Kamis, 22 Januari 2015

GELANGGANG SASTRA DAKWAH



   1500-an, tahun dimana Persia meniupkan ruh sastra dakwah ke setiap jengkal pulau Indonesia. Munculnya Hikayat Amir Hamzah buktinya. Sebuah hikayat yang disadur dari khazanah sastra Islam dan telah diakui kepopulerannya dalam naskah sejarah Melayu. Beberapa karya sastra terkenal lainnya yang memperkuat pernyataan besarnya pengaruh sastra Islam secara langsung ialah karya saduran sastra klasik Arab atau Persia seperti petikan Alf Layla wa Layla (Kisah Seribu Satu Malam) dan kisah Para Nabi.
Petikan Alf Layla wa Layla meskipun hanya berupa sempalan tapi mampu meraih tingkat faforit di kalangan masyarakat. Sehingga tak salah kalau kita dapat menjumpai kepopulerannya yang kemudian disulap menjadi bentuk teater rakyat dengan menggunakan berbagai macam bahasa daerah. Begitu pula dengan sempalan Kisah para Nabi. Naskah tentang Nur Muhammad misalnya, sebuah versi cerita tentang Nabi Muhammad SAW yang dipertautkan dengan alam pikiran salah satu aliran sufi.
      Dari latar belakang ini, menarik kita untuk sedikit menyusuri lorong waktu kembali kepada sejarah tentang bagaimana gelanggang sastra dakwah berperan di ranah budaya. Dakwah dipahami dengan pengertian mengajak manusia kepada jalan Allah (system Islam ) secara menyeluruh baik dengan lisan, tulisan atau upaya. Pengertian tersebut menunjukkan karakteristik spesifik dari dakwah, yaitu mengajak kepada jalan Allah (baca: Islam). Pengertian dakwah dari segi istilah ini, menjadi istilah baku, yang sudah jadi milik umat Islam sebab agama lain tidak menggunakan kata dakwah dalam penyebaran agamanya. Karena Istilah Dakwah lekat hubungannnya dengan Islam maka, sastra dakwah yang dimaksud kali ini adalah berkaitan erat dengan Islam.   
Dalam buku Sastra dan Budaya karangan Ajip Rosidi, buku tentang kedaerahan dalam keIndonesiaan hal 268 tertulis meski bahasa Melayu digunakan sebagai lingua franca secara luas di kepulauan Nusantara, namun sastra, baru bisa ditemukan jejak tertulisnya sejak agama Islam dipeluk secara luas oleh berbagai suku bangsa. Karena seluruh khazanah sastra Melayu mulai ditulis dengan huruf Jawi, yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan keperluan bahsa melayu (arab pegon).
Memang di beberapa daerah di wilayah Kepulauan Nusantara ada suku-suku bangsa yang telah mempunyai sastra tertulis sebelum Islam datang dengan tulisan dalam berbagai huruf daerah yang berlainan, kecuali Bali. Dan bahasa-bahasa daerah tersebut akhirnya ditulis dengan huruf arab pegon.
Naskah-naskah dari zaman pra-Islamyang ditulis dalam huruf-huruf daerah, Kawi misalnya, umumnya ditulis oleh para pujangga keratin atau berasal dari lingkungan keraton. Jika pada kenyataan ditemukan banyaknya naskah dalam huruf Jawi yang bukan bersal dari lingkungan keratin, membuktikan bahwa Islam mendorong meluasnya peradaban tulis-menulis dalam masyarakat. Rosulullah sendiri meski sejarah menulis bahwa beliau  ummi tapi, beliau sangat menghargai kepandaian tulis menulis. Dalam beberapa literature sejarah mencatat beliau telah membebaskan tawanan-tawanan perang yang melek huruf asalkan mereka mau mengajarkan kepandaiannya pada prajurit Islam paling tidak sepuluh orang.
Pada mulanya penguasaan baca tulis dengan huruf jawi Cuma sebatas pada hal terkait pengetahuan agama saja, tapi karena Islam seperti yang telah dikemukakan oleh H.A.R. Gibb bukanlah semata-mata agama dalam arti yang sempitmelainkan sebuah peradaban yang lengkap maka, tak heran kalu kemudian huruf jawi diperluas penggunaannya pada hal lain, karya sastra salah satunya. Jadi cerita-cerita Islami yang biasanya dikenal hanya dengan system dari mulut ke mulut saja dikembangkan dan ditulis dengan huruf jawi. Karya-karya tersebut yang dikemudian oleh para ahli digolongkan pada kelompok zaman pra Islam dalam sastra Melayu.
Sedang karya-karya yang digolongkan pada kelompok zaman Islam adalah karya-karya sastra yang secara jelas memperlihatkan pengaruh atau alam pemikiran Islam. Secara Garis besar karya tersebut dibagi menjadi dua yakni karya yang bersifat sufistik seperti Karya Hamzah Fansuri dari Aceh yang ditulis dalam bahasa Melayu (Abad ke-17), Karya La Ode Muhammad Idrus Qaimuddin dalam bahasa Walio di Sulawesi Selatan. Karya Haji Hasan Mustapa di Tanah Sunda dalam bahasa Sunda (pada pertukaran abad ke-19 ke abad ke-20) dan lain-lain. Adapun golongan yang ke-2 adalah golongan karya saduran yang mana beberapa contohnya telah diterangkan di atas.
Seiring berjalannya waktu, semua menyadari dunia terus berputar dan siapa atau apapun Ia pasti terkadang bisa berada di bawah dan terkadang pula bisa berada di atas. Begitu pula sastra dakwah. Memasuki dunia modern pada pertengahan 2004, sastra dakwah perlahan melenyap atau mungkin lebih tepatnya sudah tak lagi menjadi dominan di pasaran. Islam baik sebagai agama maupun sebagai peradaban, seakan-akan mulai tersisihkan dari alam pikiran dan kehidupan para literati modern. Terbukti pada tahun sebelumnya yakni pada 1930-an di Indonesia terjadi polemik kebudayaan, Islam belum bisa muncul sebagai salah satui alternative.
Peran Pesantren menurut Dr. Soetomo memang penting tapi hanya sebatas lembaga pendidikan bukan manifestasi agama Islam. S.Takdir Alisjahbana misalnya dikenal sebagai seorang yang sangat pro-Barat, sedangkan Sanusi Pane yang Pro-Timur juga bukan pembela Islam tapi kebudayaan yang bersifat Jawa-Hindu. Karena yang Sanusi anggap kawan adalah kebudayaan India.
Kemudia pada 1934, meski kurang mendapat perhatian dari oknum yang terlibat dalam istilah polemic kebudayaan M. Natsir menulis “ideology Pendidikan Islam” yang isinya meluruskan statement masyarakat tentang budaya Barat dan Timur. Berikutnya diantara tahun 1908-1982 lahirlah karya-karya Buya Hamka (tenggelamnya Kapal Vanderwijk, Dibawah Naungan Ka’bah, Ayah dan karya sastra Islam lainnya). Hampir bersamaan pula Samadi (Anwar Rasjid) pada 1919-1958 dan Rifa’I Ali (1909) menyumbangkan karyanya untuk khazanah kebudayaan Indonesia dengan menerbitkan sebuah kumpulan sajak-sajak Islami yang mampu bersaing dengan sajak Rindu Dendam karya J.E Tatengkeng (1907-1968).
Baru-baru ini Islam kembali menggeliat setelah beberapa saat mati suri. Habibur Rohman El-Zirazy misalnya, dengan kekuatan karya sastranya, Novel spiritual Ayat-Ayat Cinta mampu membius jutaan masyarakat, hingga menarik perhatian para sutradara untuk memfilmkannya. Begitu pula karyanya yang lain (red : KCB, DMC, dll). Sebelumnya juga tak kalah hebat, bermunculan karya-karya sastra Islam yang lahir tangan-tangan kaum hawa, misalnya, Asma Nadia, pipit senja, Afifah Afra dsb yang bukan lagi menjadi rahasia public kalau mereka tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP). Setelahnya bermunculan pula penerbit-penerbit baru yang menelorkan karya para santri seperti, Mata Pena, Diva Press Dar Mizan dll. Semua tulisan mereka beraroma khas pesantren atau semi pesantren.
Dari beberapa sinopsis sejarah perjalanan Islam yang jatuh bangun menyatukan tauhid, aqidah dan budaya dengan kebudayaan daerah di Indonesia seharusnya menyadarkan kita agar benar-benar melek bahwa Islam tentunya masih berada di gelanggang perjuangan. Bukankah Gelanggang perjuangan itu masih panjang.

Tidak ada komentar: