Isu dan persoalan di sekitar “Radikalisme
dan Terorisme” tetap actual dan relevan di Indonesia. Keduanya kerap kali
memicu adrenalin pihak yang berada di posisi pro dan kontra. Radikalisme,
selamanya memberi implikasi kepada dua hal yakni keyakinan garis keras dan
teror sebagai aplikasinya. Dan naasnya gerakan-gerakan tersebut selalu
mengatasnamakan Islam sebagai beground. Mentafsiri doktrin agama dengan sangat
sederhana bahkan sangat sempit. Sehingga tak heran kalau muncul berbagai
pemikiran jalur keras yang sebenarnya tak sesuai dengan fitrah Islam sendiri. Bila
radikalisme dan terorisme dipandang sebagai gerakan remeh-temeh yang dianggap bisa
diatasi dengan hanya sekadar berkhutbah, jelas itu pemikiran keliru. Hal ini
dikarenakan kelompok tersebut memiliki akses internasional, program dan
pendanaan yang terorganisir.
Meski semuanya berakhir dramatis,
dengan tertembaknya tokoh-tokoh gerakan tersebut di tangan militer dan penegak
hukum namun, seluruh keadaan ini merupakan kenyataan konkrit berkelanjutan yang
memiliki potensi konflik luar biasa dan akan dihadapi Negara dan masyarakat,. Ada dua kemungkinan
yang akan terjadi setelah kematian pemimpin mereka, pertama terjadinya
rekonsiliasi (perdamaian) dan keamanan yang stabil. Dan yang kedua tetap ada dan bertahannya radikalisme dan terorisme. Dua
alasan yang dapat dianalisa adalah, pertama keberadaan terorisme sebenarnya
tidak mutlak karena adanya sebuah tambuk kepemimpinan tapi lebih kepada krisis
doktrin keagamaan yang di tafsir secara asal-asalan. Dan yang kedua adalah
bukan rahasia lagi kalau negara adidaya seperti AS dan sekutunya telah dengan
sengaja melakukan ketidakadilan global. Terutama dalam hal menghadapi persoalan sensitif yang
menyinggung dunia Islam seperti pada konflik Palestina-Israel.
Mengingat Generasi muda adalah sasaran
empuk gembong Terorisme. Institusi Pendidikan, sebagai badan yang merupakan
kepanjangan tangan dari Negara dalam hal membimbing, mendidik serta mencerdaskan
generasi muda dinyatakan wajib ikut andil.
Tidak ada maksud untuk menumpukkan
seluruh persoalan ini ke “pundak” institusi-institusi pendidikan, tetapi jelas institusi-institusi
pendidikan hendaknya memiliki peran yang konstruktif dalam proses transformasi
dan reformasi pemikiran mahasiswa sebagai daun muda Negara. Bukankah rata-rata
sasaran yang mereka bidik sebagai kaki tangan adalah para generasi muda yang
akrab sekali dengan istilah gejolak jiwa dan kelemahan prinsip serta doktrin
agama. Sehingga paling tidak Negara merasa lega memiliki senjata kuat, cerdas
dan memiliki komitmen kebangsaan sebagaimana yang diserukan para pengamat
sosial politik baru-baru ini.
Berbicara soal pendidikan, bukan
berarti menafikan ranah politik sebab bukan hal asing lagi kalau dunia
menjustisifikasi adanya implikasi politik dibalik munculnya aliran radikalisme
dan terorisme di Negara kita. Pihak yang terkait di dalamnya cenderung
memanfaatkan situasi-situasi genting demi menduduki kursi-kursi atau
pamor-pamor tertentu. Mereka memanf“Peran Institusi Pendidikan
dalam Membendung Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”
Isu dan persoalan di sekitar “Radikalisme
dan Terorisme” tetap actual dan relevan di Indonesia. Keduanya kerap kali
memicu adrenalin pihak yang berada di posisi pro dan kontra. Radikalisme,
selamanya memberi implikasi kepada dua hal yakni keyakinan garis keras dan
teror sebagai aplikasinya. Dan naasnya gerakan-gerakan tersebut selalu
mengatasnamakan Islam sebagai beground. Mentafsiri doktrin agama dengan sangat
sederhana bahkan sangat sempit. Sehingga tak heran kalau muncul berbagai
pemikiran jalur keras yang sebenarnya tak sesuai dengan fitrah Islam sendiri. Bila
radikalisme dan terorisme dipandang sebagai gerakan remeh-temeh yang dianggap bisa
diatasi dengan hanya sekadar berkhutbah, jelas itu pemikiran keliru. Hal ini
dikarenakan kelompok tersebut memiliki akses internasional, program dan
pendanaan yang terorganisir.
Buktinya adalah semakin maraknya beberapa
kasus menggemparkan baik di dalam maupun luar negri yang secara otomatis dicatat
oleh sejarah dunia. Sejak hancurnya simbol kejayaan ekonomi (WTC) dan
pertahanan AS (Pentagon) pada 2001 yang memvonis Osama bin Laden sebagai dalang
bom bunuh diri tersebut. Kemudian merembet ke dalam negri seperti Kasus bom
bali oleh Amrozi dan kawan-kawan menyusul persoalan-persoalan terorisme yang
diperankan oleh Noordin M.Top, Azhari, Dulmatin dan lain-lain. Lalu, beberapa
kasus terkait penyelundupan bom buku yang baru-baru ini muncul dan kembali
mendulang ketegangan yang luar biasa di kalangan masyarakat, tokoh masyarakat dan
elite politik.
Meski semuanya berakhir dramatis,
dengan tertembaknya tokoh-tokoh gerakan tersebut di tangan militer dan penegak
hukum namun, seluruh keadaan ini merupakan kenyataan konkrit berkelanjutan yang
memiliki potensi konflik luar biasa dan akan dihadapi Negara dan masyarakat,. Ada dua kemungkinan
yang akan terjadi setelah kematian pemimpin mereka, pertama terjadinya
rekonsiliasi (perdamaian) dan keamanan yang stabil. Dan yang kedua tetap ada dan bertahannya radikalisme dan terorisme. Dua
alasan yang dapat dianalisa adalah, pertama keberadaan terorisme sebenarnya
tidak mutlak karena adanya sebuah tambuk kepemimpinan tapi lebih kepada krisis
doktrin keagamaan yang di tafsir secara asal-asalan. Dan yang kedua adalah
bukan rahasia lagi kalau negara adidaya seperti AS dan sekutunya telah dengan
sengaja melakukan ketidakadilan global. Terutama dalam hal menghadapi persoalan sensitif yang
menyinggung dunia Islam seperti pada konflik Palestina-Israel.
Mengingat Generasi muda adalah sasaran
empuk gembong Terorisme. Institusi Pendidikan, sebagai badan yang merupakan
kepanjangan tangan dari Negara dalam hal membimbing, mendidik serta mencerdaskan
generasi muda dinyatakan wajib ikut andil.
Tidak ada maksud untuk menumpukkan
seluruh persoalan ini ke “pundak” institusi-institusi pendidikan, tetapi jelas institusi-institusi
pendidikan hendaknya memiliki peran yang konstruktif dalam proses transformasi
dan reformasi pemikiran mahasiswa sebagai daun muda Negara. Bukankah rata-rata
sasaran yang mereka bidik sebagai kaki tangan adalah para generasi muda yang
akrab sekali dengan istilah gejolak jiwa dan kelemahan prinsip serta doktrin
agama. Sehingga paling tidak Negara merasa lega memiliki senjata kuat, cerdas
dan memiliki komitmen kebangsaan sebagaimana yang diserukan para pengamat
sosial politik baru-baru ini.
Berbicara soal pendidikan, bukan
berarti menafikan ranah politik sebab bukan hal asing lagi kalau dunia
menjustisifikasi adanya implikasi politik dibalik munculnya aliran radikalisme
dan terorisme di Negara kita. Pihak yang terkait di dalamnya cenderung
memanfaatkan situasi-situasi genting demi menduduki kursi-kursi atau
pamor-pamor tertentu. Mereka memanfaatkan otak para pemikir jalur ekstrim untuk
meloloskan keinginan. Tak perlu heran kalau suatu saat mencuat kabar ke
permukaan bahwa sebenarnya radikalisme dan terorisme tak hanya sebatas
kesalahan pemahaman terhadap dokrin tertentu tapi, lebih ke arah permaianan
politik oknum-oknum yang menganut paham lempar batu sembunyi tangan.
Pertanyaannya sekarang, di mana letak
fungsi dan peran transformatif, reformatif dan konstruktif Institusi-institusi
pendidikan tersebut? Wujud tanggungjawab seperti apa yang dapat dilakukan Institusi-institusi
pendidikan dalam hal membantu negara serta masyarakat untuk mengatasi dan
menemukan “jalan keluar” bukan jalan pintas dari berbagai masalah ini? Bagaimana
Institusi-institusi pendidikan mampu melihat persoalan ini sebagai persoalan
bersama yang memerlukan kerjasama nonabstrak untuk menghadapi dan mengatasinya? Lantas sejauh mana
implikasi politik merambah radikalisme dan terorisme ? Adakah sekelumit
harapan untuk mengatasinya ?
Dalam konteks persoalan seperti di
atas itulah, dianggap penting untuk menyelenggarakan kegiatan Seminar di Institut
Keislaman Abdullah Faqih Suci Gresik.aatkan otak para pemikir jalur ekstrim untuk
meloloskan keinginan. Tak perlu heran kalau suatu saat mencuat kabar ke
permukaan bahwa sebenarnya radikalisme dan terorisme tak hanya sebatas
kesalahan pemahaman terhadap dokrin tertentu tapi, lebih ke arah permaianan
politik oknum-oknum yang menganut paham lempar batu sembunyi tangan.
Pertanyaannya sekarang, di mana letak
fungsi dan peran transformatif, reformatif dan konstruktif Institusi-institusi
pendidikan tersebut? Wujud tanggungjawab seperti apa yang dapat dilakukan Institusi-institusi
pendidikan dalam hal membantu negara serta masyarakat untuk mengatasi dan
menemukan “jalan keluar” bukan jalan pintas dari berbagai masalah ini? Bagaimana
Institusi-institusi pendidikan mampu melihat persoalan ini sebagai persoalan
bersama yang memerlukan kerjasama nonabstrak untuk menghadapi dan mengatasinya? Lantas sejauh mana
implikasi politik merambah radikalisme dan terorisme ? Adakah sekelumit
harapan untuk mengatasinya ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar