Senin, 19 Januari 2015

SANG BIDADARI

Wahai... yang jiwanya tanpa dendam. Wahai... yang jiwanya tanpa redam. Wahai... yang jiwanya tanpa keluh, resah. Wahai... yang jiwanya tanpa amarah. Wahai... yang jiwanya tanpa dengki. Wahai... yang maafnya tiada tepi. Wahai... yang jiwanya seperti matahari, tiada henti memancarkan radiasi hingga kehidupan tak berhenti. Menyesal jiwaku tak kenal jiwamu sejak dulu. Bahkan kapan dan dimana kau dilahirkan aku tak tahu. Sesalku saat selimut menutup kulit jernihmu. Kau juga menutup matamu untuk pendamping, putra, murid dan udaramu. 20012013, Aku tak akan lupa digit itu. Di saat kau menghembuskannya terakhirkali. Katamu, “Aku sudah tak membutuhkan udara fana. Aku dijanjikan sebuah istana megah di sana.” Tawamu membahana. Terdengar jelas, kemudian remang dan ... kemana dia, kemana tawa itu... kau meninggalkannya tanpa membawa kursi roda yang teronggok. Tawamu hilang bersama angin puyuh di ujung jalan. Ah, Aku ini bagaimana? Jangankan kursi roda, Aku saja tak bisa kau bawa...!
Bagaimana Kau bisa pergi kalau masih banyak jiwa – jiwa rapuh mengemis tauladan darimu. Ikrar – ikrar penerusmu menggaung, bersahutan, Kau selalu menjawab Iya... putraku. Aku menyesal, kenapa baru kemarin, seminggu sebelum kau pergi aku teringat... Kau tahu Aku teringat apa? Pohon asam manis. Kau begitu menyukainya, bukan...? Aku pun begitu...!Bidadariku, ingin rasanya aku berhenti bernafas sejenak kemudian menemuimu dengan membawa sebungkus buah asam manis di tangan kiriku.Kata Ayah Sang Bidadari sudah menikmati malam pertamanya di surga. Kata Ayah, istananya sangat indah.Buah asam di sana juga jauh lebih manis dan nikmat. Bidadariku, Aku rindu padamu! Semoga orang – orang menyebutku Sang Bidadari ketika aku pergi jauh nanti. Sepertimu...

Tertulis di atas atap – atap kerinduan
Untuk Sang Bidadari Kami

Ibunda Nyai Hj. Ainiyah Yusuf

Tidak ada komentar: