Rabu, 08 Desember 2010

DI PENGHUJUNG TAHUN HIJRIYAH

Senin, 6 Desember 2010 M
1 Muharrom 1431 H

17.30 WIB, Menjelang maghrib
“Attention! For All students must gather to the mosque to read last year do’a.” Suara lembut perempuan dari pengeras suara mengalun seiring riuh suara dan derap langkah santriwati berbondong-bondong menuju musholla Akbar, mendekap kitab Majmu’ Mubarokah (kumpulan aurodh yang dibaca santri setiap hari).
Ya, dua hari yang lalu di Pesantren Kota Pudak tempat Saya mengabdi intelektual, ribuan santriwati menggelar acara melepas kepergian akhir tahun dan menyambut tahun baru Hijriyah atau biasa kita kenal tahun baru Islam. Berbeda dengan tahu baru Masehi yang kerapkali di rayakan Ummat sedunia pada setiap tanggal 1 Januari dan ditentukan pergantian harinya setelah lewat pukul 24.00/00.00 WIB. Tahun Baru Islam di katakan telah tiba jika matahari telah kembali keperaduannya.

Dipandu putra Romo Yai, santriwati dengan khusyuknya membaca do’a akhir tahun yang diulang sebanyak 3 kali setelah sebelumnya dimaknai ke dalam bahasa Indonesia. Kemudian selepas shalat Maghrib, dipimpin imam, santri membaca do’a awal tahun bersama-sama.
Ketika mencoba membaca keadaan, ada peristiwa-peristiwa yang bagi saya luar biasa, pertama menyaksikan linangan air mata gadis kecil, wajahnya tertunduk mengangkat kedua tangannya setinggi dada, tak peduli dengan beberapa teman disebelahnya yang sesekali tertawa rendah karena sadar salah membaca lafadz do’a. Dan ketika pembacaan aurodh maghrib berlangsung, beberapa santri mulai gaduh, sebab dikagetkan oleh bunyi ledakan mercon yang membabi buta diluar gedung pesantren. Kebanyakan konsentrasi mereka buyar.
Namun, saya bersyukur karena banyak hal yang bisa saya ambil dari peristiwa yang terjadi hari itu: pertama terkait Do’a, yang saya ingat dari keterangan guru, tujuan memahami ma’na do’a adalah agar do’a tersebut benar-benar menancap di hati dan akhirnya timbullah kekhusyu’an. Mungkin setelah ini salah satu dari sobat akan bertanya lalu bagaimana dengan firman Allah SWT yang berbunyi, ''Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.'' (QS Al-Baqarah: 186). Bukankah dengan firman-Nya ini, Allah berjanji akan mengabulkan siapa saja yang berdoa kepada-Nya. Sebab Allah tidak mungkin menyalahi janji-Nya (QS 3: 9). Bahkan, dikabulkannya setiap doa merupakan kelebihan yang tidak dimiliki oleh umat selain umat Muhammad SAW. (Tafsir Al-Qurthubi). Lantas masih diperlukan-kah sebuah kekhusyu’an dalam do’a. Masih perlukah esensi do’a itu menembus hati.
Perlu diingat bahwa kata dikabulkan harus dipahami dengan benar, agar terhindar dari hal-hal yang justru akan merugikan diri sendiri. Saya jadi teringat nasehat kecil guru, beliau benar-benar marah jikalau melihat muridnya berlaku tak sopan saat berdo’a. Beliau mengumpamakan orang berdo’a dengan pengemis. Coba bayangkan saja jika pengemis meminta-minta dengan lagak angkuh atau dengan nada bergurau. Siapa yang akan peduli pada tingkah polah pengemis menyebalkan seperti itu? Bandingkan dengan cara meminta yang memelas, bertindak seakan-akan dia adalah orang hina sedunia. Pengemis yang mana yang akan memperoleh simpati? Anda bsa menjawabnya sendiri bukan? Begitu pula dengan berdo’a kepada Allah. Berdo’a kepada Allah tidak perlu berteriak-teriak atau menyentak karena sesungguhnya Allah itu Maha mendengar. Apalagi sengaja berdo’a sambil bergurau… sangat tidak sopan. Jadi, jangan harap do’a itu terkabul, jika memintanya saja Kita tak serius.
Hikmah kedua, terbesit ketika telinga Saya mendengar suara ledakan mercon yang suaranya menggema dan percikan apinya mengangkasa. Benar-benar lambang kegembiraan. Saat itu Saya bersyukur, telah menjadi bagian dari sederet santri yang duduk di atas sajadah, menunduk, mengangkat kedua tangan, meski saya tidak tahu do’a saya terkabul atau tidak, yang jelas dengan duduk di atas sajadah Saya bisa belajar mengoreksi perbuatan saya selama 365 hari. Karena tiba-tiba datang kesadaran akan dekatnya umur menjelang maut. Bukankah semakin bertambah tahun yang Kita lalui maka semakin berkurang umur Kita, lantas kenapa Kita harus merayakannya dengan bersuka cita. 365 hari. Waktu yang tak sedikit. Jika diprosentase dihadapan Allah, bisakah prosentase maksiat tertutupi oleh amal ibadah Kita?
Wajib hukumnya sadar bahwa manusia tercipta sebagai agent of change, dengan catatan bukan perubahan dari hal baik ke hal yang justru merusak. Meski perubahan itu butuh waktu, setidaknya Kita sudah memulainya. Dari penghujung tahun hijriyah ini, menyongsong tahun baru. Selamat berubah!

Selesai
Pada Rabu pagi, 8 Desember 2010 M/ 3 Muharrom 1431 H
Di bawah atap markas

1 komentar:

Cak-Havy mengatakan...

pengen komentar,
tapi kapan2 aja dech...