20 Juli 2012 M/ 30 Sya’ban 1433 H
“Innalillahi… wa inna… ilaihi rooji’un!”Suaraku tersendat di
tenggorokan, dadaku sesak oleh tangis.Aku kembali melihat darah yang berlumuran
di kedua tangan dan gamis putihku. Darah itu masih segar dan anyir. Dan saat
ini, pemilik darah itu telah gugur.Ia gugur karena kebodohanku. Ia syahid
karena kesalahanku.
“Aku… telah membunuhnya, ya Allah!”
Tubuhku lunglai melihat jasadnya yang telah
tertutup selimut rumah sakit.Ia tak lagi bergerak. Hamzah kecilku benar-benar
pergi sangat jauh. Beberapa perawat sibuk mempersiapkan peralatan untuk
memandikan dan mengkafani jenazahnya.Aku tak mendapat izin melihatnya untuk
yang terakhir kali.
***
Selama kuliah di Gresik, aku tinggal di tempat kos Bang Faisal. Karena
Bang Faisal hanya seorang buruh, Ia tidak mendapatkan rumah dinas dari kantor.
Namun, gajinya sebulan masih cukup untuk membiayai sewa rumah dan makan kami
sehari-hari.Sedangkan biaya kuliahku sudah ditanggung Pemerintah karena aku
mendapat beasiswa.Sementara Bang Faisal bekerja di Pabrik Kertas tak jauh dari
tempat kos, aku juga menjalani
aktifitasku layaknya mahasiswa lain. Sambil kuliah, aku juga berprofesi sebagai
penulis buku dan penulis kolom di Harian Rakyat. Honor dari harian Rakyat dan
royalti dari buku-bukuku cukup lumayan untuk membantu Bang Faisal membayar
tagihan air dan listrik, sisanya aku tabungkan. Sepulang kuliah, aku mengisi
kekosonganku dengan membantu ustadz Romli mengajar anak-anak di TPA al-Hikmah.TPA
itu dikelola oleh ustadz Romli dan ta’mir Masjid al-Hikmah. Di sanalah aku mengenal Hamzah. Anak laki-laki kecil dengan kopyah
miring, kaos kedodoran dan sarung kumal yang ia kenakan secara asal-asalan.
Masa kecil Hamzah mengingatkanku pada masa kecilku dan Bang
Faisal.Kami menjadi yatim piatu sejak kecelakaan maut yang menimpa keluarga
kami sepuluh tahun yang lalu.Saat itu umurku 12 tahun dan Bang Faisal 17 tahun.Hanya
Aku dan Bang Faisal yang selamat.Tapi, nasibku tak seburuk Hamzah.Aku dan Bang
Faisal masih memiliki Acang[1]
yang sangat sayang pada kami.Acang Umar adalah adik kandung Ayahku.Keluarga Acang
mengizinkan kami tinggal bersama mereka di Pasuruan.Selain membiayai kebutuhan
sehari-hari, Acang juga membiayai sekolahku dan Bang Faisal sampai akhirnya Aku
dan Bang Faisal memutuskan untuk merantau ke Gresik.Aku dan Bang Faisal juga
sempat belajar di Pondok Pesantren al-Hidayah Pasuruan selama 6 tahun.Setelah
lulus Madrasah Aliyah, Bang Faisal mencari pekerjaan di Gresik.Kemudian,
setahun berikutnya aku mengikuti jejak Bang Faisal.Aku memilih salah satu
kampus favorit di Gresik.
Tentang Hamzah, Hamzah yang kukenal adalah anak dengan pribadi tegar,
santun dan ceria. Umurnya saat ini seharusnya menginjak 12 tahun.Ia adalah anak
laki-laki cacat yang tidak memiliki kedua orangtua. Kakinya yang berbentuk O
itu membuat jalannya lambat. Kata orang sejak kecil, Ia mengidap penyakit
polio. Di pemukiman kumuh di ujung gang Ia tinggal bersama neneknya yang tua dan
sakit-sakitan. Rumahnya berjarak sepuluh rumah dari tempatku tinggal.Pekerjaan
mereka adalah mengumpulkan barang-barang bekas. Sesekali mereka bekerja menjadi
buruh cuci di Perumahan dinas karyawan tetap PT. Jaya Asri, pabrik kertas
tempat Abangku bekerja. Dengan nasib yang serba kekurangan, nenek Hamzah
bercita-cita ingin menyekolahkan Hamzah sampai jenjang pendidikan paling
tinggi.Selain bersekolah di MI Hidayatus Sibyan,Hamzah juga mengaji al-Qur’an
di TPA al-Hikmah.Hamzah kecil dan neneknya terus berjuang melawan kerasnya
dunia tanpa mengenal kata lelah.Diusianya yang ke-11 Ia ditingggal mati oleh
neneknya. Karena kematian neneknya itu dia terpaksa berhenti sekolah karena tak
mampu membiayainya seorang diri.Aktifitasnya sebagai pemulung dan buruh cuci tetap
berjalan sebagaimana biasanya. Sore harinya Ia masih tetap mengaji di TPA
al-Hikmah, karena mengaji di sana tidak perlu membayar. Meski dengan kondisi seburuk
itu, aku tak pernah sekalipun melihat kesedihan di wajahnya, Ia tetap ceria.
Suatu saat, sepulang mengaji aku memanggilnya,
“Hamzah…! Kesini, Nak…!”
“Iya, Kak Ustadzah…!”
“Sini…! Biar kakak ajari kamu mengenakan sarung dan kopyah yang
benar!”Ujarku sembari membetulkan sarung dan kopyah Hamzah.
“Nah, begini baru Hamzah yang tampan dan gagah!”
“Ah, masak Kak Ustdzah…! Teman-teman bilang Hamzah gak ada
gagah-gagahnya, apalagi tampan.Coba Hamzah lihat dulu!”Berjalan perlahan
mendekati jendela kaca Masjid.Dia bercermin di kaca masjid yang buram.
“Kak Ustadzah benar, Aku terlihat gagah!”Ujarnya tersenyum girang
kemudian kembali mendekatiku.
“Biar nggak ribet, kalau di luar jam ngaji Kamu panggil aku Kak
Aisyah saja! OK..!” Ujarku merangkul pundaknya.
“Emm… boleh…! Jadi harus panggil Kak Aisyah ya?”Ia tersenyum
memandangku.
Aku mengangguk tersenyum, kemudian bertanya lagi,
“Kamu sudah makan belum?”
“Sudah tadi pagi.Sekarang aku makan hanya sekali sehari, beli nasi
bungkus di warung. Dulu, waktu nenek masih ada, sepulang ngaji pasti ada sambal
goreng tempe kesukaanku. Tapi, sekarang…!” Nada suara Hamzah merendah, tampak
jelas terdengar kalau Dia bersedih.Wajahnya menunduk, seakan tak mau
memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca.
“Hamzah ingat nenek, ya…?” Ujarku menatap tubuh cekingnya
lekat-lekat.Ia agak kurusan sekarang. Ia hanya mengangguk pelan. Aku mengangkat
dagunya dan menghapus air mata yang akhirnya menetes dari pipinya.
“Ikut Kak Aisyah yuk…!”Ajakku membuatnya berdiri, Aku menggandeng
tangannya.
“Kemana?”
“Kakak akan memasak sambal goreng tempe untuk Hamzah.”
“Beneran, nih? Tapi, memasaknya di rumah Hamzah saja ya…! Sekalian
Hamzah pengin tahu caranya membuat sambal goreng tempe.”Tanyanya girang tak
percaya.Aku mengangguk.
“Tapi, kita ke warung Mbah Ro dulu, kita beli tempedan bumbunya,
barangkali masih ada sisa.”
Dalam perjalanan Aku bercerita banyak hal tentang suka dukaku di
Pesantren.Hamzah tertarik ingin belajar di Pesantren sepertiku.Setelah hari
raya aku berjanji akan mengantarnya belajar di Pesantren di daerah Pasuruan.
“Untuk biaya Pesantren insya Allah kakak akan mengusahakannya.”
“Kakak terlalu baik untukku…! Bagaimana aku membalasnya?” wajahnya
tertunduk.
“Cukup dengan senyummu…!” Ujarku memalingkan wajahnya padaku.Hamzah
tersenyum.
“Nah, itu warungnya sudah dekat.”Aku menarik tangannya dan
mempercepat langkah keluar kampung dan menyebrangi jalan.
Warung Mbah Ro berada di jalan raya bersebelahan dengan beberapa
warung lainnya.Di sepanjang jalan yang ramai kendaraan itu berdiri 10 jenis
warung.Warung-warung tersebut tak pernah sepi dari pembeli karena selain
strategis, warung-warung tersebut dapat memenuhi kebutuhan warga, termasuk
kebutuhan para pekerja pabrik. Saat jam istirahat, pekerja pabrik dapat
beristirahat dan makan siang di sana.
Dulu jumlah warung di sini hanya ada 2.Yang pertama adalah warungmilik
Mbah Ro yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok warga seperti, beras, gula,
sayur, lauk, bumbu dan lain-lain.Yang kedua, warung milik Pak Hasan, putra Mbah
Ro. Warung Pak Hasan menjual aneka jenis nasi bungkus dan minuman hangat.Biasanya
saat istirahat, Bang Faisal juga membeli nasi untuk makan siang di warung Pak
Hasan jika tidak sempat pulang.Kemudian seiring berjalannya waktu, bermunculan
warung-warung lain di sebelah warung mereka.Awalnya satu kemudian dua dan sekarang
jumlahnya mencapai sepuluh warung. Semuanya menjual barang yang sama, nasi
bungkus dan minuman. Pesaing Pak Hasan semakin banyak.Tapi, rata-rata pekerja
pabrik menyukai nasi bungkus Pak Hasan karena rasanya lebih nikmat dan selalu
hangat.
Keadaan tersebut, membuat pemilik-pemilik warung yang lain mencari cara
lain agar warungnya banyak dikunjungi. Awalnya, mereka hanya memberi hiburan
musik karaoke dan lambat laun mereka mempekerjakan gadis-gadis kampung yang tak
punya pekerjaan sebagai penarik pembeli.Pakaian yang mereka kenakan sangat
tidak pantas. Ulah mereka pada pelanggan juga jauh dari norma agama dan
masyarakat. Warung yang awalnya menjual nasi dan minuman hangat,
sekarang tak lagi menjual nasi.Mereka menggantinya dengan kopi hangat karena
mereka memahami kebanyakan laki-laki menyukai kopi dan rokok.Dan warung pun
berganti julukan menjadi Warung Kopi Pangku. Entah, dari mana ide nama itu
muncul begitu saja. Aku jadi teringat masaku dulu saat belajar di Pesantren
bersama Bang Faisal. Saat pertama kali aku mengenal nama itu, aku punya firasat
buruk.
***
Tahun 2008
Bang Faisal selalu mengunjungiku di asrama putri, saat Pesantren
menggelar perayaan maulid Nabi Muhammad SAW setiap tanggal 12 Robi’ul Awal. Ini
kesempatanku menanyakan tentang masalah Bang Faisal dengan pengurus keamanan
Pesantren. Aku bergegas menemuinya di tempat kunjungan saat aku mendengar nama
dan asal kotaku di panggil pengurus bagian informasi.
Bang Faisalku masih seperti biasanya, mengenakan sarung hijau dan
baju koko putih kesayangannya. Dia selalu mengenakan pakaian itu setiap kali mengunjungiku.Pernah
suatu saat aku memberanikan diri menanyakan hal itu, malah dengan ketus dia
menjawab.
“Pakaianku kotor semua, tinggal yang ini.Kalau kamu protes lagi,
ntar kamu aku suruh nyuciin tahu rasa kau.”Meski kedengarannya seperti
bercanda, sejak saat itu aku tak berani bertanya pada Bang Faisal soal
pakaian.Bukan karena aku takut disuruh nyuci tapi, takut kalau Dia marah besar
padaku.
Tapi, sepertinya hari ini ada yang berbeda dari Bang Faisal. Peci
putihnya, bukan, tapi, rambutnya, kenapa rambutnya jadi metal seperti itu.
Jangan-jangan benar apa yang diomongkan anak-anak kamar.
“Astaghfirullah, Abang! Kenapa rambutnya?Apa Abang punya masalah
dengan pengurus keamanan?”
“ssstt… jangan teriak… teriak… ini model rambut baru.”
“Abang bohong…! Apa ada hubungannya dengan kasus warung kopi pangku
itu?” Ujarku melotot
“Da…darimana kamu tahu…?” Tanyanya memelankan suara gugup, sambil
menarik bagian atas kerudungku.
“Semua santri putri sudah tahu tentang hal itu, jadi kelima santri
putra itu salah satunya Abang…!”
“Awas…!Kalau sampai kamu melapor ke Acang! Abang pites kamu
nanti..!”
“Jadi selama ini kalau Abang minta aku uang untuk ngopi, Abang
pasti akan pergi ke tempat itu?Abang keterlaluan! Ini bukan masalah uang yang
sudah Aku kasih ke Abang! Kalau Abang terbiasa dengan sesuatu yang buruk di
Pesantren, Abang akan terus mengulanginya saat sudah keluar nanti…!”
“Ah… sudah… gak usah dibahas, bagi uang…!” Tanyanya menyelaku.
“Nggak mau…! Abang masih belum jera juga?Mau digundul sekalian
hah!”
“Nggak Aisyah…! Aku mau pakai uang itu untuk bayar SPP!”
“Bukannya sudah dikasih sama Acang?”
“Habis…! Buat teraktir temen-temen!”
“Di warung maksiat itu? Gila…!”
“Ayolah Dek…! Kalau sampai bulan ini Abang nggak mbayar, Acang akan
dapat surat teguran dari Pesantren. Kamu ndak mau Acang repot kan.”
“Heeghh…! Nih orang! Ok… demi Acang hari ini Aisyah kasih tapi,
dengan syarat jangan lagi-lagi Abang nongkrong di warung seperti itu.”
“Nah, gitu donk! Abang janji! Nggak lagi-lagi deh…!” Ujarnya
menyeringai.
***
7 Juli 2012 M/ 17 Sya’ban 1433 H
“Astaghfirullahaladzim…!” Teriakku bersamaan dengan suara Hamzah.Sebuah
sepeda Harley Davidson hampir saja menabrakku.
“Ciittttttttt… Woi, kalau nyebrang lihat-lihat dong…!”Ujar
pengendara Harley muntab.Ketergesa-gesaannya membuat dia kembali melanjutkan
perjalanan.
“Kak Aisyah tidak apa-apa?”Tanya hamzah khawatir.Aku menggelang
bershalawat sambil kembali menata hati dan konsentrasiku.
“Tempe dan bumbunya tidak kotor kan?”
“Enggak Kok Kak..! Tadi Kakak memikirkan apa?” Tanyanya sembari berjalan
terseok-seok memungut bungkusan belanjaan kami.Aku hanya memaksakan senyum karena
masih syok.
Dalam perjalanan pulang Aku banyak bercerita tentang sahabat sekaligus
paman Nabi Muhammad SAW.yang bernama sayyidina Hamzah.
“Namanya seperti namamu.Hamzah. Beliau dijuluki singa padang pasir
karena keberanian dan ketangguhannya dalam berperang di jalan Allah. Beliau
tidak pernah gentar menghadapi pedang-pedang orang kafir.Bahkan menjelang wafatpun
beliau tidak merasa takut sedikitpun. Padahal Wahsyi, budak yang membunuh
beliau dengan garang mencabik-cabik dada beliau. Dalam wafatnya beliau
tersenyum.Wahsyi ingin menukarkan hati Sayyidina Hamzah dengan perhiasan dan
kebebasannya sebagai budak.Wafatnya Sayyidina Hamzah adalah syahid.Dan orang
yang mati syahid, kelak akan ditempatkan di dalam surga Allah bersama
bidadari.”
Ia terkagum-kagum mendengar ceritaku dan kerap kali mengatakan
bahwa cita-citanya adalah mati syahid seperti Sayyidina Hamzah. Saat itu aku
masih tak menyadari akibat dari keinginannya.Aku menganggap hal itu hanya
sebagai lelucon anak-anak.Tapi, tidak dengan Hamzah.Ia menganggap hal itu
adalah cita-cita yang harus diwujudkan.
***
8-19 Juli 2012 M/ 18-30 Sya’ban 1433 H
Sejak hari itu aku akrab dengan Hamzah.Dia aku anggap seperti
adikku sendiri.Kami sering berbagi cerita setiap pulang ngaji pada sore hari.
Aku juga masih istiqomah memasakkan sambal goreng tempe untuknya. Aku juga
masih sering bercerita tentang pertarungan Nabi Ibrahim a.s. melawan Iblis. Aku
menceritakan bahwa Nabi Ibrahim melempari Iblis dengan tiga batu saat
mengetahui bahwa Iblis sedang menghasudnya untuk menentang perintah
Allah.Setelah mendengar cerita itu, Aku seringkali melihat Hamzah membawa tiga
batu kecil di tangannya. Ketika Aku bertanya
kenapa ia selalu membawanya. Dengan polos Dia menjawab bahwa Dia ingin melempar
Iblis dengan ketiga batu itu.Saat itu Aku masih menganggap jawabannya sebagai
lelucon anak-anak.
Di kesempatan yang lain, Dia bercerita padaku bahwa setiap shalat
malam, Dia selalu berdo’a agar Allah mengizinkannya berperang seperti Sayyidina
Hamzah sehingga Ia bisa mati syahid. Hal yang seringkali Aku anggap lelucon
itu, kini membuatku serius menanggapinya. Aku mengatakan padanya bahwa banyak
cara untuk mati syahid, tak harus dengan perang.
“Hamzah…! Tak harus ikut perang kok kalau kita ingin mati syahid.
Banyak cara lain kok. Misalnya dengan senantiasa melakukan amr ma’ruf nahi
mungkar atau menyeru kepada kebaikan serta mencegah kemungkaran dan maksiat.
Contoh lain misalnya, tanpa lelah mempelajari ilmu Allah dan mengamalkannya.
Kalau kita melakukan dua hal tersebut, saat kita mati kelak, ganjarannya
seperti mati syahid.”
Hamzah yang penurut dan cerdas selalu mengamalkan apa yang telah
diajarkan atau disampaikan kepadanya. Baik dariku atau dari ustadz yang lain.
Mendengar penjelasanku tentang amr ma’ruf nahi mungkar, Dia mengangguk dan
berfikir.Sepertinya berfikir sangat keras.
***
20 Juli 2012 M/ 30 Sya’ban 1433 HPagi
Hari ini Aku heran dan risau. Aku merasakan sebuah peristiwa buruk
akan terjadi.Bukan soal perbedaan penentuan tanggal 1 Ramadhan yang Aku
risaukan tapi, tak biasanya Hamzah datang sepagi ini ke rumahku tanpa rasa
takut.Padahal Abangku Faisal tak begitu suka melihat aku sering
bersamanya.Mungkin Dia berani datang karena Bang Faisal sampai pagi ini belum
pulang dari pabrik.
Sejak mengetahui kebencian Bang Faisal pada
Hamzah, Aku justru menganggap Bang Faisal lebih kekanak-kanakan daripada
Hamzah. Bagiku Bang Faisal telah melakukan apa yang disebut lelucon anak-anak.
Karena Aku tak mengerti apa alasan Bang Faisal membenci Hamzah. Kalau alasannya
karena perhatianku lebih kepada Hamzah, kenapa baru sekarang Abang peduli
dengan segala perhatianku.Kenapa tidak dari dulu saat Aku selalu menjaganya
saat sakit dan dirawat di klinik Pesantren.Kenapa tidak dari dulu saat Aku
mengompres luka memar di pipinya, buah dari perkelahiannya dengan teman
se-pabrik.Kenapa tidak dari dulu saat Aku bertengkar dengannya dan mencoba
menasehatinya untuk tidak lagi mendatangi warung kopi pangku di seberang
jalan.Kenapa dulu justru Dia menganggapku berlebihan dan mengataikudengan
istilah baru ‘Lebay’.Padahal perhatianku padanya tak pernah berubah, aku masih
tetap menjadi Aisyah yang dulu.Aisyah yang sayang pada Abangnya.
Hamzah datang ke rumahku dengan jidad yang berkeringat, Dia masih
dengan tangan yang menggengam tiga batu kerikil.Dia bertanya banyak hal padaku.
Dia bertanya tentang jenis maksi’at, Dia bertanya tentang perzinaan, Dia
bertanya tentang hubungan dengan yang bukan mahramnya, Dia kembali bertanya
tentang amr ma’ruf nahi mungkar, Dia bertanya bagaimana tentang
menyambut Ramadhan, dan masih banyak hal lagi yang Dia tanyakan.Lima jam lebih
Dia betah duduk di kursi tamuku. Dan bodohnya Aku masih menganggap
pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan biasa.Pertanyaan dari seorang murid
kepada gurunya.Pertanyan seorang adik kepada kakaknya.
20 Juli 2012 M/ 30 Sya’ban 1433 H Sore
Kampung tempatku tinggal sedang mempersiapkan penyambutan bulan
suci Ramadhan.Proses Belajar Mengajar al-Qur’an di TPA al-Hikmah diliburkan
sementara dalam rangka persiapan shalat tarawih nanti malam.Microfon masjid dan
musholla diperbaiki, masjid dan musholla dibersihkan, para ibu mempersiapkan
lauk untuk sahur esok. Saat adzan ashar berkumandang, Aku mendirikan shalat
ashar di rumah karena seusai ashar Aku dapat panggilan interview dari kantor
Harian Rakyat. Jika Aku berhasil lolos dari tes interview ini maka, impianku
untuk bergelut di dunia pers akan terwujud.
Dalam shalatku, pada rakaat terakhir aku mendengar bunyi sesuatu
yang dihantam keras dari arah jalan raya.Sesekali Aku mendengar ledakan yang
dahsyat.Ledakan, hantaman, suaran gelas dipecahkan, teriakan orang-orang
menyebut lafadz Allah bercampur baur.Bunyi gaduh yang tak biasa terjadi itu
membuat shalatku terganggu. Setelah salam yang kedua, terdengar suara pintu rumahku
terketuk sangat keras. Suara salamnya berbaur dengan suara gaduh di jalan
raya.Seperti suara anak kecil seusia Hamzah. Mengingat nama Hamzah, aku berkeringat.
Hamzahkah yang mengetuk pintu sekeras itu.Dalam bahayakah Ia. Aku bergegas
melepas mukena dan meraih jilbab putihku.Setelah pintuku terbuka, yang kulihat
bukan Hamzah tapi, Sholeh, teman ngaji Hamzah, cucu Mbah Ro.
“Ustdzah Aisyah, Hamzah berlumuran darah, digebukin orang-orang
warung kopi.”
“Astaghfirullahal’adzim…! Kenapa bisa terjadi?”Ujarku terkejut, Aku
mulai panic.
“Kata Mbah…! Tadi, Mbah melihat Hamzah pergi ke warung kopi pangku
membawa tiga batu kerikil.Dan melempari orang-orang di warung kopi dengan batu
tersebut.Mereka yang ada di warung kopi marah dan mengejar Hamzah.Hamzah tidak
bisa berlari kencang dengan keadaan kakinya yang cacat.Hamzah dikeroyok oleh
orang-orang itu.Melihat kejadian itu, Mbah Ro berteriak memanggil Bapak Hasan untuk
menolong Hamzah.Akhirnya Bapak mengajak warga untuk menolong Hamzah.Terjadi
bentrok antar warga kampung dengan semua yang ada di warung-warung kopi.Ada
yang membawa tongkat dan benda-benda tajam lainnya.”Sholeh menceritakan
kronologi kejadian sambil berlari di sampingku.Aku dan gamis putihku-pun berlaritanpa
alas kaki menuju jalan raya.
Di jalan raya aku menemukan Hamzah kecilku, terkapar tak
berdaya.Kepala dan tubuhnya penuh darah.Aku berlari memeluknya dan memeriksa
nafasnya.Airmataku tak berhenti menetes.
“Hamzah, Nak…! Ini Kak Aisyah…! Bangun Hamzah…! Hamzah harus
bertahan!”
Hamzah membuka matanya yang lebam. Bibirnya menyungging senyum, dan
bertanya,
“Kak Aisyah, apakah aku terlihat takut menghadapi perang ini?”
“Tidak Hamzah…! Kau sangat berani seperti Sayyidina Hamzah…!”
Hamzah tersenyum lagi.
“Kak Aisyah, apakah batu kerikil itu bagi mereka sangat sakit
ketimbang batu-batu kerikil dari neraka jahannam!”
“Tidak Hamzah…! Kerikil kecil itu tidak menyakitkan bagi mereka.”
“Aku tidak mendzalimi mereka kan Kak? Aku tidak berbuat jahat pada
mereka kan Kak?”
“Tidak…! Tidak…! Hamzah…!”
“Kak…! Terimakasih untuk sambal goreng tempe Kakak setiap sore.”
Kalimat terkhirnya itu membuatku tak berhenti meneteskan air mata.Aku berteriak
memanggil namanya saat denyut nadinya berhenti berdetak.Sholehpun menangis
sejadi-jadinya memeluk jasad Hamzah.
“Kau Syahid, Nak! Impianmu terwujud.”Bisikku di telinganya.Gamis
putihku memerah.Pipiku masih basah.
Satu pasukan polisi datang menangkap semua yang terlibat dalam
bentrokan.Kesedihanku memuncak melihat kenyataan bahwa Bang Faisal juga ada di
balik aksi bentrokan itu. Bang Faisal diciduk polisi bersama pemilik-pemilik
warung kopi pangku itu. Jenazah Hamzah dibawa ambulan ke rumah sakit untuk
diotopsi dan diperiksa sebagai bukti penganiayaan agar tidak dianggap remeh
oleh pelaku.Barang bukti kejahatan berupa kayu pemukul dan senjata tajam lain
diamankan polisi.
“Aku telah membunuh Hamzah dengan kebodohanku… Mengapa aku tak
menyadari bahwa Hamzah dengan keluguannya akan bertindak sejauh ini karena
mendengar semua ceritaku tentang keberanian Sayyidina Hamzah, tentang kerikil
Nabi Ibrahim dan tentang mati syahid.”Aku bergumam melihat kedua tangan dan
gamis putihku yang berlumur darah Hamzah.
***
4 Agustus 2012 M/ 15 Ramadhan 1433 H
Aku megunjungi Bang Faisal di penjara.Seperti halnya Pak Hasan dan
warga lainnya.Karena terlibat dalam bentrokan itu, Bang Faisal harus mendekam
di penjara sampai polisi mengetahui dengan pasti siapa saja yang terlibat dalam
kasus pengeroyokan terhadap Hamzah hingga Hamzah tewas.Aku bersyukur Dia tidak
terlibat dalam aksi pengeroyokan Hamzah.
“Aku membaca tulisanmu tentang Hamzah di Harian Rakyat.Semua orang
di penjara ini membicarakan Hamzah.Kau diterima jadi redaksi Harian Rakyat?”
“Itu tak berarti apa-apa bagiku saat ini!”
“Maafkan Aku Aisyah! Karena kejadian ini, Aku telah membuatmu tak
bahagia ketika kau telah meraih impianmu”
“Yang perlu Abang ketahui adalah seburuk-buruknya Abang. Aku tetap
menyayangi Abang! Abang tak melakukan kesalahan terhadapku.Abang bersalah pada
Allah dan Hamzah.Mintalah maaf pada Allah.”
“Lalu Hamzah? Bagaimana dengan Hamzah?Bagaimana aku bisa memperoleh
maaf darinya?”
“Asal Abang tahu!Hamzah pernah bilang bahwa Dia akan selalu
memaafkan Abang, sejahat apapun Abang padanya.”
“Aisyah…! Selepasnya dari penjara, maukah kamu mengantarkanku pada
Hamzah.”
“Apa Abang tak lagi membenci Hamzah?”
“Hanya orang bodoh dan jahat yang membenci Hamzah.Apa Kau anggap
Abangmu ini sejahat itu?”
Aku menggeleng mencium tangan Abangku.Abangku memelukku erat.
Dipelukannya Aku bergumam dalam hati
“Hamzah Kau benar-benar telah syahid. Hari ini aku bahagia, bukan hanya karena
aku diterima menjadi redaksi tetap Harian Rakyat tapi, karena Aku bisa membuat
orang-orang mengenang jasamu melalui features[1]
tentang dirimu yang Aku tulis di Harian rakyat. Sejak peristiwa itu Kau
terkenal dengan kerikil kecilmu yang mampu membuat aktifitas Warung Kopi Pangku
diberangus polisi.Sejak peristiwa itu shalat tarawih dikampung kita tidak
terganggu oleh bunyi musik. Sejak peristiwa itu di kampung kita, kau menjadi
tokoh idola masyarat muslim. Mungkin tak hanya di kampung kita, tapi seluruh
Indonesia.Islam bangga padamu Hamzah.Rosululllah bangga padamu.”
Selesai
pada Ramadhan
1433 H di kamar
Pukul
15.15 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar