Petikan
Alf Layla wa Layla meskipun hanya berupa sempalan tapi mampu meraih tingkat
faforit di kalangan masyarakat. Sehingga tak salah kalau kita dapat menjumpai
kepopulerannya yang kemudian disulap menjadi bentuk teater rakyat dengan
menggunakan berbagai macam bahasa daerah. Begitu pula dengan sempalan Kisah
para Nabi. Naskah tentang Nur Muhammad misalnya, sebuah versi cerita
tentang Nabi Muhammad SAW yang dipertautkan dengan alam pikiran salah satu
aliran sufi.
Dalam
buku Sastra dan Budaya karangan Ajip Rosidi, buku tentang kedaerahan
dalam keIndonesiaan hal 268 tertulis meski bahasa Melayu digunakan sebagai
lingua franca secara luas di kepulauan Nusantara, namun sastra, baru bisa
ditemukan jejak tertulisnya sejak agama Islam dipeluk secara luas oleh berbagai
suku bangsa. Karena seluruh khazanah sastra Melayu mulai ditulis dengan huruf
Jawi, yaitu huruf Arab yang disesuaikan dengan keperluan bahsa melayu (arab
pegon).
Memang
di beberapa daerah di wilayah Kepulauan Nusantara ada suku-suku bangsa yang
telah mempunyai sastra tertulis sebelum Islam datang dengan tulisan dalam
berbagai huruf daerah yang berlainan, kecuali Bali. Dan bahasa-bahasa daerah
tersebut akhirnya ditulis dengan huruf arab pegon.
Naskah-naskah
dari zaman pra-Islamyang ditulis dalam huruf-huruf daerah, Kawi misalnya,
umumnya ditulis oleh para pujangga keratin atau berasal dari lingkungan
keraton. Jika pada kenyataan ditemukan banyaknya naskah dalam huruf Jawi yang
bukan bersal dari lingkungan keratin, membuktikan bahwa Islam mendorong
meluasnya peradaban tulis-menulis dalam masyarakat. Rosulullah sendiri meski
sejarah menulis bahwa beliau ummi tapi,
beliau sangat menghargai kepandaian tulis menulis. Dalam beberapa literature
sejarah mencatat beliau telah membebaskan tawanan-tawanan perang yang melek
huruf asalkan mereka mau mengajarkan kepandaiannya pada prajurit Islam paling
tidak sepuluh orang.
Pada
mulanya penguasaan baca tulis dengan huruf jawi Cuma sebatas pada hal terkait
pengetahuan agama saja, tapi karena Islam seperti yang telah dikemukakan oleh
H.A.R. Gibb bukanlah semata-mata agama dalam arti yang sempitmelainkan sebuah
peradaban yang lengkap maka, tak heran kalu kemudian huruf jawi diperluas
penggunaannya pada hal lain, karya sastra salah satunya. Jadi cerita-cerita
Islami yang biasanya dikenal hanya dengan system dari mulut ke mulut saja
dikembangkan dan ditulis dengan huruf jawi. Karya-karya tersebut yang
dikemudian oleh para ahli digolongkan pada kelompok zaman pra Islam
dalam sastra Melayu.
Sedang
karya-karya yang digolongkan pada kelompok zaman Islam adalah karya-karya
sastra yang secara jelas memperlihatkan pengaruh atau alam pemikiran Islam.
Secara Garis besar karya tersebut dibagi menjadi dua yakni karya yang bersifat
sufistik seperti Karya Hamzah Fansuri dari Aceh yang ditulis dalam bahasa
Melayu (Abad ke-17), Karya La Ode Muhammad Idrus Qaimuddin dalam bahasa Walio
di Sulawesi Selatan. Karya Haji Hasan Mustapa di Tanah Sunda dalam bahasa Sunda
(pada pertukaran abad ke-19 ke abad ke-20) dan lain-lain. Adapun golongan yang
ke-2 adalah golongan karya saduran yang mana beberapa contohnya telah
diterangkan di atas.
Seiring
berjalannya waktu, semua menyadari dunia terus berputar dan siapa atau apapun
Ia pasti terkadang bisa berada di bawah dan terkadang pula bisa berada di atas.
Begitu pula sastra dakwah. Memasuki dunia modern pada pertengahan 2004, sastra
dakwah perlahan melenyap atau mungkin lebih tepatnya sudah tak lagi menjadi
dominan di pasaran. Islam baik sebagai agama maupun sebagai peradaban,
seakan-akan mulai tersisihkan dari alam pikiran dan kehidupan para literati
modern. Terbukti pada tahun sebelumnya yakni pada 1930-an di Indonesia terjadi
polemik kebudayaan, Islam belum bisa muncul sebagai salah satui alternative.
Peran
Pesantren menurut Dr. Soetomo memang penting tapi hanya sebatas lembaga pendidikan
bukan manifestasi agama Islam. S.Takdir Alisjahbana misalnya dikenal sebagai
seorang yang sangat pro-Barat, sedangkan Sanusi Pane yang Pro-Timur juga bukan
pembela Islam tapi kebudayaan yang bersifat Jawa-Hindu. Karena yang Sanusi
anggap kawan adalah kebudayaan India.
Kemudia
pada 1934, meski kurang mendapat perhatian dari oknum yang terlibat dalam
istilah polemic kebudayaan M. Natsir menulis “ideology Pendidikan Islam” yang
isinya meluruskan statement masyarakat tentang budaya Barat dan Timur. Berikutnya
diantara tahun 1908-1982 lahirlah karya-karya Buya Hamka (tenggelamnya Kapal
Vanderwijk, Dibawah Naungan Ka’bah, Ayah dan karya sastra Islam lainnya).
Hampir bersamaan pula Samadi (Anwar Rasjid) pada 1919-1958 dan Rifa’I Ali
(1909) menyumbangkan karyanya untuk khazanah kebudayaan Indonesia dengan
menerbitkan sebuah kumpulan sajak-sajak Islami yang mampu bersaing dengan sajak
Rindu Dendam karya J.E Tatengkeng (1907-1968).
Baru-baru ini Islam kembali
menggeliat setelah beberapa saat mati suri. Habibur Rohman El-Zirazy misalnya,
dengan kekuatan karya sastranya, Novel spiritual Ayat-Ayat Cinta mampu membius
jutaan masyarakat, hingga menarik perhatian para sutradara untuk memfilmkannya.
Begitu pula karyanya yang lain (red : KCB, DMC, dll). Sebelumnya juga tak
kalah hebat, bermunculan karya-karya sastra Islam yang lahir tangan-tangan kaum
hawa, misalnya, Asma Nadia, pipit senja, Afifah Afra dsb yang bukan lagi
menjadi rahasia public kalau mereka tergabung dalam Forum Lingkar Pena (FLP).
Setelahnya bermunculan pula penerbit-penerbit baru yang menelorkan karya para
santri seperti, Mata Pena, Diva Press Dar Mizan dll. Semua tulisan mereka
beraroma khas pesantren atau semi pesantren.
Dari beberapa sinopsis sejarah perjalanan Islam
yang jatuh bangun menyatukan tauhid, aqidah dan budaya dengan kebudayaan daerah
di Indonesia seharusnya menyadarkan kita agar benar-benar melek bahwa Islam
tentunya masih berada di gelanggang perjuangan. Bukankah Gelanggang perjuangan
itu masih panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar