Di sebuah
ruangan di atas gedung megah bercat kuning hijau setinggi 7 kaki, lantai dua
pojok komplek Al- Maliky.
“Doel, penggemar
Al mengirim pesan protes lagi.” Melempar kertas lusuh dengan tulisan semrawut
ke meja Abdoel. Abdoel melirik kertas itu, kemudian acuh.
Tulisan tanpa judul, dengan kalimat ‘Hi... Al, apa kabar?’ sebagai intro.
“Di ponselku
juga banyak sekali sms, menanyakan kabar Al...” Alvin menyela, melirik
Arif yang tiba-tiba duduk di sebelahnya menunggu tanggapan Abdoel.
“Ah, itu sudah
biasa, jawab saja dengan beberapa alasan. Beres...!”
“Hei Bung,
sampai kapan kita akan terus beralasan? Apa sampai kau beruban?”
“Aku memang
sudah beruban memikirkan Al dan penggemarnya itu.Sudah tiga tahun aku
mengasuhnya.”
“Bukan begitu.
Kau tak paham bahasa kias rupanya. Aku berkata begitu berarti Al tak pernah
luput dari pikiranku. Aku mencintainya.” Sahut Abdoel tenang.
“Kau seperti
menuduh kami tak mencintai Al.”Alvin angkat bicara.
“Bukan aku yang
bilang begitu, kan?” Abdoel tersenyum sembarifokus menggerakkan jari-jarinya di
atas keyboard. Dia menuliskan, rundown acara DIES NATALIS.
“Ayolah, Doel.
Mereka berteriak minta Al hadir ke tengah mereka bulan ini.”
“Iya, Rif aku
tahu... aku dengar...! Mana surat itu, aku akan pikirkan sebuah alasan. Oh...
salah aku ralat, sebuah respon!”
“Apa bedanya
respon dan alasan kalau isinya juga alasan kenapa Al selalu terlambat muncul.”
“Kau seperti
tak tahu saja Rif, pengasuh – pengasuh Al punya kesibukan beragam. Hidup mereka
bukan hanya untuk tua merawat Al. Ya meski aku, kalian dan mereka mengaku
mencintai Al, Aku yakin semua dari mereka mendua. Al bukan satu – satunya...”
“Sssstttt...
jangan keras – keras, nanti Al dengar, dia bisa menangis jika tahu pengasuh
pengasuhnya selalu berdebat memperebutkan
pepesan kosong.” Alvin menyela serius.
“Bagaimana bisa
dia menangis, sejak lahir dia bisu, tuli, pincang, atau mungkin... idiot.”
Sergah Arif mencibir.
“Kau menghina
Al di depanku, ayahnya yang sejak tiga tahun merawatnya? Al memang bisu, dan
selamanya bisu jika pengasuhnya tidak memberinya bibir untuk berbicara soal
paradigma. Al, memang tuli dan selamanya akan tuli, kalau pengasuhnya sama
sekali tak peka pada hal – hal kecil. Al memang pincang dan selamanya akan
pincang kalau pengasuhnya tidak pernah berusaha melaksanakan tugas sesuai
dateline. Tapi kalau katamu Al idiot berarti kau juga idiot... Kau kan salah
satu pengasuhnya? ” Abdoel berdiri mengeraskan suara memelototkan mata.
“Bukan aku yang
melahirkannya. Aku hanya merawatnya selama tiga tahun.”
“Tenang Doel,”
Alvin memegang tangan Abdoel berusaha menenangkan.
“Hemghf... tiga
tahun... tiga tahun... kau selalu ungkit-ungkit tiga tahun...!”Arif terus memancing
amarah Abdoel.
“Kau...!”
Abdoel bernafas berat.
“Sudah...
sudah...! Gak etis orang berpendidikan adu mulut seperti ini. Kita bicarakan
baik – baik bagaimana pemecahannya.” Alvin kembali menengahi
Tut...tut...tut...
“Assalamualaikum...
Mal, ada apa?”
“Waalaikumsalam...Doel,
Kami gagal menemui Mentri BUMN. Motor kami mengalami kecelakaan, Aku sih cuma
lecet di lengan kiri, tapi luka di tangan, kaki dan kepala sebelah kiri Hudan sepertinya
serius. Sekarang dia sedang mendapat perawatan di Rumah Sakit terdekat. Posisi
kami sekarang ... emm... Depok... ya di Depok. Hallo...! Doel, Kau
mendengarku?”
“I...i... ya Mal
aku mendengarmu... Bagaimana keadaannya sekarang?”
“Hudan belum
siuman.”
“Lantas, apa
kau berurusan dengan polisi?”
“Alhamdulillah,
berkat Al, mereka tak mengusutku.”
“Maksudmu?”
“Iya... Aku
tunjukkan identitasku sebagai pengasuh Al. Mereka mundur, sebagian dari mereka
tak mau ikut campur. Lagian Aku tak bersalah. Aku diserempet mobil dengan plat
nomer berwarna merah.”
“Gila...! yang
membuat kalian celaka adalah seorang pejabat? Kenapa tak kau tuntut dia.”
“Yang ada dipikiranku
saat itu hanya menyelamatkan Hudan, Doel. Lagi pula mana bisa menuntut, kalau
pelakunya kabur.”
“Jadi kalian
korban tabrak lari yang pelakunya adalah wakil rakyat? Lalu polisi – polisi itu
hanya diam? Ternyata negara kita benar – benar diambang kehancuran. Ok... Mal...!
masalah mentri BUMN, tak usah kau fikirkan, yang penting sekarang kalian harus
pulang ke Gresik dalam keadaan tak kurang suatu apapun.”
“Tapi...
Bagaimana dengan Al? Penggemarnya berulangkali mengirim sms padaku, menanyakan
kabar Al, dan kapan Al akan kembali muncul menemui mereka.”
“Sudahlah...!
persoalan Al, aku dan pengasuh-pengasuhnya yang lain yang akan urus! Biaya
perawatan Hudan, Aku transfer ke rekeningmu.”
“Doel, terimakasih...!”
“Kau dan Hudan
bekerja untuk Al dan Aku ayah Al harus bertanggungjawab atas keselamatan dan
kesejahteraan hidup orang-orang yang memperjuangkan Al. O... ya motor kamu,
nggak rusak kan?”
“Alhmadulillah,
hanya retak di bagian kaca spion kiri. O... Iya...Sus... terimakasih...! Doel,
Aku dipanggil dokter ke ruangannya. Assalamualaikum...!”
“Waalaikumsalam!
Tut.”
“Siapa Doel?”
“Akmal dan
Hudan mengalami masalah, mereka kecelakaan, sekarang mereka ada di rumah sakit
Depok.”
“Berarti,
mentri BUMNnya?” Arif kembali menyela.
“Heemhhff...
All iz Well... kita ganti yang lain saja.”
“Doel... Aku
minta maaf...!” Arif menatap Abdoel.
“Aku juga minta
maaf. Lupakan soal tadi. Toh Aku juga bersalah. Seandainya Aku bisa santai
tanpa menomersatukan emosi, mungkin kita tak akan bersitegang. Aku juga tahu
kalau Kau berbuat itu karena Kau juga peduli pada Al.” Abdoel menepuk pundak
Arif, kemudian kembali berujar.
“Sekarang tugas
kita adalah fokus mengasuh Al. Masalah penggemar – penggemar Al itu kita bahas
kembali di rapat pengasuh nanti malam. Vin..., nanti malam kita rapat, kau
kabari pengasuh – pengasuh Al yang lain, katakan juga mereka harus hadir tepat
waktu. Banyak yang harus kita bicarakan. Hubungi juga pengasuh – pengasuh Al di
asrama putri. Instruksikan mereka untuk mengadakan rapat membahas kesiapan
mereka menyambut kemunculan Al bulan depan. Kabari juga kendala – kendala yang ada
di sini. Mungkin mereka bisa memberi solusi.”
“Kak Abdoel
juga diundang kan...?”
“Ya... ajak dia
juga... !”
“He’em...!” Alvin
mengangguk tersenyum.
***
Di sebuah ruang
kelas lantai dua dengan lampu bercahaya remang.
“Kenapa
lampunya?” Shofi bertanya menyelidik
“Rusak
barangkali...” Farda menjawab sekenanya.
“Kotor
sekali...! Salah satu dari kalian tak ada yang mau bersihkan ruangan ini
sebelum semuanya datang? Kalian menungguku? Katanya beriman, menjaga kebersihan
aja tidak bisa.”Shofi menggerutu sendiri.
“Gak ada
ruangan lain apa Shof? Di tempat biasanya aja kan enak. Kalau di sini kan capek
naek turunnya.”
“Di pakai rapat
pengurus asrama pusat.”
“O... ya Kak
Indah dan Kak May izin...!”
“Kenapa
memangnya Far?”
“Mereka harus
nyelesain proposal skripsinya yang tertunda gara – gara mempersiapkan
kemunculan Al bulan yang lalu.”
“Kalau Rizky?”
“Lagi galau,
besok dia harus ikut tes beasiswa.”
“Maksudmu, dia
mau meninggalkan Al?”
“Entahlah...!
Justru itu, Aku bilang dia galau.”
“Yang lain pada
kemana?”
“Perjalanan
mungkin...! Atau masih izin untuk keluar asrama.”
Setengah jam
kemudian.
“Kemana Salma?
Jam segini belum datang? Gimana urusan Al bisa kelar kalau tiap rapat tak ada yang
patuh dateline.” Shofi akhirnya angkat bicara, tak sabar menunggu.
“Katanya dia
lapar.” Marsya menjawab tanpa melihat Shofi, tangannya masih lekat memegang
pensil menggambar sketsa wajah baru sebagai penyempurna komicnya.
“Lapar? perut
saja yang dia fikirkan!”
“La kau Shof,
selalu mengajak kita rapat tanpa memberi logistik. Kita bukan malaikat yang
betah memegang sangkakala selama beratus – ratus tahun tanpa makan dan minum.
Han, kau kan pemegang kas, sekali – sekali nasi bebek dan es oyen gitu.” Marsya
melirik Youhana dengan tatapan meledek.
“Uang kas
terjaga aman... Aku tak pernah memakannya sepeserpun. Hanya saja uang kas kita
menipis. Untuk biaya Al saja masih kurang.” Youhana menyahut tersinggung.
“Aku sama
sekali tak menuduhmu korupsi Han. Aku cuma... “
“Sssssttttt...
apa kalian bawa Al?”Shofi memotong pembicaraan.
“Ya, aku bawa
dia. Kenapa?” Sahut Farda
“Jangan –
jangan... dia dengar pembicaraan Kita.”
“Justru, aku
ingin Al dengar semua masalah yang dialami pengasuh – pengasuhnya. Gara – gara
Al, Hudan kecelakaan, gara – gara Al, Akmal hampir saja berurusan dengan
polisi. Gara – gara Al, Rizky bimbang, harus memilih tetap mengurus Al atau
ambil beasiswanya. Gara – gara Al, Kak Indah dan Kak May menunda penelitiannya,
gara – gara Al, Hira selalu mendapat prasangka buruk darimu, gara – gara Al,
Alvin harus begadang tiap malam, merancang style dan model – model wajah baru
untuk Al. Gara – gara Al, Youhana selalu merasa bersalah karena tak bisa
memberi kita makan. Gara – gara Al, Arif selalu bersitegang dengan Abdoel...
Dan... karena Al, ha...ha...ha... Abdoel beruban.” Reysha berkelakar.
“Huss...! Kalau
Abdoel tahu, kau bisa dipecat jadi pengasuh Al.” Marsya mengingatkan.
“Mudah –
mudahan Abdoel tak mendengar, walau dengan honor sedikit aku masih mencintai
Al. Aku banyak belajar dari Al. Aku tak mau jauh dari Al.”
“Aku tahu kenapa
kebanyakan pengasuh – pengasuh Al yang lama meninggalkan Al... selain
berprinsip lillahi ta’ala. Al tak cukup cantik untuk dijual mahal.
Pantas saja mereka kebanyakan memilih berselingkuh di belakang Al. Memilih
mengejar impiannya kuliah di luar negri misalnya.” Farda berujar polos.
“Sepertinya
kata – katamu perlu diedit Far.” Shofi
terpancing.
“Bukan Aku yang
bilang begitu... tapi, surat – surat ini.” Farda menunjukkan kertas – kertas.
“Menurutku,
nggak juga tuh...! Mereka meninggalkan Al karena Al butuh orang – orang baru. Generasi
baru.”
“Iya sih, tapi,
penggemar Al kurang begitu suka dengan gaya dan style Al yang sekarang... tadi
pagi saja, aku lihat wajah Al dijadikan pembersih kotoran kucing di asrama...
Ah, sungguh tak menghargai jerih payah kita sebagai pengasuh Al” Farda meletakkan tangan kanannya di
jidad.
“Lantas, kurang
apa lagi kita merawat dan membesarkan Al. Dulu sewaktu baru lahir ada yang
protes, badan Al terlalu tinggi dan kurus seperti kutilang darat,
penggemarnya meminta Al menjadi kecil dan gemuk. Sekarang sudah kecil dan gemuk
penggemarnya minta Al kembali seperti dulu. Repot. Mereka ingin Al feminim,
cantik, seksi? Hallo... Al bukan gadis, perempuan, cewek atau wanita... mereka
ingin Al berwibawa, tampan, cool Toh Al juga bukan perjaka, atau lelaki
perkasa... jika mereka ingin Al kemana – mana menyanyikan lagu bintang kecil,
membawa boneka, memakan permen lolipop... secara gitu... Al bukan anak – anak.
Apa mereka ingin Al berwajah bugil – bugil gila ... apa kata dunia? Bukankah
alasan Al lahir adalah membangun pola pikir kreatif, progresif dan
transformatif berdasarkan tuntunan 9 bintang perlambang empat imam, empat
sahabat, satu Rosul dan 9 wali... kalau melenceng dari asas tersebut, yang malu
bukan hanya Al tapi pengasuhnya juga kan? Lagipula seharusnya Al yang
mempengaruhi pola pikir mereka. Bukan mereka yang merubah Al menjadi apa yang
mereka inginkan...!” Ujar Marsya menggebu – gebu.
“Ya Aku setuju
dengan Marsya. Al terlahir untuk mengubah pola pikir, bukan dirubah pola
pikirnya.” Farda menambahkan.
“Tapi, Aku rasa
penggemar Al punya maksud yang berbeda.” Evy berujar lirih
“Maksud yang
mana lagi, Vy?”
“Kau seperti
tak tahu saja bagaimana waktu merubah pola pikir manusia, mereka ingin Al bebas
dikritik, srawungan dengan siapapun, berapapun usia mereka apapun jenis kelamin
mereka, laki – laki atau perempuan... normal atau abnormal... Mereka ingin Al
bisa dinikmati oleh siapapun.”
“Al harus
sesempurna itu? Memangnya mereka pikir Al dan pengasuhnya ini, Tuhan yang bisa
menciptakan perbedaan yang segalanya luar biasa.”Shofi terperangah.
“Kau benar Shof,
seenaknya saja mereka memberi titah seperti itu. Mengatur Al seenak pusarnya. Apa
mereka juga tidak sadar dengan perbuatan mereka yang sangat memalukan. Kalian
lihat ini kan, bukankah ini surat – surat dari mereka. Mereka mengaku penggemar
Al, namanya penggemar harus memberikan yang terbaik, bukan? Lah, mereka
menuliskan surat untuk Al di atas sobekan kertas yang lusuh, seperti habis
dipungut dari tong sampah. Tulisannya juga kayak ceker ayam. Ini namanya
penghinaan untuk Al. Mereka mengaku menggemari Al, meminta Al untuk menjadi
bagian dari koleksinya, meminta Al menemui tamu terhormat dan tajir tapi,
ketika Al meminta satu ruangan saja untuk dijadikan tempat tinggal, mereka
menolak dengan alasan inilah... itulah... padahal kita sudah dapat izin untuk
mendapatkan ruangan itu. Apa mereka serius mengaku mencintai Al kalau tega
membiarkan Al tidur berdesakan dengan kostum – kostum pentas, lampu – lampu
teater, kertas – kertas dekorasi, lem, gunting, hemmfff... kalau butuh bantuan
Al, rayuan maut mereka, Waow... gak nguatin! Kalau giliran Al yang butuh
bantuan... mana mereka peduli. Itu namanya habis manis sepah dibuang.”Reysya
menambahkan.
“Kalau masalah
tempat permanen untuk Al di asrama putri, kita juga tidak bisa sepenuhnya
menyalahkan ketua asrama. Dia berlaku seperti itu dengan beberapa pertimbangan.
Asrama kita sempit, sedangkan penghuninya meledak setiap tahunnya. Kurasa dia
juga tak berniat jahat pada Al.”Shofi kembali berpendapat.
“Tak berniat
jahat gimana, kalau setiap saat dia membiarkan Al dan pengasuh – pengasuhnya
rapat di tempat mengenaskan dan menyeramkan seperti ini.”Anas yang sedari tadi
terdiam mulai ikut terpancing.
“Untuk sukses,
butuh perjuangan bukan? Kalau kita ingin Al terkenal, ya harus rela
mengorbankan apapun, termasuk menjadi gelandangan. O... ya kalau bahas soal
penggemar Al nih, Aku jadi geregetan juga.” Gigi Evy bergemeletuk.
“Kenapa dengan
penggemar Al?” Anas bertanya.
“Coba
bayangkan...! Gimana Al bisa istiqomah muncul kalau dukungan dari mereka hanya
setengah – setengah, masa sampai sekarang gak ada surat yang berisi karya
mereka? Semuanya berisi kritik ... kritik... dan kritik ...! Padahal Al hanya
ingin mereka berkarya.”
“Sebenarnya
banyak sih yang mengirimkan karyanya. Tapi, butuh editing yang serius.”
“Yang Aku
sesalkan lagi, ketika karya mereka ditolak Al, mereka pasti berhenti
mengirimkan karyanya.”
“Na’as...!”
“Kau
memanggilku, Shof?”
“Na’as, bukan
Anas...!” Sahut Marsya.
“Assalamua’alaikum...!”
“Waalaikumsalam...!”
“Nah, Loe, udah
kenyang cin...! Rapat mau selesai loe baru datang...!” Anas menyindir Salma.
“Cucok
Marcodot, nasi goreng kantin pokoknya cetar membahana badai...!” Ujar Salma
acuh.
“Sialan
loe...!” Ujar Farda melempar gelas aqua ke arah Salma tapi dihalangi oleh
Marsya.
“Sudah – sudah
sampai mana kita tadi?” Tanya Shofi.
“Cetar
membahana...!” Evy berkelakar.
“Ya benar,
penampilan Al bulan depan harus cetar membahana...!”
***
“Kenapa harus
resah, kalau penggemar Al mengirim sms atau surat, itu tandanya mereka merespon
dan peduli pada Al.” Kak Abdoel membuka pembicaraan.
“Ya bukan
begitu Kak, kalau dalam menjawab surat mereka kita hanya bisa menarasikan
beberapa alasan, mau sampai kapan kita beralasan?” Arif menyela.
“Ya, sudah ...
sekarang berapa persen kesiapan kalian menampilkan Al bulan depan? Mulai dari
kau Doel, Kau kan ayahnya.” Kak Abdoel menunjuk Abdoel.
“Editorial
sudah, sajian utama proses editing, catatan akhir masih belum. Ntar malem,
setelah rapat aku rampungkan.”
“Kalau aku
sajian utama sudah, kolom juga sudah.” Sahut Sofyan menyusul.
“Kau Rif?”
Tanya Kak Abdoel.”
“Konsultasi
Agama dan Kesehatan tinggal diketik di komputer induk.”
“Suara
mahasiswa dan forum pelajar masih kosong. Mahasiswa dan pelajar sekarang
kering. Tak ada yang mau menuangkan aspirasinya dalam bentuk tulisan. Ribet
katanya. Mereka lebih memilih koar – koar ketimbang bermain kata.” Tambah Aziz
“Kata siapa?
Wong di kampuspun yang berani ngomong cuma itu – itu aja.”
“Kalau gitu aku
punya usul, sebentar lagi kan Al ulang tahun. Gimana kalau diadakan sayembara
menuliskan aspirasi di kolom suara mahasiswa dan forum pelajar. Pasti keren.”
“Setuju...!
Kalau Kau Doel gimana?”
“Kalau Aku”
Sahut Abdoel dan Kak Abdoel bersamaan.
“Ha...ha...ha...
suruh siapa nama kalian sama.” Teriak Syaifullah tiba – tiba.
“Itu salah
kalian, kenapa memanggilku dengan nama itu. Aku kan punya nama belakang yang
lebih keren.” Sahut Abdoel sekenanya, disusul dengan senyum Kak Abdoel.
“Ulang tahun Al
memang sudah ada di agenda rapat malam ini tapi, kita harus bahas persiapan Al
bulan depan. Lagi pula soal Ultah Al kita tidak bisa putuskan sendiri. Kita
harus adakan musyawarah akbar bersama pengasuh Al di asrama putri.”
“hehem... Kalau
liputan khusus dan bilik pesantren yang sudah jadi tanggungjwabku sudah aku
rampungkan.” Amiruddin menyela.
“Kalau kolom
Bahasa, seorang Ahlisil Haq insya Allah tak akan melenceng dari dateline yang
sudah ditentukan.”
“Untuk
Resensi... Baru tadi sore aku baru saja hunting buku. Sorry, kemarin aku harus
fokus lomba pekan araby di UNAIR. Besoklah paling lambat.” Sahut Fakri.
“Kalau Radar
Pesantren... Aku kebingungan!” Sahut Zainal.
“Aku juga...!”
Muafi’ menambahkan.
“Kenapa
bingung?” Tanya Abdoel.
“Mau ngeliput
ini sudah ada yang ngeliput... yang itu... juga sudah... yang kayak gitu juga
sudah ada yang ngeliput.”
“Media manapun
boleh saja meliput berita yang sama! Tapi isi dan sudut pandangnya bisa jadi
berbeda, bukan? Tergantung penulisnya.” Ujar kak Abdoel tenang.
“Hehemmm...
Baik, kami coba dulu.” Sahut Muafi’.
“Lalu... Akmal
dan Hudan? Gimana kabarnya?” Tanya Kak Abdoel lagi.
“Alhamdulillah,
sehabis shalat maghrib aku dapat kabar, Hudan sudah siuman. Untung luka di
kepalanya tidak begitu serius. Ya, kalau tangan kirinya sih masih diperban.”
Jawab Abdoel.
“Syukurlah...!
Berarti Cantrik dan Tokohnya belum terisi?”
“Tepat...!
malam ini kita juga harus bahas masalah itu.”
Tut... Tut...
Tut...
“Ya...
Assalamualaikum...!”
“Waalaikumsalam
Kak, ini pengasuh Al di asrama putri. Insya Allah, semua tugas kami kirim ke
putra besok pagi. Yang belum cuma komik dan ragam. Menyusullah...!” Suara
lembut seseorang di seberang.
“He’em...! O...
ya untuk tokoh, kami mengusulkan Almarhumah Ibunda Nyai Hj. Ainiyah Yusuf.
Beliau sosok inspiratif buat kaum hawa.”
“Bagus...!
Kalau begitu sekalian antum tulisdan kirimkan bersamaan dengan komik dan
ragam!”
“Ok...!”
“O... ya,
keuangan di sana gimana?”
“He...he...he...
Menipis!”
“Sabar dulu
ya...!All is well”
“Dari dulu juga
sudah sabar Kak!Ya sudah... Assalamualaikum...!”
“Waalaikumsalam”
“Putri sudah
siap, filenya besok dikirim. Mereka mengusulkan Almarhumah Ibunda Nyai Hj.
Ainiyah Yusuf, sebagai tokoh inspiratif kita kali ini.”
“Berarti
tinggal kolom cantrik saja yang belum jelas.” Kak Abdoel menarik kesimpulan.
“Menyusul aja
lah! Kita bahas acara ultah Al” Usul Fakri
“Acara
puncaknya dikemas dengan acara diklat jurnalistik aplikatif!”
“Usulan bagus.
Berarti sebelumnya kita gelar sayembara menulis kemudian puncaknya kita tutup
dengan diklat jurnalistik aplikatif. Terus temanya apa?”
“Bagaimana
kalau tentang manajemen redaksional dan bagaimana pemula menulis.” Syaifullah
berteriak
“Setuju!” Semua
bersemangat memeluk majalah kecil bertuliskan Al – Fikrah di cover depan.
Kak Abdoel
bergumam dalam hati sembari terpejam memeluk Al – Fikrah,
“Seandainya
setiap saat pengasuh – pengasuh Al selalu kompak, bersemangat dan tidak saling
menyalahkan satu sama lain... ah, indahnya.”
***
Hudan terbaring
dengan tangan kiri dibalut perban. Tangan kanannya mendekap sebuah majalah
bercover unik bertuliskan Al – Fikrah. Matanya terpejam, entah apa dia tertidur
atau memikirkan sesuatu. Di sebelahnya Akmal duduk serius dengan laptopnya
menghadap meja pasien menuliskan question rote, target : Gubernur DKI
Jakarta. Kemudian perlahan dia mengambil Al – Fikrah dari dekapan Hudan,
melihatnya sembari tersenyum lalu memeluknya.
***
to<f@salju>
Asslamualaikum, mbak! Gmna kbrx?
<f@salju>
Waalaikumsalam Doel, Alhamd baek!
Sorry... Edsi kli ni Q cuti dl, Q brsn mlhrkan!
to<f@salju>
All iz Well Mbak..! Alhmd...! Aq
ikut snang.. lk ato pr?
<f@salju>
Lk. Lhrnya tpat 1 januari. Kyg pnlis
fnomenal itu..!
to<f@salju>
Andrea Hirata?
<Akmal>
Doel, bsg Hudan kluar dr RS. Qta dpt
tkoh cntrik br. Gbrnur DKI Jakarta. Spak trjngx memprbaiki tnggl Latuharrary d
jkrta Pust bsa qta lput.
<f@salju>
Tepat...! Namax jga Andrea...! Q
ingn dia jg sprt Andrea, jd penuls fnomnal.
to<Akmal>
tp jkrta psat kn d rndam bnjir?
<Akmal>
Ini tntngn. I like it. bs jd brita
hbat, bkn?
to<f@salju>
Wah, Al – fikrah pxa gnersi donk...!
to<Akmal>
Hudan jg ikut?
<Akmal>
Dia mksa Doel. Dia gk mau plg klo
liputn utk Alfikrah blm klar.
<f@salju>
Insya Allah
to<Akmal>
tp apa dia bsa?
<Akmal>
Ktax tngan knanx msh brfungsi.
Seandaix tdk bsa pun, kakix bsa dgnkn utk mngtik.
to<Akmal>
trmksih! All iz Well.
Abdoel tersenyum membaca sms Mbak Fa
dan Akmal,
“Al bisa terbit bulan ini, dan
dia tak akan kehilangan ayah.” Gumamnya
memeluk majalah kecil bertuliskan Al – Fikrah di cover depan.
***
Sebulan
kemudian.
“Aku lulus
ujian proposal May...!”
“Alhamdulillah...!
Aku juga, Siapa pengujimu?”
“Mr. Ismail.”
“Wah, Beliau
benar – benar memperhatikan kaedah penulisan ilmiyah lo...!”
“Kau benar,
tapi, alhamdulillah gara – gara terbiasa menulis di Al- Fikrah, itu bukan masalah yang berarti.”
Sahut Indah memeluk Al – Fikrah yang dari tadi dibawanya.
“Edisi baru?”
“He’em...!”
“Aku nggak
kebagian?”
“Minta ke Shofi
aja di kantor pusat!”
***
Rizky
memberhentikan angkutan umum jurusan Surabaya Gresik berwarna hijau. Di
belakangnya semua melambaikan tangan padanya. Ada Marsya, Anas, Shofi, Reysya,
Farda, Evy, Kak Indah dan Kak May. Rizky masuk ke dalam angkot tersebut, tangan
kanannya melambaikan tangan dan tangan kirinya memeluk Al – Fikrah. Tiba – tiba
Salma datang, Dia berlari mengejar angkot yang ditumpangi Rizky. Semua tertawa,
tapi dia tak perduli, dia berteriak,
“Ky...
Dimanapun Kau, jangan lupakan kami dan Al ya...!”
Rizky
melongokkan kepalanya keluar jendela,
“Pasti
kawan...! Aku mencintai Al.”
***
“Ya rayyis ana gay
aho! (Hei Bung, Gua
datang nih!)”
“Subhanallah. Zamani...! Eeh elle
gabak hina (Ya ampun, Zamani. Gimana
ceritanya bisa datang kemari.”
“Studyku di Kairo sudah selesai Is...!Izzayak(Pa
kabar nih?)”
“Khoir...! Wahesytani âwiy! (Aku udah kangen
banget ma kamu)
“Aku juga... apalagi sama Indonesia... dan...”
“Al – Fikrah...!” Sahut Ismail dan Zamani bersamaan.
“Sejak jauh dari Al aku jarang menulis,
Is...”
“Sama... Aku juga...! kalau curhatan sih masih...!”
“Ana jiî’ân âwiy. Indak to’âm ?(Aku lapar nih, ada
makanan nggak?)”
“Ayo masuk.”
***
Seorang laki –
laki kecil berumur sekitar 13 tahun mengenakan jubah putih berjalan perlahan,
menunduk, sambil mendekap erat sebuah buku. Sesekali dia mencium buku itu.
Sesampainya dia di depan sebuah ruangan di atas gedung megah bercat kuning
hijau setinggi 7 kaki, lantai dua pojok komplek Al- Maliky, dia berhenti,
menatap sejenak sambil tersenyum. Terbata dia mengeja.
“Kantor Al –
Fikrah.” Dia kembali tersenyum, buku yang dipeluknya jatuh. Fakri membantu
memungutkannya.
“Ini majalah Al
– Fikrahmu...!”
“Terimaksih
Kak...!”
***
Seorang
perempuan berjilbab biru berjalan tergesa – gesa, dari jauh temannya berteriak,
“Awas... ada
najis tahi kucing...!”
“Ahghhh... !”
“Cepat ambilkan
aku kardus atau kertas gitu untuk membersihkannya.”
“Nih, pakek ini
saja...!”
“Lebih baik aku
pakai kerudungmu untuk membersihkan tahi ini daripada harus memakai
sobekan kertas majalah Al – Fikrah ini.”
***
Tut... tut...
Layar Hp Abdoel menyala, 1 pesan
baru diterima, baca...
<08565545xxxx>
Salam sejahtera
beserta rahmat Allah buat Kakak Alfikrah tercinta... Apa kabar Kak Alfiks yang
tambah edisi tambah caem aja... Covernya makin keren Kak...! Apalagi tulisan
tentang Bu Nyai, Aku tersentuh dan jadi ingin meniru beliau. Acara Dies Natalis
Al – Fikrah kemarin seru banget...! Sering – sering ngadain acara ya Kak!
Semoga semakin bertambah umur Al – Fikrah, semakin bertambah keren. Amien. I
Love Al – Fikrah, That’s Right You Are My Everything.
Atur prioritas
: Normal
08.45
Abdoel tersenyum. Tut... tut.... Layar
Hp Abdoel kembali menyala, 1 pesan baru diterima, baca...
<08775335xxxx
>
Cerita ini
adalah fiktif belaka, apabila ada kesamaan nama tokoh, tempat dan jalan cerita
merupakan unsur kesengajaan penulis he...he...he... tapi, penulis yakin semua pihak
yang terlibat akan memaafkannya. Karena pihak – pihak tersebut diyakini sebagai
orang – orang yang paling unyu – unyu di seluruh dunia. Semoga menjadi
3T. Tersinggung, Tersadar kemudian Tersenyum. Wassalam...!
^titah^
Atur prioritas
: Normal
08.47
Kening Abdoel berkerut,
“Kenapa Doel, apa penggemar Al masih
tak suka style Al di edisi kali ini?” Tanya Alvin menyelidiki.
“Gak...! nih ada orang gak jelas
salah kirim sms?”
“Siapa?”“Titah.”“Dia lagi?”
“Mungkin dia juga salahsatu
penggemar fanatik Al.” Ujar Alvin memasukkan sebuah kartu identitas bertuliskan
namanya di atas tulisan Layouter Al – Fikrah Connection ke dalam laci.
“Ya, mungkin saja...! All is Well.”
(Kado Ulang Tahun Al-Fikrah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar