Selasa, 22 November 2011

KETIKA DOSA TELAH TERTAWAR

Tanpa basa-basi, orang akan mengatakan Agama sebagai sebuah keharusan hidup mulai diragukan perannya karena kesalahpahaman berfikir. Agama yang diawal berperan sebagai juru damai dan lambang kekuatan moral kini pincang dan berjalan terseok-seok. Sebab dalam kondisi tertentu, Ia gagal memenuhi harapan pemeluknya untuk memberangus kekerasan dan melanggengkan perdamaian.
Memang benar pada dasarnya, semua agama melancarkan penolakan terhadap kekerasan karena sifatnya yang a-moral. Namun dengan dukungan sentimen idiologi, etnis dan golongan politik, agama justru tampil sebagai pemegang kendali senjata perusak. Lagi-lagi itu karena kesalahan berfikir. Padahal jika dikaji ulang, selamanya kekerasan tidak bisa duduk bersanding dengan misi perdamaian dalam satu wadah yang disebut agama. 
Dalam bukunya Agama dan kekerasan dalam Transisi demokrasi Indonesia, Haqqul Yaqin mencuplik pendapat Mark Juergensmeyer sebagai penjelasan kenapa tiba-tiba agama tidak berpegang prinsip klasiknya. Menurut Mark, keterkaitan kekerasan dengan agama bukanlah sebuah penyelewengan yang fatal sebab kondisi tersebut lahir dari induk yang disebut cosmic war. Pandangan ini diilhami oleh beberapa ide agama yang menggariskan bahwa manusia (objek yang harus dilindungi agama) selalu terancam oleh kejahatan. Sehingga agama men-setting pemikiran pemeluknya untuk berjuang memerangi kejahatan itu. Dari sudut pandang ini, kekerasan kemudian memiliki struktur yang rapi hampir di setiap sistem kepercayaan.

Sekali lagi akan kami ulang, bahwa sebab-sebab dan motif-motif kekerasan tersebut muncul dari beberapa alasan politik, ekonomi, sosial-budaya, hingga frustasi. Hingga muaranya pada manipulasi doktrin agama yang dalam testimoninya, mereka mengumbar istilah jihad, melawan orang kafir, merindukan mati syahid dan sedang menjemput surga.
Secara bahasa Jihad adalah بذل الطاقة والوسع yang berarti mengeluarkan kekuatan dan apa saja yang dimampuinya. Sedangkan menurut syara’ dalam kitab Haasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’, Abdur Rohman Bin Qosim An-Najdi vol. 4 hlm 253 jihad adalah
جهاد الكفار ودعوتهم إلى الدين الحق وقتالهم إن لم يقبلوا
Yaitu melawan orang-orang kafir, mengajak mereka masuk ke dalam agama yang haq, dan memerangi mereka jika menentang masuk Islam.
Rosulullah SAW bersabda;              
وأنا امركم بخمس الله أمرني بهن بالجماعة والسمع والطاعة والهجرة والجهاد
أحمد عن حريث الأشعرى وصححه ترمذى ) ( رواه
“Dan aku perintahkan kalian dengan lima perkara, yang Allah telah memerintahkan padaku denganya: dengan berjama’ah, mendengar dan taat, hijrah dan jihad.” (HR. Ahmad dari Haris Al Asy’ary dan Turmudzi  dan dia menshahihkannya)
Inilah yang lantas dijadikan bahan barter atas dosa oleh beberapa oknum. Memang dalam Islam kita mengenal istilah ekspansi atau perluasan wilayah (kekuasaan) sebagai usaha penyebaran ajaran. Sepanjang sejarah dengan ekspansi telah menghasilkan beberapa peperangan. Dan untuk mendorong bergabungnya beberapa golongan, kemudian tersisipkanlah embel-embel jihad di jalan Tuhan. Akhirnya praktik jihad dapat dikatakan sebagian dari ibadah. Sedangkan gugur pada saat menjalankan ibadah pada Tuhan dihukumi syahid dengan beberapa pahala yang luar biasa. Namun itu, peristiwa klasik dan beralasan yang tak sembarangan bisa dipraktikkan untuk saat ini.
Jika dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad dari Sa’id Ibn Zaid, bahwa; orang yang terbunuh membela haknya, keluarganya atau agamanya adalah syahid. Maka, orang yang mati syahid seperti yang tersebut dalam beberapa hadits berhak atas 6 anugerah, diantaranya; diampuni dosanya sejak tetes darahnya yang pertama, bisa melihat tempatnya di surga, dihiasi dengan perhiasan iman, dikawinkan dengan bidadari, dijauhkan dari siksa kubur dan aman dari kengerian Yaumul Faza’il Akbar.
Dengan kefahaman tak bertanggung jawab seseorang terhadap isi hadits tersebut, beberapa slogan pemicu aksi dimunculkan paksa. ‘Isy Karima au mut syahidan’. Slogan ini yang mengobarkan semangat untuk menjadi semakin radikal bahkan mencapai maqom teroris. Padahal seharusnya slogan ini menjadi stimulus kita untuk menjadi manusia yang lebih mulia. Lantas kapan gelar manusia mulia itu akan disandang? Idealnya, ya ketika kita sudah bisa mencontoh Rosulullah Saw. Atau setidaknya seperti sahabat-sahabat Rosul atau jika tak mampu ya seperti Ulama’ sholeh yang ngerti, bukan ulama’ GADUNGAN.
Kalau kita berguru pada ulama’ gadungan akibatnya, seperti yang seringkali terjadi di negri kita, Indonesia. Banyak diantara mereka menjadi korban yang menurut Dr. KH. A. Mustofa Bisri disebut sebagai taklid buta. Karena asal meniru tanpa mempertimbangkannya lebih matang, hasilnya ya lucu dan menggelikan. Dalam persoalan jihad mereka taqlid pada negara timur tengah, Iran atau Afganistan yang jelas-jelas memfungsikan kata jihad pada tempatnya. Itulah akibat dari taklid yang asal-asalan, mencontek perjuangan bangsa tertindas menyelamatkan negri tumpah darahnya dari musuh, dengan misalnya melakukan aksi bom bunuh diri. Aneh kan? Padahal Rosulullah SAW berperang bukan untuk menghadapi kematian atau kekalahan tapi untuk menang dan meraih kemuliaan hidup.
Allah SWT berfirman dalam (QS. An-Nisa’ 4:29), ولا تقتلوا آنفسكم ..... “Dan janganlah kamu membunuh dirimu” menurut para mufassir larangan membunuh diri itu juga berarti larangan membunuh orang lain. Karena kita adalah satu kesatuan, berasal dari satu nur Muhammad. Apalagi jika nyawa yang kita hilangkan itu adalah nyawa yang sama sekali tak berdosa. Masih layakkah disebut Syahid? Kalau si Syahid, penjaga pom mungkin bisa, bedanya ya yang dia jaga itu bom.
Bukankah meraih kemulian hidup tak harus dengan cara menanam dinamit dan meledakkannya, apalagi di negara yang jelas-jelas ditinggali oleh saudara mayoritas seiman seislam. ‘Yang ada tu mah, mati sangit di neraka bukan mati syahid’. Jika difikir-fikir, benar juga kata Dr. KH. A. Mustofa Bisri, betapa munafiq dan egoisnya jika mengorbankan manusia tak berdosa demi mendapatkan bonus bidadari surga. 
Yang benar hidup mulia dulu, baru jika Allah mentaqdirkan syahid itu berarti nilai plus. Bukan malah dijungkir balik mencari beragam cara untuk mati syahid agar mendapatkan kehidupan mulia. Kemulian hidup tak harus diraih dengan kesyahidan apalagi sampai menawarnya dengan dosa membunuh namun, bisa diluluskan dengan sebuah keamanahan. Contoh sederhananya, seperti keamanahan kita menjaga titipan Allah yang berupa ilmu, harta, keluarga dan kedudukan.
Tanpa ada akhir kesyahidan terus menjadi impian pihak tertentu atau oleh –kau tahu siapa- (sedikit mencontek cara J.K. Rowling menyebut Voldemort -Sang raja kegelapan-), yang mengusung agama sebagai porosnya. Mereka mencari jalan pintas menuju surga dengan melakukan transaksi gelap dengan malaikat. Meski sebenarnya mereka sadar malaikat juga tahu bahwa makna kesyahidan menimbulkan persoalan yang multi-tafsir, tetap saja mereka berbangga mengatakan; ‘Alhamdulillah ya, saya sudah di surga. Mati itu memang sesuatu’. Tak berlebihan jika kita menjawab sambil tertawa: JANGAN KE-PD-AN BUNG…! I 

Tidak ada komentar: