6,5 JAM SURVEY KILAT (Selasa, 28 Juni 2011)
Bismillah…! Agen An-Nisa’ yang seorang
diri, he…he… sebenarnya sih tim survey kami berjumlah 16 orang hanya saja, misi
kami berbeda akhwat, 15 rekan An-Nisa’ yang lain adalah agen dari kampus,
sedangkan An-Nisa’ adalah agen tunggal dari Majalah kesayangan kita. Dan
seterusnya An-Nisa’ akan sebut rekan-rekan An-Nisa’ itu dengan julukan Para
Wonder Muslimah.
Ok! Pertama kita
akan bicara soal PAR. Jadi dalam sebulan para para Wonder Muslimah kita akan
bergelut dengan membawa PAR. Eitss… jangan suudzon sama PAR yang nggak
berjenis kelamin ini ya…! PAR bukan singkatan dari parang. Bukan juga senjata
bertipe tertentu dan mematikan seperti yang ada di benak akhwat. PAR hanyalah
sebuah sistem yang telah dirumuskan para ahli ilmu sosial sebagai senjata ampuh
untuk menerjunkan agen-agen rahasia instansi-instansi pendidikan ke dunia
sosial kemasyarakatan yang heterogen.
Sesuai kesepakatan
An-Nisa’ dan Para Wonder Muslimah akan diturunkan bapak supir tinggi dan
berkumis yang mengantar kami tepat di masing-masing balai desa. Kami tiba
disana tepat pukul 08.30 WIB. Karena dalam perjanjian non tertulis menyatakan
kami akan dijemput pukul 15.00 WIB berarti kami punya waktu sekitar 6 setengah
jam untuk survey lokasi. Nah, kebetulan An-Nisa’ dan kelima rekan An-Nisa’ yang
lain bertugas di Desa yang menurut sejarah namanya diilhami dari kata Jurang
Baru. Desa ini memiliki 3 Dusun dengan karakteristik masyarakat yang serupa
tapi tak sama. Masyarakat yang mendiami wilayah ini, meski hampir 99 % beragama
Islam rata-rata mereka mengenal agama Islam hanya cover dan halaman depan saja.
Terbukti dalam melaksanakan ibadah mereka masih terkontaminasi puing-puing adat
mistik kejawen. Mereka menamakan agama yang mereka anut adalah Islam
Nasionalis. Apakah itu? Istilah barukah? Atau aliran barukah? Tunggu
penjelasan lebih dalam yang ternyata An-Nisa’ temukan jawabannya pada pekan
pertama. Dan dari 6 orang agen yang diterjunkan ke Desa tersebut, An-Nisa’ dan
salah seorang agen wonder muslimah memang sejak awal ditetapkan berada di Dusun
yang posisinya paling pertama secara geografis dari beberapa objek PAR yang
lain.
Pukul 10 tepat kami
berpencar ke Dusun masing-masing. An-Nisa’ dan seorang Agen yang selanjutnya
mengemban amanat menjadi koordinator dari kesembilan rekan yang akan
dipimpinnya, berjalan melewati hamparan sawah yang mungkin jika dilihat dari
langit akan tampak seperti barisan gigi bugis berlubang bekas mengunyah cake
hijau isi durian. Bukan maksud ingin mendramatisir keadaan, tapi ini tertulis
dengan mata telanjang. Hamparan sawah yang tidak biasa ini memicu kelenjar dan
otot pada tangan untuk menuliskan sebuah problem ekonomi yang memprihatinkan.
An-Nisa’ yang selama ini belum pernah melihat bukti nyata sepak terjang para
hama sawah, melongo tanpa berkedip. Hewan secantik dan seimut Wereng kok
bisa-bisanya tanpa perasaan menyerang padi masyarakat. Ah, jadi inget profil
Tzipi Livni, Sang perempuan agresif pemegang kendali militer Israel yang tega
memporak-porandakan Palestina. Betapa tidak, wanita yang seharusnya berkodrat
feminin dan berperasaan lembut harus terlibat kebrutalan perang lantaran
tertawan oleh kekuasaan. Hanya karena takut kehilangan kekuasaan dengan mudah
Dia memberi komando untuk menggerakkan mesiu ke udara tanpa menghiraukan mayat
bayi-bayi Palestina dan perempuan seperti dirinya menjadi korban. Sangat
bertolak belakang dengan paras dan kodradnya sebagai wanita. Ok…! Kita kembali
lagi ke permasalahan tentang sawah. Yang membuat An-Nisa’ semakin tercengang,
sawah yang terserang berselang-seling. Satu petak terserang satu petak sehat
walafiat begitu seterusnya. Inilah yang kemudian terhubung dengan problem yang
kedua. Coba akhwat tebak, kira-kira apa? Ya, 100 buat yang bisa nebak, jadi
karena masyarakat disana sebagian masih ada yang yakin dengan ilmu mistik
beraliran hitam, pola pikir mereka cenderung diracuni oleh prasangka-prasangka
buruk tentang keberhasilan panen tetangga mereka. ‘Jangan-jangan…!Aneh
banget kan Mbak, Kalau bukan begituan terus apaan lo?’ kurang lebihnya,
kata-kata itu yang tak sengaja terekam oleh telinga An-Nisa’. Tapi, An-Nisa’ yakin tidak semua individu
berpikiran sama, buktinya saat diwawancarai
bapak bayan Dusun (wakil dari kepala Dusun) berlapang dada meyakini
musibah gagal panen itu dengan sebuah ujian dari Sang Khaliq.
Masih berkutat di
bidang Ekonomi, An-Nisa’ dan agen WM punya pengalaman konyol akhwat terkait
bidang tersebut. Ceritanya berawal dari kewajiban para supervisor untuk
mengenakan seragam almamater dari kampus. Walhasil kami mengenakan almamater
kebanggaan tanpa menaruh curiga secuilpun. Nah, setiap kami melihat kerumunan
ibu-ibu dusun yang sedang ngrumpi, kami mencoba mendekat untuk permulaan
approach (pendekatan) dan wawancara. Lalu, apa yang terjadi, Akhwat…? Mereka
yang asalnya berkerumun tiba-tiba berlari menuju rumah masing-masing dan dengan
cekatan menutup pintu. Spontan kami terperanjat dan saling pandang. Dan
kejadian tersebut kembali terulang untuk kedua kalinya. Wah, ada yang gak
beres, nih. Sebelum kami mengalami hal serupa untuk yang ketiga kalinya, ketika
berada di dekat kerumunan kami berteriak mencegah mereka.
Selidik punya
selidik ternyata mereka menyangka kami salesman…? Glodak…! ‘Wajah-wajah
sales donk buk…? Tapi, kita kan nggak bawa product? Jatuh donk image kita…!’
Celetuk agen WM penasaran. ‘Soalnya kita sering didatangi para sales dan
bank keliling untuk di tagih hutang.’ Jawab salah seorang nenek tersenyum.
Waduh parah… mau ditaruh dimana muka An-Nisa’ akhwat? Jauh-jauh datang dari
kota cuma untuk nagih hutang? Tunggu-tunggu, ini namanya problem baru, akhwat.
Bank keliling nagih hutang? An-Nisa’ mencium bau-bau riba, nih. Gimana Enggak
sistemnya nggak ada bedanya dengan aliran yang dianut para rentenir.
Meminjamkan uang pada orang yang membutuhkan dengan bunga tinggi yang menjerat
leher dan kantong peminjamnya.
Problem yang terbaca
selanjutnya adalah di bidang Pendidikan dan Agama. Kami melihat rasa
keprihatinan yang mendalam dari hasil wawancara dengan Ibu kepala Dusun tentang
keadaan lembaga Pendidikan di sana utamanya pendidikan keagamaan. Di Instansi
Pendidikan agama, TPQ misalnya, dapat terpetakan menjadi beberapa problem,
Pertama, minimnya bisyaroh guru akibat
dari kurang kepedulian para orangtua pada pendidikan agama anak-anaknya, selain
itu masalah tersebut dipicu oleh keadaan perekonomian mereka yang bertaraf
menengah ke bawah. Ya, meski dalam kitab Hidayatur Rohman Limakanil Qur’an
karangan Almukarrom Abu Muhammad Ahmad Ramli Abdil Majid As-Syafi’i
Al-Quraisy Al-Maliki halaman 12 yang menuliskan hadits Rosulullah SAW dari
Abdur Rohman Bin Sibli yakni : “إقرءوا القرآن ولا تغلوا فيه ولا تجفوا عنه ولا تاكلوا به (رواه الطبراني)”
“Bacalah Al-Qur’an Dan jangan Engkau melebihi batas (menambahi)
ke dalamanya dan berpaling darinya (Al-Qur’an) serta janganlah engkau mencari
makan dengannya (Al-Qur’an) HR. At-Tabrani.”
Nah, loh kalau begini mati kutu nih, para guru ngaji. Tapi jangan lupa
sama nadham dalam kitab ta’limul muta’alim tentang enam sesuatu yang harus
dipenuhi seorang murid dalam menuntut ilmu yakni, Cerdas, ada biaya, Sabar,
Tamak akan ilmu, ada guru, dan waktunya harus lama. Masalah biaya menjadi
sesuatu yang lebih penting dari unsur menuntut ilmu yang lain. Dalam proses
pendidikan juga butuh biaya pemenuhan sarana dan prasarana belajar mengajar
misalnya, untuk membeli kapur tulis, penghapus atau buku panduan belajar tajwid
dan kopi pelepas penat untuk Sang ustadz atau Ustadzah. Bukankah Mereka juga
manusia, iya to?
Problem kedua dan sekaligus menjadi pemicu problem ketiga
adalah minimnya tenaga pengajar Ahli yang faham betul dengan dunia pendidikan
dan psikologi anak didik. Guru cenderung memaksakan kehendak dengan mengedepankan
emosi ketika kedapatan proses KBM dihambat oleh ulah anak-anak didik mereka
yang usil. Akibatnya anak didik yang tak termotivasi oleh iming-iming masa
depan cemerlang, sitem serta proses belajar mengajar yang menarik dan
menyenangkan satu persatu kabur meninggalkan Instansi Pendidikan terkait.
Mereka lebih memilih bermain dengan alam yang lebih ramah atau menjadi pekerja
serabutan yang resikonya berat untuk ukuran anak seusia mereka.
PEKAN
PERTAMA, TAHAP APPROACH DAN PEMAHAMAN KARAKTER (30 Juni – 11 Juli 2011)
Tanpa diduga kesebelas anggota Wonder Muslimah yang tentunya
berkelamin Perempuan tulen dhahir bathin, termasuk agen An-Nisa’ sendiri
tercengang dan syok melihat kenyataan bahwa selama kurang lebih sebulan
lamanya, Kami akan tinggal di rumah kos bekas warung kopi. Kalau seandainya
tidak ingat kalau tersenyum adalah nilai tambahan dalam pertualangan kami kali
ini, mungkin Empang dan telaga di belakang rumah kos-kosan kami itu akan pasang
oleh airmata kami. Ya, selain itu Kami juga gengsi sama julukan Wonder Muslimah
yang kami dapat.
Ternyata kondisi rumah kos yang seperti itu yang membuat kami mendapat
nilai lebih dari perjalanan kami dalam berperang mengalahkan Keglamoran hidup,
ketidakmandirian dan kecengengan. Hal ini bukan berarti warga tersebut menyuguhkan
kesan ketidak ramahannya diawal perkenalan dengan kami namun, lebih kepada
membantu kami memenangkan perang dingin dengan keabstrakan karakter dalam diri
kami masing-masing. Sebuah permainan uji kecerdasan otak, mental, emosional dan
spiritual baru saja dimulai.
Mungkin bagi akhwat waktu 11 hari pada
pekan pertama terlalu lama jika hanya digunakan untuk sekedar pendekatan
personal, pemahaman karakter, pemetaan sekaligus perumusan sketsa sementara
solusi dari beberapa masalah yang terbaca saat survey dilangsungkan. Tapi, bagi
kami 11 hari adalah waktu minimum yang kami pilih untuk me-manage penuntasan
program yang akan kami jalankan. Pertanyaanya sekarang kenapa hal itu terjadi? Pertama,
Mereka masih tabu takut dan ragu mengenal apalagi menyentuh hal-hal baru, meski
positif. Jadi tak heran jika misi penyuntikan nilai-nilai pendidikan dan agama
sesuai yang diajarkan Rasul SAW oleh para Wonder Muslimah menjadi terhambat dan
terantuk batu. Mereka tak mau mengenal sesuatu yang terlalu ketat dan mengatur
seperti penerapan ajaran agama yang cenderung fanatik. Bagi mereka yang penting
beruang, agama bisa jadi istri kedua. Sebagian juga masih mencintai
budaya-budaya kuno seperti pementasan wayang, dendang campur sari, pembakaran
kemenyan, sedekah bumi, persembahan sesaji untuk penunggu telaga, Kepercayaan
pada benda-benda pusaka dan tari-tarian ekstrim seperti tari ular. Nah, seperti
inilah yang mereka sebut sebagai Islam Nasionalis. Yang jika diterjamahkan dan
diluruskan dengan mengacu pada ilmu perbandingan agama berarti Islam yang
terkontaminasi adat hindu kejawen atau disebut Islam kejawen.
Dan sebab yang Kedua,
Sebagian besar dari mereka tidak memiliki waktu untuk menyambut hal-hal
baru, apalagi tanpa adanya iming-iming rupiah. Mayoritas mereka adalah
masyarakat pekerja yang anti pengangguran. Akibatnya akan lumayan sulit
memasukkan hal berbau pendidikan dan agama Karena mereka menganggap tanpa uang
semua itu menjadi tak penting. Ketiga, jika disimpulkan berdasarkan
perumpamaan istilah di lapangan sepak bola, karakter mereka dapat digolongkan
sebagai pemain yang menunggu bola digiring kearah mereka. Dan yang seharusnya
berperan mengantar bola
adalah para petinggi-petinggi Desa atau Dusun yang telah dipercaya masyarakat.
Namun, kendalanya lagi-lagi masalah rupiah, kerja petinggi kurang maksimal dan
kurang focus karena mereka disibukkan dengan kegiatan mencari penghidupan untuk
anak-istrinya.
PEKAN
KEDUA, TAHAP SHARING DAN SOSIALISASI PEMETAAN MASALAH (12 Juli-17 Juli 2011)
Pada tahap ini, para Wonder Muslimah seperti mengalami dejavu
suasana rapat di kampus. Beberapa pendapat bermunculan, sanggahan berhamburan,
penolakan-penolakan sistem diutarakan, kesalahan dalam penafsiran rentan
terjadi dan beberapa peristiwa-peristiwa lumrah lainnya yang biasa terjadi
dalam sidang. Serunya lagi adalah ketika para WM terlibat rapat reformasi
structural dan perumusan rancangan AD-ART karang taruna Dusun yang terpecah.
Salah satu agen WM yang kebetulan terpilih oleh quota forum sebagai pimpinan
sidang berulangkali meminta izin meminum air mineral sejenak untuk meredakan
panasnya suasana sidang. Namun, meski para WM belum menemukan solusi yang tepat
dalam mewujudkan cita-cita Kepala dusun untuk mempersatukan organisasi pemuda
itu setidaknya dengan hadirnya agen WM, sebagian anggota dari keduanya mulai menyerap angin segar tentang
cara berorganisasi yang baik. Mereka cuma butuh waktu untuk merenung dan
memahami arti sebuah persatuan pemuda.
PEKAN
KETIGA DAN KEEMPAT, TAHAP PENJELMAAN MENJADI AGENT OF CHANGE (18 Juli-28 Juli 2011)
Menjadi Agent of change dalam 11 hari? Kalau itu hanya kisah dalam
sinetron, mungkin saja bisa terjadi. Lantas gagalkah agen WM kita menjadi Agent
of change di dunia nyata lantaran waktu yang tak berpihak? Ok…! An-Nisa’ yang
akan jawab pertanyaan itu dengan catatan akhwat harus menyimpulkannya sendiri.
Karena masalah vital yang menjadi titik kunci permasalahan adalah di
bidang ekonomi, para agen WM memilih menyelesaikan masalah perekonomian dahulu. Tawaran program Desa terkait penyuluhan pertanian kurang mendapat respon
karena memang masalah urgen yang kembali mencuat adalah persoalan dana.
Mereka menginginkan acara bergengsi namun tidak menghabiskan dana besar. Terkait gagal panen rata-rata
masyarakat sudah memiliki cara menyelesaikan masalah masing-masing. Ada yang
berusaha mengubah sawah padi mereka dengan tanaman jagung, ada yang pindah
haluan mencari pekerjaan serabutan seperti menjadi pengrajin kopyok roti.
Dengan merangkul para Ta’mir masjid dan pengurus remaja Masjid para
agen WM mengarahkan mereka untuk menggelar pengajian akbar yang sudah
bertahun-tahun mati. Lantas, apa hubungan program tersebut dengan bidang
ekonomi? Ternyata, agen WM memilih pembenahan spritual setelah program fisik
yang mereka tawarankan kurang mengena. Dengan pengajian akbar tersebut, mind
set masyarakat berputar haluan. Yang semula mereka menganggap gagal panen
sebagai permainan ilmu hitam dan imbas dari kecemburuan-kecemburuan sosial,
sekarang mereka mulai sadar dan belajar instropeksi diri. Mereka telah
menyadari bahwa perkara dunia tak akan berjalan mulus dan sukses jika tidak
didampingi ukhrowi. Gagal panen yang mereka alami bisa saja dikarenakan
terlampau lama jauh dari Sang pengatur rizki. Terbukti meningkatnya jumlah jama’ah
shalat fardhu di masjid dan antusiasnya remaja meramaikan masjid untuk menggelar
tadzarrus. Dalam agenda mingguan yang di sebut Persunan juga perlahan bisa
disisipi kegiatan keagamaan. Agenda kegiatan yang mulanya hanya diisi dengan
datang, arisan, ngrumpi, makan dan pulang kini sebelum acara makan-makan
berlangsung, agen WM menyisipinya dengan pembacaan shalawat nariyah. Tentunya
diawali dulu dengan sosialisasi tentang fadhilah pembacaan shalawat tersebut.
Di bidang pendidikan, solusi yang ditempuh
agen WM sebagai pemecah masalah minimnya tenaga pengajar ahli adalah dengan
mengadakan pembinaan seni mengajar Al-qur’an untuk seluruh Guru TPQ. Hal ini
mendapat respon baik dengan keantusiasan mereka mempraktekkannya dalam proses
KBM. Selain itu, untuk menarik perhatian anak didik mereka juga mensisipkan
metode hikayah, homeschooling dan praktek ibadah sebagai materi ekstrakurikuler
serta belajar dengan sistem outdor yang mengajak mereka berperan langsung di
dunia nyata seperti, seni peran, seni memimpin acara dan seni olah vocal yang
dipentaskan.
SAYONARA MEDAN PERANG (29 Juli 2011)
Meski ada yang bilang, ‘Kalian tak akan
dianggap berhasil jika tak bisa membuat mereka menangis saat kalian pergi’.
Yang jelas bagi Kami, keberhasilan itu didapat ketika kami berhasil bangkit
saat kami jatuh tersungkur, dan tetap kuat meski musuh memberondong kami dengan
berbagai senjata. Seandainya saja kami dinyatakan benar-benar gagal, kami tetap
akan bangga dengan hasil kerja kami. Ya, setidaknya kami bukan pecundang yang
lari terbirit-birit dari medan perang. Wuihh… sebenarnya masih banyak yang
ingin An-Nisa’ tulisankan untuk akhwat. Sayonara medan perang Kami tercinta…!
Semoga ada agen-agen WM yang lebih tangguh lagi untuk membantu memenangkan
perang./titah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar