Kamis, 03 Juli 2014

Kerikil Kecil Hamzah

20 Juli 2012 M/ 30 Sya’ban 1433 H
Innalillahi… wa inna… ilaihi rooji’un!”Suaraku tersendat di tenggorokan, dadaku sesak oleh tangis.Aku kembali melihat darah yang berlumuran di kedua tangan dan gamis putihku. Darah itu masih segar dan anyir. Dan saat ini, pemilik darah itu telah gugur.Ia gugur karena kebodohanku. Ia syahid karena kesalahanku.
“Aku… telah membunuhnya, ya Allah!”
Tubuhku lunglai melihat jasadnya yang telah tertutup selimut rumah sakit.Ia tak lagi bergerak. Hamzah kecilku benar-benar pergi sangat jauh. Beberapa perawat sibuk mempersiapkan peralatan untuk memandikan dan mengkafani jenazahnya.Aku tak mendapat izin melihatnya untuk yang terakhir kali.
***



7 Juli 2012 M/ 17 Sya’ban 1433 H
Selama kuliah di Gresik, aku tinggal di tempat kos Bang Faisal. Karena Bang Faisal hanya seorang buruh, Ia tidak mendapatkan rumah dinas dari kantor. Namun, gajinya sebulan masih cukup untuk membiayai sewa rumah dan makan kami sehari-hari.Sedangkan biaya kuliahku sudah ditanggung Pemerintah karena aku mendapat beasiswa.Sementara Bang Faisal bekerja di Pabrik Kertas tak jauh dari tempat kos, aku  juga menjalani aktifitasku layaknya mahasiswa lain. Sambil kuliah, aku juga berprofesi sebagai penulis buku dan penulis kolom di Harian Rakyat. Honor dari harian Rakyat dan royalti dari buku-bukuku cukup lumayan untuk membantu Bang Faisal membayar tagihan air dan listrik, sisanya aku tabungkan. Sepulang kuliah, aku mengisi kekosonganku dengan membantu ustadz Romli mengajar anak-anak di TPA al-Hikmah.TPA itu dikelola oleh ustadz Romli dan ta’mir Masjid al-Hikmah. Di sanalah aku  mengenal Hamzah. Anak laki-laki kecil dengan kopyah miring, kaos kedodoran dan sarung kumal yang ia kenakan secara asal-asalan.
Masa kecil Hamzah mengingatkanku pada masa kecilku dan Bang Faisal.Kami menjadi yatim piatu sejak kecelakaan maut yang menimpa keluarga kami sepuluh tahun yang lalu.Saat itu umurku 12 tahun dan Bang Faisal 17 tahun.Hanya Aku dan Bang Faisal yang selamat.Tapi, nasibku tak seburuk Hamzah.Aku dan Bang Faisal masih memiliki Acang[1] yang sangat sayang pada kami.Acang Umar adalah adik kandung Ayahku.Keluarga Acang mengizinkan kami tinggal bersama mereka di Pasuruan.Selain membiayai kebutuhan sehari-hari, Acang juga membiayai sekolahku dan Bang Faisal sampai akhirnya Aku dan Bang Faisal memutuskan untuk merantau ke Gresik.Aku dan Bang Faisal juga sempat belajar di Pondok Pesantren al-Hidayah Pasuruan selama 6 tahun.Setelah lulus Madrasah Aliyah, Bang Faisal mencari pekerjaan di Gresik.Kemudian, setahun berikutnya aku mengikuti jejak Bang Faisal.Aku memilih salah satu kampus favorit di Gresik.
Tentang Hamzah, Hamzah yang kukenal adalah anak dengan pribadi tegar, santun dan ceria. Umurnya saat ini seharusnya menginjak 12 tahun.Ia adalah anak laki-laki cacat yang tidak memiliki kedua orangtua. Kakinya yang berbentuk O itu membuat jalannya lambat. Kata orang sejak kecil, Ia mengidap penyakit polio. Di pemukiman kumuh di ujung gang Ia tinggal bersama neneknya yang tua dan sakit-sakitan. Rumahnya berjarak sepuluh rumah dari tempatku tinggal.Pekerjaan mereka adalah mengumpulkan barang-barang bekas. Sesekali mereka bekerja menjadi buruh cuci di Perumahan dinas karyawan tetap PT. Jaya Asri, pabrik kertas tempat Abangku bekerja. Dengan nasib yang serba kekurangan, nenek Hamzah bercita-cita ingin menyekolahkan Hamzah sampai jenjang pendidikan paling tinggi.Selain bersekolah di MI Hidayatus Sibyan,Hamzah juga mengaji al-Qur’an di TPA al-Hikmah.Hamzah kecil dan neneknya terus berjuang melawan kerasnya dunia tanpa mengenal kata lelah.Diusianya yang ke-11 Ia ditingggal mati oleh neneknya. Karena kematian neneknya itu dia terpaksa berhenti sekolah karena tak mampu membiayainya seorang diri.Aktifitasnya sebagai pemulung dan buruh cuci tetap berjalan sebagaimana biasanya. Sore harinya Ia masih tetap mengaji di TPA al-Hikmah, karena mengaji di sana tidak perlu membayar. Meski dengan kondisi seburuk itu, aku tak pernah sekalipun melihat kesedihan di wajahnya, Ia tetap ceria.
Suatu saat, sepulang mengaji aku memanggilnya,
“Hamzah…! Kesini, Nak…!”
“Iya, Kak Ustadzah…!”
“Sini…! Biar kakak ajari kamu mengenakan sarung dan kopyah yang benar!”Ujarku sembari membetulkan sarung dan kopyah Hamzah.
“Nah, begini baru Hamzah yang tampan dan gagah!”
“Ah, masak Kak Ustdzah…! Teman-teman bilang Hamzah gak ada gagah-gagahnya, apalagi tampan.Coba Hamzah lihat dulu!”Berjalan perlahan mendekati jendela kaca Masjid.Dia bercermin di kaca masjid yang buram.
“Kak Ustadzah benar, Aku terlihat gagah!”Ujarnya tersenyum girang kemudian kembali mendekatiku.
“Biar nggak ribet, kalau di luar jam ngaji Kamu panggil aku Kak Aisyah saja! OK..!” Ujarku merangkul pundaknya.
“Emm… boleh…! Jadi harus panggil Kak Aisyah ya?”Ia tersenyum memandangku.
Aku mengangguk tersenyum, kemudian bertanya lagi,
“Kamu sudah makan belum?”
“Sudah tadi pagi.Sekarang aku makan hanya sekali sehari, beli nasi bungkus di warung. Dulu, waktu nenek masih ada, sepulang ngaji pasti ada sambal goreng tempe kesukaanku. Tapi, sekarang…!” Nada suara Hamzah merendah, tampak jelas terdengar kalau Dia bersedih.Wajahnya menunduk, seakan tak mau memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca.
“Hamzah ingat nenek, ya…?” Ujarku menatap tubuh cekingnya lekat-lekat.Ia agak kurusan sekarang. Ia hanya mengangguk pelan. Aku mengangkat dagunya dan menghapus air mata yang akhirnya menetes dari pipinya.
“Ikut Kak Aisyah yuk…!”Ajakku membuatnya berdiri, Aku menggandeng tangannya.
“Kemana?”
“Kakak akan memasak sambal goreng tempe untuk Hamzah.”
“Beneran, nih? Tapi, memasaknya di rumah Hamzah saja ya…! Sekalian Hamzah pengin tahu caranya membuat sambal goreng tempe.”Tanyanya girang tak percaya.Aku mengangguk.
“Tapi, kita ke warung Mbah Ro dulu, kita beli tempedan bumbunya, barangkali masih ada sisa.”
Dalam perjalanan Aku bercerita banyak hal tentang suka dukaku di Pesantren.Hamzah tertarik ingin belajar di Pesantren sepertiku.Setelah hari raya aku berjanji akan mengantarnya belajar di Pesantren di daerah Pasuruan.
“Untuk biaya Pesantren insya Allah kakak akan mengusahakannya.”
“Kakak terlalu baik untukku…! Bagaimana aku membalasnya?” wajahnya tertunduk.
“Cukup dengan senyummu…!” Ujarku memalingkan wajahnya padaku.Hamzah tersenyum.
“Nah, itu warungnya sudah dekat.”Aku menarik tangannya dan mempercepat langkah keluar kampung dan menyebrangi jalan.
Warung Mbah Ro berada di jalan raya bersebelahan dengan beberapa warung lainnya.Di sepanjang jalan yang ramai kendaraan itu berdiri 10 jenis warung.Warung-warung tersebut tak pernah sepi dari pembeli karena selain strategis, warung-warung tersebut dapat memenuhi kebutuhan warga, termasuk kebutuhan para pekerja pabrik. Saat jam istirahat, pekerja pabrik dapat beristirahat dan makan siang di sana.
Dulu jumlah warung di sini hanya ada 2.Yang pertama adalah warungmilik Mbah Ro yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok warga seperti, beras, gula, sayur, lauk, bumbu dan lain-lain.Yang kedua, warung milik Pak Hasan, putra Mbah Ro. Warung Pak Hasan menjual aneka jenis nasi bungkus dan minuman hangat.Biasanya saat istirahat, Bang Faisal juga membeli nasi untuk makan siang di warung Pak Hasan jika tidak sempat pulang.Kemudian seiring berjalannya waktu, bermunculan warung-warung lain di sebelah warung mereka.Awalnya satu kemudian dua dan sekarang jumlahnya mencapai sepuluh warung. Semuanya menjual barang yang sama, nasi bungkus dan minuman. Pesaing Pak Hasan semakin banyak.Tapi, rata-rata pekerja pabrik menyukai nasi bungkus Pak Hasan karena rasanya lebih nikmat dan selalu hangat.
Keadaan tersebut, membuat pemilik-pemilik warung yang lain mencari cara lain agar warungnya banyak dikunjungi. Awalnya, mereka hanya memberi hiburan musik karaoke dan lambat laun mereka mempekerjakan gadis-gadis kampung yang tak punya pekerjaan sebagai penarik pembeli.Pakaian yang mereka kenakan sangat tidak pantas. Ulah mereka pada pelanggan juga jauh dari norma agama dan masyarakat. Warung yang awalnya menjual nasi dan minuman hangat, sekarang tak lagi menjual nasi.Mereka menggantinya dengan kopi hangat karena mereka memahami kebanyakan laki-laki menyukai kopi dan rokok.Dan warung pun berganti julukan menjadi Warung Kopi Pangku. Entah, dari mana ide nama itu muncul begitu saja. Aku jadi teringat masaku dulu saat belajar di Pesantren bersama Bang Faisal. Saat pertama kali aku mengenal nama itu, aku punya firasat buruk.
***
Tahun 2008
Bang Faisal selalu mengunjungiku di asrama putri, saat Pesantren menggelar perayaan maulid Nabi Muhammad SAW setiap tanggal 12 Robi’ul Awal. Ini kesempatanku menanyakan tentang masalah Bang Faisal dengan pengurus keamanan Pesantren. Aku bergegas menemuinya di tempat kunjungan saat aku mendengar nama dan asal kotaku di panggil pengurus bagian informasi.
Bang Faisalku masih seperti biasanya, mengenakan sarung hijau dan baju koko putih kesayangannya. Dia selalu mengenakan pakaian itu setiap kali mengunjungiku.Pernah suatu saat aku memberanikan diri menanyakan hal itu, malah dengan ketus dia menjawab.
“Pakaianku kotor semua, tinggal yang ini.Kalau kamu protes lagi, ntar kamu aku suruh nyuciin tahu rasa kau.”Meski kedengarannya seperti bercanda, sejak saat itu aku tak berani bertanya pada Bang Faisal soal pakaian.Bukan karena aku takut disuruh nyuci tapi, takut kalau Dia marah besar padaku.
Tapi, sepertinya hari ini ada yang berbeda dari Bang Faisal. Peci putihnya, bukan, tapi, rambutnya, kenapa rambutnya jadi metal seperti itu. Jangan-jangan benar apa yang diomongkan anak-anak kamar.
“Astaghfirullah, Abang! Kenapa rambutnya?Apa Abang punya masalah dengan pengurus keamanan?”
“ssstt… jangan teriak… teriak… ini model rambut baru.”
“Abang bohong…! Apa ada hubungannya dengan kasus warung kopi pangku itu?” Ujarku melotot
“Da…darimana kamu tahu…?” Tanyanya memelankan suara gugup, sambil menarik bagian atas kerudungku.
“Semua santri putri sudah tahu tentang hal itu, jadi kelima santri putra itu salah satunya Abang…!”
“Awas…!Kalau sampai kamu melapor ke Acang! Abang pites kamu nanti..!”
“Jadi selama ini kalau Abang minta aku uang untuk ngopi, Abang pasti akan pergi ke tempat itu?Abang keterlaluan! Ini bukan masalah uang yang sudah Aku kasih ke Abang! Kalau Abang terbiasa dengan sesuatu yang buruk di Pesantren, Abang akan terus mengulanginya saat sudah keluar nanti…!”
“Ah… sudah… gak usah dibahas, bagi uang…!” Tanyanya menyelaku.
“Nggak mau…! Abang masih belum jera juga?Mau digundul sekalian hah!”
“Nggak Aisyah…! Aku mau pakai uang itu untuk bayar SPP!”
“Bukannya sudah dikasih sama Acang?”
“Habis…! Buat teraktir temen-temen!”
“Di warung maksiat itu? Gila…!”
“Ayolah Dek…! Kalau sampai bulan ini Abang nggak mbayar, Acang akan dapat surat teguran dari Pesantren. Kamu ndak mau Acang repot kan.”
“Heeghh…! Nih orang! Ok… demi Acang hari ini Aisyah kasih tapi, dengan syarat jangan lagi-lagi Abang nongkrong di warung seperti itu.”
“Nah, gitu donk! Abang janji! Nggak lagi-lagi deh…!” Ujarnya menyeringai.
***
7 Juli 2012 M/ 17 Sya’ban 1433 H
“Astaghfirullahaladzim…!” Teriakku bersamaan dengan suara Hamzah.Sebuah sepeda Harley Davidson hampir saja menabrakku.
“Ciittttttttt… Woi, kalau nyebrang lihat-lihat dong…!”Ujar pengendara Harley muntab.Ketergesa-gesaannya membuat dia kembali melanjutkan perjalanan.
“Kak Aisyah tidak apa-apa?”Tanya hamzah khawatir.Aku menggelang bershalawat sambil kembali menata hati dan konsentrasiku.
“Tempe dan bumbunya tidak kotor kan?”
“Enggak Kok Kak..! Tadi Kakak memikirkan apa?” Tanyanya sembari berjalan terseok-seok memungut bungkusan belanjaan kami.Aku hanya memaksakan senyum karena masih syok.
Dalam perjalanan pulang Aku banyak bercerita tentang sahabat sekaligus paman Nabi Muhammad SAW.yang bernama sayyidina Hamzah.
“Namanya seperti namamu.Hamzah. Beliau dijuluki singa padang pasir karena keberanian dan ketangguhannya dalam berperang di jalan Allah. Beliau tidak pernah gentar menghadapi pedang-pedang orang kafir.Bahkan menjelang wafatpun beliau tidak merasa takut sedikitpun. Padahal Wahsyi, budak yang membunuh beliau dengan garang mencabik-cabik dada beliau. Dalam wafatnya beliau tersenyum.Wahsyi ingin menukarkan hati Sayyidina Hamzah dengan perhiasan dan kebebasannya sebagai budak.Wafatnya Sayyidina Hamzah adalah syahid.Dan orang yang mati syahid, kelak akan ditempatkan di dalam surga Allah bersama bidadari.”
Ia terkagum-kagum mendengar ceritaku dan kerap kali mengatakan bahwa cita-citanya adalah mati syahid seperti Sayyidina Hamzah. Saat itu aku masih tak menyadari akibat dari keinginannya.Aku menganggap hal itu hanya sebagai lelucon anak-anak.Tapi, tidak dengan Hamzah.Ia menganggap hal itu adalah cita-cita yang harus diwujudkan.
***
8-19 Juli 2012 M/ 18-30 Sya’ban 1433 H
Sejak hari itu aku akrab dengan Hamzah.Dia aku anggap seperti adikku sendiri.Kami sering berbagi cerita setiap pulang ngaji pada sore hari. Aku juga masih istiqomah memasakkan sambal goreng tempe untuknya. Aku juga masih sering bercerita tentang pertarungan Nabi Ibrahim a.s. melawan Iblis. Aku menceritakan bahwa Nabi Ibrahim melempari Iblis dengan tiga batu saat mengetahui bahwa Iblis sedang menghasudnya untuk menentang perintah Allah.Setelah mendengar cerita itu, Aku seringkali melihat Hamzah membawa tiga batu kecil di tangannya. Ketika Aku  bertanya kenapa ia selalu membawanya. Dengan polos Dia menjawab bahwa Dia ingin melempar Iblis dengan ketiga batu itu.Saat itu Aku masih menganggap jawabannya sebagai lelucon anak-anak.
Di kesempatan yang lain, Dia bercerita padaku bahwa setiap shalat malam, Dia selalu berdo’a agar Allah mengizinkannya berperang seperti Sayyidina Hamzah sehingga Ia bisa mati syahid. Hal yang seringkali Aku anggap lelucon itu, kini membuatku serius menanggapinya. Aku mengatakan padanya bahwa banyak cara untuk mati syahid, tak harus dengan perang.
“Hamzah…! Tak harus ikut perang kok kalau kita ingin mati syahid. Banyak cara lain kok. Misalnya dengan senantiasa melakukan amr ma’ruf nahi mungkar atau menyeru kepada kebaikan serta mencegah kemungkaran dan maksiat. Contoh lain misalnya, tanpa lelah mempelajari ilmu Allah dan mengamalkannya. Kalau kita melakukan dua hal tersebut, saat kita mati kelak, ganjarannya seperti mati syahid.”
Hamzah yang penurut dan cerdas selalu mengamalkan apa yang telah diajarkan atau disampaikan kepadanya. Baik dariku atau dari ustadz yang lain. Mendengar penjelasanku tentang amr ma’ruf nahi mungkar, Dia mengangguk dan berfikir.Sepertinya berfikir sangat keras.
***
20 Juli 2012 M/ 30 Sya’ban 1433 HPagi
Hari ini Aku heran dan risau. Aku merasakan sebuah peristiwa buruk akan terjadi.Bukan soal perbedaan penentuan tanggal 1 Ramadhan yang Aku risaukan tapi, tak biasanya Hamzah datang sepagi ini ke rumahku tanpa rasa takut.Padahal Abangku Faisal tak begitu suka melihat aku sering bersamanya.Mungkin Dia berani datang karena Bang Faisal sampai pagi ini belum pulang dari pabrik.
Sejak mengetahui kebencian Bang Faisal pada Hamzah, Aku justru menganggap Bang Faisal lebih kekanak-kanakan daripada Hamzah. Bagiku Bang Faisal telah melakukan apa yang disebut lelucon anak-anak. Karena Aku tak mengerti apa alasan Bang Faisal membenci Hamzah. Kalau alasannya karena perhatianku lebih kepada Hamzah, kenapa baru sekarang Abang peduli dengan segala perhatianku.Kenapa tidak dari dulu saat Aku selalu menjaganya saat sakit dan dirawat di klinik Pesantren.Kenapa tidak dari dulu saat Aku mengompres luka memar di pipinya, buah dari perkelahiannya dengan teman se-pabrik.Kenapa tidak dari dulu saat Aku bertengkar dengannya dan mencoba menasehatinya untuk tidak lagi mendatangi warung kopi pangku di seberang jalan.Kenapa dulu justru Dia menganggapku berlebihan dan mengataikudengan istilah baru ‘Lebay’.Padahal perhatianku padanya tak pernah berubah, aku masih tetap menjadi Aisyah yang dulu.Aisyah yang sayang pada Abangnya.
Hamzah datang ke rumahku dengan jidad yang berkeringat, Dia masih dengan tangan yang menggengam tiga batu kerikil.Dia bertanya banyak hal padaku. Dia bertanya tentang jenis maksi’at, Dia bertanya tentang perzinaan, Dia bertanya tentang hubungan dengan yang bukan mahramnya, Dia kembali bertanya tentang amr ma’ruf nahi mungkar, Dia bertanya bagaimana tentang menyambut Ramadhan, dan masih banyak hal lagi yang Dia tanyakan.Lima jam lebih Dia betah duduk di kursi tamuku. Dan bodohnya Aku masih menganggap pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan biasa.Pertanyaan dari seorang murid kepada gurunya.Pertanyan seorang adik kepada kakaknya.

20 Juli 2012 M/ 30 Sya’ban 1433 H Sore
Kampung tempatku tinggal sedang mempersiapkan penyambutan bulan suci Ramadhan.Proses Belajar Mengajar al-Qur’an di TPA al-Hikmah diliburkan sementara dalam rangka persiapan shalat tarawih nanti malam.Microfon masjid dan musholla diperbaiki, masjid dan musholla dibersihkan, para ibu mempersiapkan lauk untuk sahur esok. Saat adzan ashar berkumandang, Aku mendirikan shalat ashar di rumah karena seusai ashar Aku dapat panggilan interview dari kantor Harian Rakyat. Jika Aku berhasil lolos dari tes interview ini maka, impianku untuk bergelut di dunia pers akan terwujud.
Dalam shalatku, pada rakaat terakhir aku mendengar bunyi sesuatu yang dihantam keras dari arah jalan raya.Sesekali Aku mendengar ledakan yang dahsyat.Ledakan, hantaman, suaran gelas dipecahkan, teriakan orang-orang menyebut lafadz Allah bercampur baur.Bunyi gaduh yang tak biasa terjadi itu membuat shalatku terganggu. Setelah salam yang kedua, terdengar suara pintu rumahku terketuk sangat keras. Suara salamnya berbaur dengan suara gaduh di jalan raya.Seperti suara anak kecil seusia Hamzah. Mengingat nama Hamzah, aku berkeringat. Hamzahkah yang mengetuk pintu sekeras itu.Dalam bahayakah Ia. Aku bergegas melepas mukena dan meraih jilbab putihku.Setelah pintuku terbuka, yang kulihat bukan Hamzah tapi, Sholeh, teman ngaji Hamzah, cucu Mbah Ro.
“Ustdzah Aisyah, Hamzah berlumuran darah, digebukin orang-orang warung kopi.”
“Astaghfirullahal’adzim…! Kenapa bisa terjadi?”Ujarku terkejut, Aku mulai panic.
“Kata Mbah…! Tadi, Mbah melihat Hamzah pergi ke warung kopi pangku membawa tiga batu kerikil.Dan melempari orang-orang di warung kopi dengan batu tersebut.Mereka yang ada di warung kopi marah dan mengejar Hamzah.Hamzah tidak bisa berlari kencang dengan keadaan kakinya yang cacat.Hamzah dikeroyok oleh orang-orang itu.Melihat kejadian itu, Mbah Ro berteriak memanggil Bapak Hasan untuk menolong Hamzah.Akhirnya Bapak mengajak warga untuk menolong Hamzah.Terjadi bentrok antar warga kampung dengan semua yang ada di warung-warung kopi.Ada yang membawa tongkat dan benda-benda tajam lainnya.”Sholeh menceritakan kronologi kejadian sambil berlari di sampingku.Aku dan gamis putihku-pun berlaritanpa alas kaki menuju jalan raya.
Di jalan raya aku menemukan Hamzah kecilku, terkapar tak berdaya.Kepala dan tubuhnya penuh darah.Aku berlari memeluknya dan memeriksa nafasnya.Airmataku tak berhenti menetes.
“Hamzah, Nak…! Ini Kak Aisyah…! Bangun Hamzah…! Hamzah harus bertahan!”
Hamzah membuka matanya yang lebam. Bibirnya menyungging senyum, dan bertanya,
“Kak Aisyah, apakah aku terlihat takut menghadapi perang ini?”
“Tidak Hamzah…! Kau sangat berani seperti Sayyidina Hamzah…!”
Hamzah tersenyum lagi.
“Kak Aisyah, apakah batu kerikil itu bagi mereka sangat sakit ketimbang batu-batu kerikil dari neraka jahannam!”
“Tidak Hamzah…! Kerikil kecil itu tidak menyakitkan bagi mereka.”
“Aku tidak mendzalimi mereka kan Kak? Aku tidak berbuat jahat pada mereka kan Kak?”
“Tidak…! Tidak…! Hamzah…!”
“Kak…! Terimakasih untuk sambal goreng tempe Kakak setiap sore.” Kalimat terkhirnya itu membuatku tak berhenti meneteskan air mata.Aku berteriak memanggil namanya saat denyut nadinya berhenti berdetak.Sholehpun menangis sejadi-jadinya memeluk jasad Hamzah.
“Kau Syahid, Nak! Impianmu terwujud.”Bisikku di telinganya.Gamis putihku memerah.Pipiku masih basah.
Satu pasukan polisi datang menangkap semua yang terlibat dalam bentrokan.Kesedihanku memuncak melihat kenyataan bahwa Bang Faisal juga ada di balik aksi bentrokan itu. Bang Faisal diciduk polisi bersama pemilik-pemilik warung kopi pangku itu. Jenazah Hamzah dibawa ambulan ke rumah sakit untuk diotopsi dan diperiksa sebagai bukti penganiayaan agar tidak dianggap remeh oleh pelaku.Barang bukti kejahatan berupa kayu pemukul dan senjata tajam lain diamankan polisi.
“Aku telah membunuh Hamzah dengan kebodohanku… Mengapa aku tak menyadari bahwa Hamzah dengan keluguannya akan bertindak sejauh ini karena mendengar semua ceritaku tentang keberanian Sayyidina Hamzah, tentang kerikil Nabi Ibrahim dan tentang mati syahid.”Aku bergumam melihat kedua tangan dan gamis putihku yang berlumur darah Hamzah.
***
4 Agustus 2012 M/ 15 Ramadhan 1433 H
Aku megunjungi Bang Faisal di penjara.Seperti halnya Pak Hasan dan warga lainnya.Karena terlibat dalam bentrokan itu, Bang Faisal harus mendekam di penjara sampai polisi mengetahui dengan pasti siapa saja yang terlibat dalam kasus pengeroyokan terhadap Hamzah hingga Hamzah tewas.Aku bersyukur Dia tidak terlibat dalam aksi pengeroyokan Hamzah.
“Aku membaca tulisanmu tentang Hamzah di Harian Rakyat.Semua orang di penjara ini membicarakan Hamzah.Kau diterima jadi redaksi Harian Rakyat?”
“Itu tak berarti apa-apa bagiku saat ini!”
“Maafkan Aku Aisyah! Karena kejadian ini, Aku telah membuatmu tak bahagia ketika kau telah meraih impianmu”
“Yang perlu Abang ketahui adalah seburuk-buruknya Abang. Aku tetap menyayangi Abang! Abang tak melakukan kesalahan terhadapku.Abang bersalah pada Allah dan Hamzah.Mintalah maaf pada Allah.”
“Lalu Hamzah? Bagaimana dengan Hamzah?Bagaimana aku bisa memperoleh maaf darinya?”
“Asal Abang tahu!Hamzah pernah bilang bahwa Dia akan selalu memaafkan Abang, sejahat apapun Abang padanya.”
“Aisyah…! Selepasnya dari penjara, maukah kamu mengantarkanku pada Hamzah.”
“Apa Abang tak lagi membenci Hamzah?”
“Hanya orang bodoh dan jahat yang membenci Hamzah.Apa Kau anggap Abangmu ini sejahat itu?”
Aku menggeleng mencium tangan Abangku.Abangku memelukku erat. Dipelukannya Aku bergumam dalam hati
“Hamzah Kau benar-benar telah syahid. Hari ini aku bahagia, bukan hanya karena aku diterima menjadi redaksi tetap Harian Rakyat tapi, karena Aku bisa membuat orang-orang mengenang jasamu melalui features[1] tentang dirimu yang Aku tulis di Harian rakyat. Sejak peristiwa itu Kau terkenal dengan kerikil kecilmu yang mampu membuat aktifitas Warung Kopi Pangku diberangus polisi.Sejak peristiwa itu shalat tarawih dikampung kita tidak terganggu oleh bunyi musik. Sejak peristiwa itu di kampung kita, kau menjadi tokoh idola masyarat muslim. Mungkin tak hanya di kampung kita, tapi seluruh Indonesia.Islam bangga padamu Hamzah.Rosululllah bangga padamu.”


Selesai pada Ramadhan 1433 H di kamar
Pukul 15.15 WIB



[1] Panggilan untuk paman di Pasuruan




[1] Berita dengan sentuhan sastra yang bersifat humaniora dan mengutamakan sudut pandang

Tidak ada komentar: