Wahai...
yang jiwanya tanpa dendam. Wahai... yang jiwanya tanpa redam. Wahai... yang
jiwanya tanpa keluh, resah. Wahai... yang jiwanya tanpa amarah. Wahai... yang
jiwanya tanpa dengki. Wahai... yang maafnya tiada tepi. Wahai... yang jiwanya seperti
matahari, tiada henti memancarkan radiasi hingga kehidupan tak berhenti.
Menyesal jiwaku tak kenal jiwamu sejak dulu. Bahkan kapan dan dimana kau
dilahirkan aku tak tahu. Sesalku saat selimut menutup kulit jernihmu. Kau juga
menutup matamu untuk pendamping, putra, murid dan udaramu. 20012013, Aku tak
akan lupa digit itu. Di saat kau menghembuskannya terakhirkali. Katamu, “Aku
sudah tak membutuhkan udara fana. Aku dijanjikan sebuah istana megah di sana.”
Tawamu membahana. Terdengar jelas, kemudian remang dan ... kemana dia, kemana
tawa itu... kau meninggalkannya tanpa membawa kursi roda yang teronggok. Tawamu
hilang bersama angin puyuh di ujung jalan. Ah, Aku ini bagaimana? Jangankan
kursi roda, Aku saja tak bisa kau bawa...!
Bagaimana
Kau bisa pergi kalau masih banyak jiwa – jiwa rapuh mengemis tauladan darimu.
Ikrar – ikrar penerusmu menggaung, bersahutan, Kau selalu menjawab Iya...
putraku. Aku menyesal, kenapa baru kemarin, seminggu sebelum kau pergi aku
teringat... Kau tahu Aku teringat apa? Pohon asam manis. Kau begitu
menyukainya, bukan...? Aku pun begitu...!Bidadariku, ingin rasanya aku berhenti
bernafas sejenak kemudian menemuimu dengan membawa sebungkus buah asam manis di
tangan kiriku.Kata Ayah Sang Bidadari sudah menikmati malam pertamanya di
surga. Kata Ayah, istananya sangat indah.Buah asam di sana juga jauh lebih
manis dan nikmat. Bidadariku, Aku rindu padamu! Semoga
orang – orang menyebutku Sang Bidadari ketika aku pergi jauh nanti.
Sepertimu...
Tertulis
di atas atap – atap kerinduan
Untuk
Sang Bidadari Kami
Ibunda
Nyai Hj. Ainiyah Yusuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar