Jumat, 17 Desember 2010

BERTAHAN SATU CINTA


Ketika cinta menggoda, ucapkan sampai jumpa…! Tidak adil rasanya jika tanpa dalil yang shorih, sebaris kalimat itu terlontar begitu saja. Apalagi diakhiri dengan tiga tanda titik serta sebuah tanda seru yang mengancam. Islam mengakui adanya rasa cinta yang ada dalam diri manusia. Ketika seseorang memiliki rasa cinta, maka hal itu adalah anugerah Yang Kuasa. Termasuk rasa cinta kepada wanita (lawan jenis) dan lain-lainnya.

Dijadikan indah pada manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik .`(QS. Ali Imran :14). Manusia tidak jatuh kedalam cinta dan tidak juga keluar dari cinta, tetapi manusia tumbuh dan besar di dalam cinta. Mengapa harus membenci yang jelas-jelas karunia Ilahi? Ketahuilah…!Yang harus di benci dan di hindari ialah kepalsuan, bukan cinta…!
Lantas, kenapa harus tak yakin kalau Cinta adalah titipan Allah. A Course in Miracles Sebuah judul yang terakhir penulis temukan dalam salah satu paragraf karya Gerald G. Jampolsky, MD. Kalimat pendek yang membuat psikiatris ini kagum. Walau awalnya Dia menganggap pengecut kaum spiritual lantaran tak berani bermain dengan intelektual. Toh, pada akhirnya Dia meyakini kalimat tersebut berarti Allah dan Cinta. Serta Cinta dan Allah. Penafsirannya kemudian berkembang menjadi sebuah peryataan berbunyi, ‘di dunia ini ada dua jenis emosi, cinta dan ketakutan’. Bisa jadi salah satu dari keduannya akan musnah jika yang lain beranak pinak. Atau justru berkembang merajalela jika yang satu tak ditepis. Takut karena cinta atau cinta versus takut.
Sebuah jalur pengagung cinta berebut saling menyumbangkan argumen. Individu atau kelompok kekeh berkeyakinan cinta haqiqi adalah perasaan cinta yang timbul tanpa tahu kenapa cinta itu hadir secara tiba-tiba. Kemudian sluman slumun merusak syaraf konsentrasi sehingga sulit bagi korbannya untuk bertahan hidup. Namun, ironisnya semua menikmati penyiksaan cinta itu karena memang indah dan menyenangkan. Sebagian lagi berkeyakinan cinta haqiqi adalah seni mengolah rasa dan kepekaan pada objek yang dicintainya. Atau menafsirinya sebagai alat mempelajari ilmu memperkaya kecerdasan sosial. Mereka mengatakan jangan selalu menganggap cinta itu salah. Cinta bukan kambing hitam. Ada pernyataan yang lebih ekstrim ketika ditemukan oknum yang menamakan dirinya sebagai mujahid cinta, lantas berargumen jangan katakan cinta jika tak menyerahkan seluruh miliknya, harta, raga serta nyawa termasuk kehormatannya.
Dari jalur yang bersebrangan justru sangat fanatik sehingga membaiat anggotanya sebagai pasukan GAL (Gerakan Anti Love), istilah yang tak lazim terdengar karena hanya sebuah kesimpulan penulis. Mereka berkata tegas Aku mati rasa pada cinta karena cinta hanya keabstrakan yang menutup mati akal dan menjadikannya kosong. Bahkan riset terpercaya Amerika Serikat menyatakan bahwa 80 % pasangan yang pernikahannya tidak bertahan lama adalah pasangan yang melakukan pernikahan berkedok cinta.
Apapun jalan tafsir mereka asalkan punya dalil sesuai syara’, tak jadi soal. Namun, seperti yang terekam kuat dalam ingatan penulis tentang jenis cinta, Abuya Yahya, pengasuh Pesantren Al-Bahjah asal Cirebon mengemukakan pengertiannya secara gamblang. Menurut beliau Cinta mempunyai dua jenis kelamin, haqiqi dan nafsu. Penafsiran yang seringkali salah dan menjebak jalan pikiran. Karena memang ada lapisan tipis pembeda diantara keduanya.
Cinta itu adalah perasaan yang mesti ada pada tiap-tiap diri manusia, ia laksana setetes embun yang turun dari langit, bersih dan suci. Hanya tanah-nyalah yang berlain-lainan menerimanya. Jika ia jatuh ke tanah yang tandus, ia akan tumbuh sebagai pendusta, penipu dan lain lainnya hal yang tercela. Tetapi jika ia jatuh ke tanah yang subur, di sana ia akan tumbuh kesucian hati, keikhlasan, setia, dan budi pekerti yang tinggi serta perangai lainnya yg terpuji.
Pernyataan diatas yang kemudian melahirkan pengertian cinta haqiqi adalah cinta yang seluruh energinya digiring mengarah pada Sang Khaliq, sehingga kadar kecintaannya pada Allah mencapai target yang tinggi. Justru, segala kecintaannya pada makhluk tercurahkan semata-mata hanya karena Allah. Hal ini berdasar pada QS Al Baqarah 165, "Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.”
Memang benar keberadaan perasaan cinta adalah abstrak. Namun sesungguhnya perasaan cinta bisa diwujudkan sebagai perilaku yang tampak oleh mata. Salah besar jika beranggapan bahwa keabstrakan itu bisa mematikan akal atau menjadikannya kosong. Justru dengan keabstrakan, nilai seni akan mencapai point tertinggi. Dengan keabstrakan dunia ini terlihat bervariasi. Apalagi perasaan cinta yang tepat sasaran sesuai syari’at. Tapi, Jangan katakan ‘lagi-lagi menyuplai syari’at pada argumen’. Itu karena Kita memang terlahir, hidup dan mati dengan Syari’at Kita, Islam.
Tentang sasaran tembakan cinta, Islam menyajikan pelajaran yang berharga tentang manajemen cinta; tentang bagaimana manusia seharusnya menyusun skala prioritas cintanya. “Urutan tertinggi perasaan cinta adalah kepada Allah SWT, kemudian kepada Rasul-Nya” (QS 33: 71). Cinta pada sesama makhluk diurutkan sesuai dengan firman-Nya (QS 4: 36), “yaitu kedua orang ibu-bapa, karib-kerabat (yang mahram), anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya.” “Sedangkan harta, tempat tinggal, dan kekuasaan juga mendapat porsi untuk dicintai pada tataran yang lebih rendah” (QS 9: 24).
Mengenai gambaran mencintai Allah terkadang sulit diinterpretasikan. Ada Beberapa tanda-tanda cinta seseorang kepada Allah SWT adalah banyak bermunajat, sholat sunnah, membaca Al Qur’an dan berdzikir karena dia ingin selalu bercengkerama dan mencurahkan semua perasaan hanya kepada-Nya. Bila Sang Khaliq memanggilnya melalui suara adzan maka dia bersegera menuju ke tempat sholat agar bisa berjumpa dengan-Nya. Bahkan bila malam tiba, dia ikhlas bangun tidur untuk berduaan (ber-khalwat) dengan Rabb kekasihnya melalui shalat tahajjud.
Lantas cinta yang bagaimanakah cinta berjenis kelamin nafsu. Aristoteles berujar “Cinta buta adalah kebodohan membalikkan hati yang hampa, sehingga dia tidak lagi mau memikirkan urusan perniagaan dan kerja. Cinta buta adalah cinta yang buta untuk melihat aib orang yang dicintai.” Ungkapan inilah yang secara tidak langsung mengamini penafsiran Buya Yahya tentang definisi cinta nafsu.
Menurut beliau (baca: Buya Yahya) mencintai seseorang tanpa kriteria itu nafsu. Maksud kriteria di sini bukan kedudukan, jabatan atau melimpahnya harta yang lebih bersifat duniawi. Tapi, kaya, berderajat dan berkedudukan di mata Allah SWT. Ya walaupun hal-hal berbau duniawi itu tidak sepenuhnya salah. Yang penting sudah kah target Kita berkedudukan tinggi dengan akhlaqnya. Sudahkah target kita berderajat langit dengan kedekatan pada Rabb-Nya. Atau sudahkah target kita berharta ilmu syari’at. Kalau kriteria itu belum ada pada daftar sifat Sang target, bisa jadi rasa cintanya adalah cinta yang buta atau lebih tepatnya cinta yang tuli. Karena terkadang orang berpenyakit cinta error enggan mendengar nasihat dan arahan dari siapun
Bukan cinta haqiqi namanya kalau cara mengungkapkannya saja sambil berteriak-teriak di tengah jalan. ‘Honey, Aku padamu.’ ‘I love U’ atau sejenisnya. Si korban jangan lantas berbangga-bangga ria karena pada hakikatnya itu hanyalah sebuah penghinaan besar yang menjatuh-totalkan harga diri.
Ungkapan cinta dalam pandangan Islam adalah sebuah tanggung jawab yang tidak mungkin sekedar diucapkan atau digoreskan di atas kertas surat cinta belaka. Atau janji muluk-muluk lewat SMS, chatting dan sejenisnya. Tapi cinta sejati yang haqiqi haruslah berbentuk ikrar dan pernyataan tanggung-jawab yang disaksikan oleh orang banyak. Cara inilah yang Insya Allah akan mematahkan hasil riset terpercaya AS tentang pernyataan 80 % tingkat perceraian terjadi karena cinta.
Garis pembeda antara cinta nafsu dan cinta haqiqi karena Allah sangat tipis dan samar. Pilihan jatuh di tangan kita. Allah telah menghapus kesamaran itu sedikit demi sedikit. Haruskah ungkapan ‘Gak jaman punya pacar satu saja’ terpatri dan kemudian menyatu dalam idiologi kita. Ajarilah cinta pada diri Kita. Kemudian bertahan pada satu cinta. Cinta haqiqi. Dan. Allah-lah yang berhak.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Cinta akn abadi jika mencintai yg abadi, terkadang birahi dibilang cinta..
Cinta ia bgitu suci,. Mski sering ternodai oleh org2 yg mengatas namakn kesucian...