenapa?” Sahut Farda
“Jangan – jangan... dia dengar pembicaraan Kita.”
“Justru, aku ingin Al dengar semua masalah yang dialami pengasuh – pengasuhnya. Gara – gara Al, Hudan kecelakaan, gara – gara Al, Akmal hampir saja berurusan dengan polisi. Gara – gara Al, Rizky bimbang, harus memilih tetap mengurus Al atau ambil beasiswanya. Gara – gara Al, Kak Indah dan Kak May menunda penelitiannya, gara – gara Al, Hira selalu mendapat prasangka buruk darimu, gara – gara Al, Alvin harus begadang tiap malam, merancang style dan model – model wajah baru untuk Al. Gara – gara Al, Youhana selalu merasa bersalah karena tak bisa memberi kita makan. Gara – gara Al, Arif selalu bersitegang dengan Abdoel... Dan... karena Al, ha...ha...ha... Abdoel beruban.” Reysha berkelakar.
“Huss...! Kalau Abdoel tahu, kau bisa dipecat jadi pengasuh Al.” Marsya mengingatkan.
“Mudah – mudahan Abdoel tak mendengar, walau dengan honor sedikit aku masih mencintai Al. Aku banyak belajar dari Al. Aku tak mau jauh dari Al.”
“Aku tahu kenapa kebanyakan pengasuh – pengasuh Al yang lama meninggalkan Al... selain berprinsip lillahi ta’ala. Al tak cukup cantik untuk dijual mahal. Pantas saja mereka kebanyakan memilih berselingkuh di belakang Al. Memilih mengejar impiannya kuliah di luar negri misalnya.” Farda berujar polos.
“Sepertinya kata – katamu perlu diedit Far.”  Shofi terpancing.
“Bukan Aku yang bilang begitu... tapi, surat – surat ini.” Farda menunjukkan kertas – kertas.
“Menurutku, nggak juga tuh...! Mereka meninggalkan Al karena Al butuh orang – orang baru. Generasi baru.”
“Iya sih, tapi, penggemar Al kurang begitu suka dengan gaya dan style Al yang sekarang... tadi pagi saja, aku lihat wajah Al dijadikan pembersih kotoran kucing di asrama... Ah, sungguh tak menghargai jerih payah kita sebagai pengasuh Al” Farda meletakkan tangan kanannya di jidad.
“Lantas, kurang apa lagi kita merawat dan membesarkan Al. Dulu sewaktu baru lahir ada yang protes, badan Al terlalu tinggi dan kurus seperti kutilang darat, penggemarnya meminta Al menjadi kecil dan gemuk. Sekarang sudah kecil dan gemuk penggemarnya minta Al kembali seperti dulu. Repot. Mereka ingin Al feminim, cantik, seksi? Hallo... Al bukan gadis, perempuan, cewek atau wanita... mereka ingin Al berwibawa, tampan, cool Toh Al juga bukan perjaka, atau lelaki perkasa... jika mereka ingin Al kemana – mana menyanyikan lagu bintang kecil, membawa boneka, memakan permen lolipop... secara gitu... Al bukan anak – anak. Apa mereka ingin Al berwajah bugil – bugil gila ... apa kata dunia? Bukankah alasan Al lahir adalah membangun pola pikir kreatif, progresif dan transformatif berdasarkan tuntunan 9 bintang perlambang empat imam, empat sahabat, satu Rosul dan 9 wali... kalau melenceng dari asas tersebut, yang malu bukan hanya Al tapi pengasuhnya juga kan? Lagipula seharusnya Al yang mempengaruhi pola pikir mereka. Bukan mereka yang merubah Al menjadi apa yang mereka inginkan...!” Ujar Marsya menggebu – gebu.
“Ya Aku setuju dengan Marsya. Al terlahir untuk mengubah pola pikir, bukan dirubah pola pikirnya.” Farda menambahkan.
“Tapi, Aku rasa penggemar Al punya maksud yang berbeda.” Evy berujar lirih
“Maksud yang mana lagi, Vy?”
“Kau seperti tak tahu saja bagaimana waktu merubah pola pikir manusia, mereka ingin Al bebas dikritik, srawungan dengan siapapun, berapapun usia mereka apapun jenis kelamin mereka, laki – laki atau perempuan... normal atau abnormal... Mereka ingin Al bisa dinikmati oleh siapapun.”
“Al harus sesempurna itu? Memangnya mereka pikir Al dan pengasuhnya ini, Tuhan yang bisa menciptakan perbedaan yang segalanya luar biasa.”Shofi terperangah.
“Kau benar Shof, seenaknya saja mereka memberi titah seperti itu. Mengatur Al seenak pusarnya. Apa mereka juga tidak sadar dengan perbuatan mereka yang sangat memalukan. Kalian lihat ini kan, bukankah ini surat – surat dari mereka. Mereka mengaku penggemar Al, namanya penggemar harus memberikan yang terbaik, bukan? Lah, mereka menuliskan surat untuk Al di atas sobekan kertas yang lusuh, seperti habis dipungut dari tong sampah. Tulisannya juga kayak ceker ayam. Ini namanya penghinaan untuk Al. Mereka mengaku menggemari Al, meminta Al untuk menjadi bagian dari koleksinya, meminta Al menemui tamu terhormat dan tajir tapi, ketika Al meminta satu ruangan saja untuk dijadikan tempat tinggal, mereka menolak dengan alasan inilah... itulah... padahal kita sudah dapat izin untuk mendapatkan ruangan itu. Apa mereka serius mengaku mencintai Al kalau tega membiarkan Al tidur berdesakan dengan kostum – kostum pentas, lampu – lampu teater, kertas – kertas dekorasi, lem, gunting, hemmfff... kalau butuh bantuan Al, rayuan maut mereka, Waow... gak nguatin! Kalau giliran Al yang butuh bantuan... mana mereka peduli. Itu namanya habis manis sepah dibuang.”Reysya menambahkan.
“Kalau masalah tempat permanen untuk Al di asrama putri, kita juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan ketua asrama. Dia berlaku seperti itu dengan beberapa pertimbangan. Asrama kita sempit, sedangkan penghuninya meledak setiap tahunnya. Kurasa dia juga tak berniat jahat pada Al.”Shofi kembali berpendapat.
“Tak berniat jahat gimana, kalau setiap saat dia membiarkan Al dan pengasuh – pengasuhnya rapat di tempat mengenaskan dan menyeramkan seperti ini.”Anas yang sedari tadi terdiam mulai ikut terpancing.
“Untuk sukses, butuh perjuangan bukan? Kalau kita ingin Al terkenal, ya harus rela mengorbankan apapun, termasuk menjadi gelandangan. O... ya kalau bahas soal penggemar Al nih, Aku jadi geregetan juga.” Gigi Evy bergemeletuk.
“Kenapa dengan penggemar Al?” Anas bertanya.
“Coba bayangkan...! Gimana Al bisa istiqomah muncul kalau dukungan dari mereka hanya setengah – setengah, masa sampai sekarang gak ada surat yang berisi karya mereka? Semuanya berisi kritik ... kritik... dan kritik ...! Padahal Al hanya ingin mereka berkarya.”
“Sebenarnya banyak sih yang mengirimkan karyanya. Tapi, butuh editing yang serius.”
“Yang Aku sesalkan lagi, ketika karya mereka ditolak Al, mereka pasti berhenti mengirimkan karyanya.”
“Na’as...!”
“Kau memanggilku, Shof?”
“Na’as, bukan Anas...!” Sahut Marsya.
“Assalamua’alaikum...!”
“Waalaikumsalam...!”
“Nah, Loe, udah kenyang cin...! Rapat mau selesai loe baru datang...!” Anas menyindir Salma.
“Cucok Marcodot, nasi goreng kantin pokoknya cetar membahana badai...!” Ujar Salma acuh.
“Sialan loe...!” Ujar Farda melempar gelas aqua ke arah Salma tapi dihalangi oleh Marsya.
“Sudah – sudah sampai mana kita tadi?” Tanya Shofi.
“Cetar membahana...!” Evy berkelakar.
“Ya benar, penampilan Al bulan depan harus cetar membahana...!”
***
“Kenapa harus resah, kalau penggemar Al mengirim sms atau surat, itu tandanya mereka merespon dan peduli pada Al.” Kak Abdoel membuka pembicaraan.
“Ya bukan begitu Kak, kalau dalam menjawab surat mereka kita hanya bisa menarasikan beberapa alasan, mau sampai kapan kita beralasan?” Arif menyela.
“Ya, sudah ... sekarang berapa persen kesiapan kalian menampilkan Al bulan depan? Mulai dari kau Doel, Kau kan ayahnya.” Kak Abdoel menunjuk Abdoel.
“Editorial sudah, sajian utama proses editing, catatan akhir masih belum. Ntar malem, setelah rapat aku rampungkan.”
“Kalau aku sajian utama sudah, kolom juga sudah.” Sahut Sofyan menyusul.
“Kau Rif?” Tanya Kak Abdoel.”
“Konsultasi Agama dan Kesehatan tinggal diketik di komputer induk.”
“Suara mahasiswa dan forum pelajar masih kosong. Mahasiswa dan pelajar sekarang kering. Tak ada yang mau menuangkan aspirasinya dalam bentuk tulisan. Ribet katanya. Mereka lebih memilih koar – koar ketimbang bermain kata.” Tambah Aziz
“Kata siapa? Wong di kampuspun yang berani ngomong cuma itu – itu aja.”
“Kalau gitu aku punya usul, sebentar lagi kan Al ulang tahun. Gimana kalau diadakan sayembara menuliskan aspirasi di kolom suara mahasiswa dan forum pelajar. Pasti keren.”
“Setuju...! Kalau Kau Doel gimana?”
“Kalau Aku” Sahut Abdoel dan Kak Abdoel bersamaan.
“Ha...ha...ha... suruh siapa nama kalian sama.” Teriak Syaifullah tiba – tiba.
“Itu salah kalian, kenapa memanggilku dengan nama itu. Aku kan punya nama belakang yang lebih keren.” Sahut Abdoel sekenanya, disusul dengan senyum Kak Abdoel.
“Ulang tahun Al memang sudah ada di agenda rapat malam ini tapi, kita harus bahas persiapan Al bulan depan. Lagi pula soal Ultah Al kita tidak bisa putuskan sendiri. Kita harus adakan musyawarah akbar bersama pengasuh Al di asrama putri.”
“hehem... Kalau liputan khusus dan bilik pesantren yang sudah jadi tanggungjwabku sudah aku rampungkan.” Amiruddin menyela.
“Kalau kolom Bahasa, seorang Ahlisil Haq insya Allah tak akan melenceng dari dateline yang sudah ditentukan.”
“Untuk Resensi... Baru tadi sore aku baru saja hunting buku. Sorry, kemarin aku harus fokus lomba pekan araby di UNAIR. Besoklah paling lambat.” Sahut Fakri.
“Kalau Radar Pesantren... Aku kebingungan!” Sahut Zainal.
“Aku juga...!” Muafi’ menambahkan.
“Kenapa bingung?” Tanya Abdoel.
“Mau ngeliput ini sudah ada yang ngeliput... yang itu... juga sudah... yang kayak gitu juga sudah ada yang ngeliput.”
“Media manapun boleh saja meliput berita yang sama! Tapi isi dan sudut pandangnya bisa jadi berbeda, bukan? Tergantung penulisnya.” Ujar kak Abdoel tenang.
“Hehemmm... Baik, kami coba dulu.” Sahut Muafi’.
“Lalu... Akmal dan Hudan? Gimana kabarnya?” Tanya Kak Abdoel lagi.
“Alhamdulillah, sehabis shalat maghrib aku dapat kabar, Hudan sudah siuman. Untung luka di kepalanya tidak begitu serius. Ya, kalau tangan kirinya sih masih diperban.” Jawab Abdoel.
“Syukurlah...! Berarti Cantrik dan Tokohnya belum terisi?”
“Tepat...! malam ini kita juga harus bahas masalah itu.”
Tut... Tut... Tut...
“Ya... Assalamualaikum...!”
“Waalaikumsalam Kak, ini pengasuh Al di asrama putri. Insya Allah, semua tugas kami kirim ke putra besok pagi. Yang belum cuma komik dan ragam. Menyusullah...!” Suara lembut seseorang di seberang.
“Kamu kirim ke e-mailnya saja ya! alfikrahmbs@yahoo.com!”
“He’em...! O... ya untuk tokoh, kami mengusulkan Almarhumah Ibunda Nyai Hj. Ainiyah Yusuf. Beliau sosok inspiratif buat kaum hawa.”
“Bagus...! Kalau begitu sekalian antum tulisdan kirimkan bersamaan dengan komik dan ragam!”
“Ok...!”
“O... ya, keuangan di sana gimana?”
“He...he...he... Menipis!”
“Sabar dulu ya...!All is well”
“Dari dulu juga sudah sabar Kak!Ya sudah... Assalamualaikum...!”
“Waalaikumsalam”
“Putri sudah siap, filenya besok dikirim. Mereka mengusulkan Almarhumah Ibunda Nyai Hj. Ainiyah Yusuf, sebagai tokoh inspiratif kita kali ini.”
“Berarti tinggal kolom cantrik saja yang belum jelas.” Kak Abdoel menarik kesimpulan.
“Menyusul aja lah! Kita bahas acara ultah Al” Usul Fakri
“Acara puncaknya dikemas dengan acara diklat jurnalistik aplikatif!”
“Usulan bagus. Berarti sebelumnya kita gelar sayembara menulis kemudian puncaknya kita tutup dengan diklat jurnalistik aplikatif. Terus temanya apa?”
“Bagaimana kalau tentang manajemen redaksional dan bagaimana pemula menulis.” Syaifullah berteriak
“Setuju!” Semua bersemangat memeluk majalah kecil bertuliskan Al – Fikrah di cover depan.
Kak Abdoel bergumam dalam hati sembari terpejam memeluk Al – Fikrah,
“Seandainya setiap saat pengasuh – pengasuh Al selalu kompak, bersemangat dan tidak saling menyalahkan satu sama lain... ah, indahnya.”
***
Hudan terbaring dengan tangan kiri dibalut perban. Tangan kanannya mendekap sebuah majalah bercover unik bertuliskan Al – Fikrah. Matanya terpejam, entah apa dia tertidur atau memikirkan sesuatu. Di sebelahnya Akmal duduk serius dengan laptopnya menghadap meja pasien menuliskan question rote, target : Gubernur DKI Jakarta. Kemudian perlahan dia mengambil Al – Fikrah dari dekapan Hudan, melihatnya sembari tersenyum lalu memeluknya.
***
to<f@salju>
Asslamualaikum, mbak! Gmna kbrx?
<f@salju>
Waalaikumsalam Doel, Alhamd baek! Sorry... Edsi kli ni Q cuti dl, Q brsn mlhrkan!
to<f@salju>
All iz Well Mbak..! Alhmd...! Aq ikut snang.. lk ato pr?
<f@salju>
Lk. Lhrnya tpat 1 januari. Kyg pnlis fnomenal itu..!
to<f@salju>
Andrea Hirata?
<Akmal>
Doel, bsg Hudan kluar dr RS. Qta dpt tkoh cntrik br. Gbrnur DKI Jakarta. Spak trjngx memprbaiki tnggl Latuharrary d jkrta Pust bsa qta lput.
<f@salju>
Tepat...! Namax jga Andrea...! Q ingn dia jg sprt Andrea, jd penuls fnomnal.
to<Akmal>
tp jkrta psat kn d rndam bnjir?
<Akmal>
Ini tntngn. I like it. bs jd brita hbat, bkn?
to<f@salju>
Wah, Al – fikrah pxa gnersi donk...!
to<Akmal>
Hudan jg ikut?
<Akmal>
Dia mksa Doel. Dia gk mau plg klo liputn utk Alfikrah blm klar.
<f@salju>
Insya Allah
to<Akmal>
tp apa dia bsa?
<Akmal>
Ktax tngan knanx msh brfungsi. Seandaix tdk bsa pun, kakix bsa dgnkn utk mngtik.
to<Akmal>
trmksih! All iz Well.
Abdoel tersenyum membaca sms Mbak Fa dan Akmal,
“Al bisa terbit bulan ini, dan dia  tak akan kehilangan ayah.” Gumamnya memeluk majalah kecil bertuliskan Al – Fikrah di cover depan.
***
Sebulan kemudian.
“Aku lulus ujian proposal May...!”
“Alhamdulillah...! Aku juga, Siapa pengujimu?”
“Mr. Ismail.”
“Wah, Beliau benar – benar memperhatikan kaedah penulisan ilmiyah lo...!”
“Kau benar, tapi, alhamdulillah gara – gara terbiasa menulis di  Al- Fikrah, itu bukan masalah yang berarti.” Sahut Indah memeluk Al – Fikrah yang dari tadi dibawanya.
“Edisi baru?”
“He’em...!”
“Aku nggak kebagian?”
“Minta ke Shofi aja di kantor pusat!”
***
Rizky memberhentikan angkutan umum jurusan Surabaya Gresik berwarna hijau. Di belakangnya semua melambaikan tangan padanya. Ada Marsya, Anas, Shofi, Reysya, Farda, Evy, Kak Indah dan Kak May. Rizky masuk ke dalam angkot tersebut, tangan kanannya melambaikan tangan dan tangan kirinya memeluk Al – Fikrah. Tiba – tiba Salma datang, Dia berlari mengejar angkot yang ditumpangi Rizky. Semua tertawa, tapi dia tak perduli, dia berteriak,
“Ky... Dimanapun Kau, jangan lupakan kami dan Al ya...!”
Rizky melongokkan kepalanya keluar jendela,
“Pasti kawan...! Aku mencintai Al.”
***
Ya rayyis ana gay aho! (Hei Bung, Gua datang nih!)
“Subhanallah. Zamani...! Eeh elle gabak hina (Ya ampun, Zamani. Gimana ceritanya bisa datang kemari.
“Studyku di Kairo sudah selesai Is...!Izzayak(Pa kabar nih?)
“Khoir...! Wahesytani âwiy! (Aku udah kangen banget ma kamu)
“Aku juga... apalagi sama Indonesia... dan...”
“Al – Fikrah...!” Sahut Ismail dan Zamani bersamaan.
“Sejak jauh dari Al aku jarang menulis, Is...”                             
“Sama... Aku juga...! kalau curhatan sih masih...!”
“Ana jiî’ân âwiy. Indak to’âm ?(Aku lapar nih, ada makanan nggak?)
“Ayo masuk.”
***
Seorang laki – laki kecil berumur sekitar 13 tahun mengenakan jubah putih berjalan perlahan, menunduk, sambil mendekap erat sebuah buku. Sesekali dia mencium buku itu. Sesampainya dia di depan sebuah ruangan di atas gedung megah bercat kuning hijau setinggi 7 kaki, lantai dua pojok komplek Al- Maliky, dia berhenti, menatap sejenak sambil tersenyum. Terbata dia mengeja.
“Kantor Al – Fikrah.” Dia kembali tersenyum, buku yang dipeluknya jatuh. Fakri membantu memungutkannya.
“Ini majalah Al – Fikrahmu...!”
“Terimaksih Kak...!”
***
Seorang perempuan berjilbab biru berjalan tergesa – gesa, dari jauh temannya berteriak,
“Awas... ada najis tahi kucing...!”
“Ahghhh... !”
“Cepat ambilkan aku kardus atau kertas gitu untuk membersihkannya.”
“Nih, pakek ini saja...!”
“Lebih baik aku pakai kerudungmu untuk membersihkan tahi ini daripada harus memakai sobekan kertas majalah Al – Fikrah ini.”
***     
Tut... tut...
Layar Hp Abdoel menyala, 1 pesan baru diterima, baca...
<08565545xxxx>
Salam sejahtera beserta rahmat Allah buat Kakak Alfikrah tercinta... Apa kabar Kak Alfiks yang tambah edisi tambah caem aja... Covernya makin keren Kak...! Apalagi tulisan tentang Bu Nyai, Aku tersentuh dan jadi ingin meniru beliau. Acara Dies Natalis Al – Fikrah kemarin seru banget...! Sering – sering ngadain acara ya Kak! Semoga semakin bertambah umur Al – Fikrah, semakin bertambah keren. Amien. I Love Al – Fikrah, That’s Right You Are My Everything.
Atur prioritas : Normal
08.45
Abdoel tersenyum. Tut... tut.... Layar Hp Abdoel kembali menyala, 1 pesan baru diterima, baca...
<08775335xxxx >
Cerita ini adalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, tempat dan jalan cerita merupakan unsur kesengajaan penulis he...he...he... tapi, penulis yakin semua pihak yang terlibat akan memaafkannya. Karena pihak – pihak tersebut diyakini sebagai orang – orang yang paling unyu – unyu di seluruh dunia. Semoga menjadi 3T. Tersinggung, Tersadar kemudian Tersenyum. Wassalam...!
^titah^
Atur prioritas : Normal
08.47
Kening Abdoel berkerut,
“Kenapa Doel, apa penggemar Al masih tak suka style Al di edisi kali ini?” Tanya Alvin menyelidiki.
“Gak...! nih ada orang gak jelas salah kirim sms?”
“Siapa?”“Titah.”“Dia lagi?”
“Mungkin dia juga salahsatu penggemar fanatik Al.” Ujar Alvin memasukkan sebuah kartu identitas bertuliskan namanya di atas tulisan Layouter Al – Fikrah Connection ke dalam laci.

“Ya, mungkin saja...! All is Well.”

(Kado Ulang Tahun Al-Fikrah)

Tidak ada komentar: