Senin, 19 Januari 2015

“Peran Institusi Pendidikan dalam Membendung Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”

Isu dan persoalan di sekitar “Radikalisme dan Terorisme” tetap actual dan relevan di Indonesia. Keduanya kerap kali memicu adrenalin pihak yang berada di posisi pro dan kontra. Radikalisme, selamanya memberi implikasi kepada dua hal yakni keyakinan garis keras dan teror sebagai aplikasinya. Dan naasnya gerakan-gerakan tersebut selalu mengatasnamakan Islam sebagai beground. Mentafsiri doktrin agama dengan sangat sederhana bahkan sangat sempit. Sehingga tak heran kalau muncul berbagai pemikiran jalur keras yang sebenarnya tak sesuai dengan fitrah Islam sendiri. Bila radikalisme dan terorisme dipandang sebagai gerakan remeh-temeh yang dianggap bisa diatasi dengan hanya sekadar berkhutbah, jelas itu pemikiran keliru. Hal ini dikarenakan kelompok tersebut memiliki akses internasional, program dan pendanaan yang terorganisir.
Buktinya adalah semakin maraknya beberapa kasus menggemparkan baik di dalam maupun luar negri yang secara otomatis dicatat oleh sejarah dunia. Sejak hancurnya simbol kejayaan ekonomi (WTC) dan pertahanan AS (Pentagon) pada 2001 yang memvonis Osama bin Laden sebagai dalang bom bunuh diri tersebut. Kemudian merembet ke dalam negri seperti Kasus bom bali oleh Amrozi dan kawan-kawan menyusul persoalan-persoalan terorisme yang diperankan oleh Noordin M.Top, Azhari, Dulmatin dan lain-lain. Lalu, beberapa kasus terkait penyelundupan bom buku yang baru-baru ini muncul dan kembali mendulang ketegangan yang luar biasa di kalangan masyarakat, tokoh masyarakat dan elite politik.
Meski semuanya berakhir dramatis, dengan tertembaknya tokoh-tokoh gerakan tersebut di tangan militer dan penegak hukum namun, seluruh keadaan ini merupakan kenyataan konkrit berkelanjutan yang memiliki potensi konflik luar biasa dan akan dihadapi Negara dan masyarakat,. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi setelah kematian pemimpin mereka, pertama terjadinya rekonsiliasi (perdamaian) dan keamanan yang stabil. Dan yang kedua tetap ada dan bertahannya radikalisme dan terorisme. Dua alasan yang dapat dianalisa adalah, pertama keberadaan terorisme sebenarnya tidak mutlak karena adanya sebuah tambuk kepemimpinan tapi lebih kepada krisis doktrin keagamaan yang di tafsir secara asal-asalan. Dan yang kedua adalah bukan rahasia lagi kalau negara adidaya seperti AS dan sekutunya telah dengan sengaja melakukan ketidakadilan global. Terutama dalam hal menghadapi persoalan sensitif yang menyinggung dunia Islam seperti pada konflik Palestina-Israel.
Mengingat Generasi muda adalah sasaran empuk gembong Terorisme. Institusi Pendidikan, sebagai badan yang merupakan kepanjangan tangan dari Negara dalam hal membimbing, mendidik serta mencerdaskan generasi muda dinyatakan wajib ikut andil.
Tidak ada maksud untuk menumpukkan seluruh persoalan ini ke “pundak” institusi-institusi pendidikan, tetapi jelas institusi-institusi pendidikan hendaknya memiliki peran yang konstruktif dalam proses transformasi dan reformasi pemikiran mahasiswa sebagai daun muda Negara. Bukankah rata-rata sasaran yang mereka bidik sebagai kaki tangan adalah para generasi muda yang akrab sekali dengan istilah gejolak jiwa dan kelemahan prinsip serta doktrin agama. Sehingga paling tidak Negara merasa lega memiliki senjata kuat, cerdas dan memiliki komitmen kebangsaan sebagaimana yang diserukan para pengamat sosial politik baru-baru ini.
Berbicara soal pendidikan, bukan berarti menafikan ranah politik sebab bukan hal asing lagi kalau dunia menjustisifikasi adanya implikasi politik dibalik munculnya aliran radikalisme dan terorisme di Negara kita. Pihak yang terkait di dalamnya cenderung memanfaatkan situasi-situasi genting demi menduduki kursi-kursi atau pamor-pamor tertentu. Mereka memanf“Peran Institusi Pendidikan dalam Membendung Radikalisme dan Terorisme di Indonesia”

Isu dan persoalan di sekitar “Radikalisme dan Terorisme” tetap actual dan relevan di Indonesia. Keduanya kerap kali memicu adrenalin pihak yang berada di posisi pro dan kontra. Radikalisme, selamanya memberi implikasi kepada dua hal yakni keyakinan garis keras dan teror sebagai aplikasinya. Dan naasnya gerakan-gerakan tersebut selalu mengatasnamakan Islam sebagai beground. Mentafsiri doktrin agama dengan sangat sederhana bahkan sangat sempit. Sehingga tak heran kalau muncul berbagai pemikiran jalur keras yang sebenarnya tak sesuai dengan fitrah Islam sendiri. Bila radikalisme dan terorisme dipandang sebagai gerakan remeh-temeh yang dianggap bisa diatasi dengan hanya sekadar berkhutbah, jelas itu pemikiran keliru. Hal ini dikarenakan kelompok tersebut memiliki akses internasional, program dan pendanaan yang terorganisir.
Buktinya adalah semakin maraknya beberapa kasus menggemparkan baik di dalam maupun luar negri yang secara otomatis dicatat oleh sejarah dunia. Sejak hancurnya simbol kejayaan ekonomi (WTC) dan pertahanan AS (Pentagon) pada 2001 yang memvonis Osama bin Laden sebagai dalang bom bunuh diri tersebut. Kemudian merembet ke dalam negri seperti Kasus bom bali oleh Amrozi dan kawan-kawan menyusul persoalan-persoalan terorisme yang diperankan oleh Noordin M.Top, Azhari, Dulmatin dan lain-lain. Lalu, beberapa kasus terkait penyelundupan bom buku yang baru-baru ini muncul dan kembali mendulang ketegangan yang luar biasa di kalangan masyarakat, tokoh masyarakat dan elite politik.
Meski semuanya berakhir dramatis, dengan tertembaknya tokoh-tokoh gerakan tersebut di tangan militer dan penegak hukum namun, seluruh keadaan ini merupakan kenyataan konkrit berkelanjutan yang memiliki potensi konflik luar biasa dan akan dihadapi Negara dan masyarakat,. Ada dua kemungkinan yang akan terjadi setelah kematian pemimpin mereka, pertama terjadinya rekonsiliasi (perdamaian) dan keamanan yang stabil. Dan yang kedua tetap ada dan bertahannya radikalisme dan terorisme. Dua alasan yang dapat dianalisa adalah, pertama keberadaan terorisme sebenarnya tidak mutlak karena adanya sebuah tambuk kepemimpinan tapi lebih kepada krisis doktrin keagamaan yang di tafsir secara asal-asalan. Dan yang kedua adalah bukan rahasia lagi kalau negara adidaya seperti AS dan sekutunya telah dengan sengaja melakukan ketidakadilan global. Terutama dalam hal menghadapi persoalan sensitif yang menyinggung dunia Islam seperti pada konflik Palestina-Israel.
Mengingat Generasi muda adalah sasaran empuk gembong Terorisme. Institusi Pendidikan, sebagai badan yang merupakan kepanjangan tangan dari Negara dalam hal membimbing, mendidik serta mencerdaskan generasi muda dinyatakan wajib ikut andil.
Tidak ada maksud untuk menumpukkan seluruh persoalan ini ke “pundak” institusi-institusi pendidikan, tetapi jelas institusi-institusi pendidikan hendaknya memiliki peran yang konstruktif dalam proses transformasi dan reformasi pemikiran mahasiswa sebagai daun muda Negara. Bukankah rata-rata sasaran yang mereka bidik sebagai kaki tangan adalah para generasi muda yang akrab sekali dengan istilah gejolak jiwa dan kelemahan prinsip serta doktrin agama. Sehingga paling tidak Negara merasa lega memiliki senjata kuat, cerdas dan memiliki komitmen kebangsaan sebagaimana yang diserukan para pengamat sosial politik baru-baru ini.
Berbicara soal pendidikan, bukan berarti menafikan ranah politik sebab bukan hal asing lagi kalau dunia menjustisifikasi adanya implikasi politik dibalik munculnya aliran radikalisme dan terorisme di Negara kita. Pihak yang terkait di dalamnya cenderung memanfaatkan situasi-situasi genting demi menduduki kursi-kursi atau pamor-pamor tertentu. Mereka memanfaatkan otak para pemikir jalur ekstrim untuk meloloskan keinginan. Tak perlu heran kalau suatu saat mencuat kabar ke permukaan bahwa sebenarnya radikalisme dan terorisme tak hanya sebatas kesalahan pemahaman terhadap dokrin tertentu tapi, lebih ke arah permaianan politik oknum-oknum yang menganut paham lempar batu sembunyi tangan
Pertanyaannya sekarang, di mana letak fungsi dan peran transformatif, reformatif dan konstruktif Institusi-institusi pendidikan tersebut? Wujud tanggungjawab seperti apa yang dapat dilakukan Institusi-institusi pendidikan dalam hal membantu negara serta masyarakat untuk mengatasi dan menemukan “jalan keluar” bukan jalan pintas dari berbagai masalah ini? Bagaimana Institusi-institusi pendidikan mampu melihat persoalan ini sebagai persoalan bersama yang memerlukan kerjasama nonabstrak untuk menghadapi dan mengatasinya? Lantas sejauh mana implikasi politik merambah radikalisme dan terorisme ? Adakah sekelumit harapan untuk mengatasinya ?
Dalam konteks persoalan seperti di atas itulah, dianggap penting untuk menyelenggarakan kegiatan Seminar di Institut Keislaman Abdullah Faqih Suci Gresik.aatkan otak para pemikir jalur ekstrim untuk meloloskan keinginan. Tak perlu heran kalau suatu saat mencuat kabar ke permukaan bahwa sebenarnya radikalisme dan terorisme tak hanya sebatas kesalahan pemahaman terhadap dokrin tertentu tapi, lebih ke arah permaianan politik oknum-oknum yang menganut paham lempar batu sembunyi tangan
Pertanyaannya sekarang, di mana letak fungsi dan peran transformatif, reformatif dan konstruktif Institusi-institusi pendidikan tersebut? Wujud tanggungjawab seperti apa yang dapat dilakukan Institusi-institusi pendidikan dalam hal membantu negara serta masyarakat untuk mengatasi dan menemukan “jalan keluar” bukan jalan pintas dari berbagai masalah ini? Bagaimana Institusi-institusi pendidikan mampu melihat persoalan ini sebagai persoalan bersama yang memerlukan kerjasama nonabstrak untuk menghadapi dan mengatasinya? Lantas sejauh mana implikasi politik merambah radikalisme dan terorisme ? Adakah sekelumit harapan untuk mengatasinya ?


Tidak ada komentar: