Semangat
dan tekat untuk merdeka merupakan semangat yang dipupuk melalui Resolusi Jihad
yang dikeluarkan ulama’ Nahdlatul Ulma’ (NU) di jalan bubutan VII/2, Surabaya
21-22 Oktober 1945. Namun, peristiwa yang terjadi di gedung Ansoru Nahdlatoel
Oelama (ANO) -kini jadi gedung PCNU- tak pernah dicatat dalam sejarah Nasional,
sehingga sering diabaikan oleh bangsa, terutama pemerintah sendiri.
Bukti
nyata pada peringatan Hari Pahlawan, 10 November tahun-tahun sebelumnya hampir
tak terlihat poster maupun foto para pejuang muslim, terutama para kiai dan
ulama’ yang dipasang di pinggir-pinggir jalan. Padahal peristiwa 10 November
1945 terjadi lantaran keterlibatan langsung ulama’. Keterlibatan ulama’ di
medan perang yang diperkuatkan dengan dikeluarkannya Resolusi Jihad NU.
Resolusi Jihad yang dipimpin langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari itu menghasilkan
deklarasi perang kemerdekaan sebagai perang suci atau jihad Fi Sabilillah.
Pihak
seperti itu biasanya tidak sadar kalau mereka diam-diam telah dikendalikan.
Rinaldi dalam bukunya berhasil menguak 24 protokol rahasia kaum zionis yang
pada protokol 7 berisi : World-Wide War, Perang-perang di seluruh dunia. Dengan
protocol ini zionis merancang berbagai jenis senjata untuk mensetting
peperangan di seluruh dunia.
Lantas
atas nama jihad orang-orang kita akan ikut-ikutan sok membela sesama muslim
dengan jalan merusak Negara sendiri. Padahal jika seorang muslim itu berjihad
dengan maksud menolong kelompok atau jama’ah tertentu, yang demikian itu
bearrti jihad yang dia lakukan adalah karena kelompok itu bukan karena Allah
Ta’ala.
Ini
yang mengakibatkan tanpa basa-basi, orang akan mengatakan Agama sebagai sebuah
keharusan hidup mulai diragukan perannya karena kesalahpahaman berfikir. Agama
yang diawal berperan sebagai juru damai dan lambang kekuatan moral kini pincang
dan berjalan terseok-seok. Sebab dalam kondisi tertentu, Ia gagal memenuhi
harapan pemeluknya untuk memberangus kekerasan dan melanggengkan
perdamaian.
Memang
benar pada dasarnya, semua agama melancarkan penolakan terhadap kekerasan
karena sifatnya yang a-moral. Namun dengan dukungan sentimen idiologi, etnis
dan golongan politik, agama justru tampil sebagai pemegang kendali senjata
perusak. Lagi-lagi itu karena kesalahan berfikir. Padahal jika dikaji ulang,
selamanya kekerasan tidak bisa duduk bersanding dengan misi perdamaian dalam
satu wadah yang disebut agama.
Dalam
bukunya Agama dan kekerasan dalam Transisi demokrasi Indonesia, Haqqul
Yaqin mencuplik pendapat Mark Juergensmeyer sebagai penjelasan kenapa tiba-tiba
agama tidak berpegang prinsip klasiknya. Menurut Mark, keterkaitan kekerasan
dengan agama bukanlah sebuah penyelewengan yang fatal sebab kondisi tersebut
lahir dari induk yang disebut cosmic war. Pandangan ini diilhami oleh
beberapa ide agama yang menggariskan bahwa manusia (objek yang harus dilindungi
agama) selalu terancam oleh kejahatan. Sehingga agama men-setting pemikiran
pemeluknya untuk berjuang memerangi kejahatan itu. Dari sudut pandang ini, kekerasan
kemudian memiliki struktur yang rapi hampir di setiap sistem kepercayaan.
Sekali
lagi akan kami ulang, bahwa sebab-sebab dan motif-motif kekerasan tersebut
muncul dari beberapa alasan politik, ekonomi, sosial-budaya, hingga frustasi. Hingga
muaranya pada manipulasi doktrin agama yang dalam testimoninya, mereka
mengumbar istilah jihad, melawan orang kafir, merindukan mati syahid dan sedang
menjemput surga.
Secara
bahasa Jihad adalah بذل الطاقة والوسع yang berarti mengeluarkan kekuatan dan apa saja yang dimampuinya.
Sedangkan menurut syara’ dalam kitab Haasyiah Ar-Raudh Al-Murbi’, Abdur Rohman
Bin Qosim An-Najdi vol. 4 hlm 253 jihad adalah
جهاد الكفار ودعوتهم إلى الدين الحق
وقتالهم إن لم يقبلوا
Yaitu melawan orang-orang kafir, mengajak mereka masuk
ke dalam agama yang haq, dan memerangi mereka jika menentang masuk Islam.
Rosulullah SAW
bersabda;
وأنا امركم بخمس الله أمرني بهن بالجماعة
والسمع والطاعة والهجرة والجهاد
أحمد عن حريث الأشعرى وصححه ترمذى ) ( رواه
“Dan aku perintahkan kalian dengan
lima perkara, yang Allah telah memerintahkan padaku denganya: dengan
berjama’ah, mendengar dan taat, hijrah dan jihad.” (HR. Ahmad dari Haris Al Asy’ary dan Turmudzi
dan dia menshahihkannya)
Inilah
yang lantas dijadikan bahan barter atas dosa oleh beberapa oknum. Memang dalam
Islam kita mengenal istilah ekspansi atau perluasan wilayah (kekuasaan) sebagai
usaha penyebaran ajaran. Sepanjang sejarah dengan ekspansi telah menghasilkan
beberapa peperangan. Dan untuk mendorong bergabungnya beberapa golongan,
kemudian tersisipkanlah embel-embel jihad di jalan Tuhan. Akhirnya praktik
jihad dapat dikatakan sebagian dari ibadah. Sedangkan gugur pada saat
menjalankan ibadah pada Tuhan dihukumi syahid dengan beberapa pahala yang luar
biasa. Namun itu, peristiwa klasik dan beralasan yang tak sembarangan bisa
dipraktikkan untuk saat ini.
Jika
dalam sebuah hadits riwayat Imam Ahmad dari Sa’id Ibn Zaid, bahwa; orang yang
terbunuh membela haknya, keluarganya atau agamanya adalah syahid.
Maka, orang yang mati syahid seperti yang tersebut dalam beberapa hadits berhak
atas 6 anugerah, diantaranya; diampuni dosanya sejak tetes darahnya yang
pertama, bisa melihat tempatnya di surga, dihiasi dengan perhiasan iman,
dikawinkan dengan bidadari, dijauhkan dari siksa kubur dan aman dari kengerian Yaumul
Faza’il Akbar.
Dengan
kefahaman tak bertanggung jawab seseorang terhadap isi hadits tersebut,
beberapa slogan pemicu aksi dimunculkan paksa. ‘Isy Karima au mut
syahidan’. Slogan ini yang mengobarkan semangat untuk menjadi semakin radikal
bahkan mencapai maqom teroris. Padahal seharusnya slogan ini menjadi stimulus
kita untuk menjadi manusia yang lebih mulia. Lantas kapan gelar manusia mulia
itu akan disandang? Idealnya, ya ketika kita sudah bisa mencontoh Rosulullah
Saw. Atau setidaknya seperti sahabat-sahabat Rosul atau jika tak mampu ya
seperti Ulama’ sholeh yang ngerti, bukan ulama’ GADUNGAN.
Kalau
kita berguru pada ulama’ gadungan akibatnya, seperti yang seringkali terjadi di
negri kita, Indonesia. Banyak diantara mereka menjadi korban yang menurut Dr. KH.
A. Mustofa Bisri disebut sebagai taklid buta. Karena asal meniru tanpa
mempertimbangkannya lebih matang, hasilnya ya lucu dan menggelikan. Dalam
persoalan jihad mereka taqlid pada negara timur tengah, Iran atau Afganistan yang
jelas-jelas memfungsikan kata jihad pada tempatnya. Itulah akibat dari taklid
yang asal-asalan, mencontek perjuangan bangsa tertindas menyelamatkan negri
tumpah darahnya dari musuh, dengan misalnya melakukan aksi bom bunuh diri. Aneh
kan? Padahal Rosulullah SAW berperang bukan untuk menghadapi kematian atau
kekalahan tapi untuk menang dan meraih kemuliaan hidup.
Allah
SWT berfirman dalam (QS. An-Nisa’ 4:29), ولا تقتلوا آنفسكم ..... “Dan janganlah kamu membunuh dirimu” menurut para mufassir larangan membunuh diri itu juga
berarti larangan membunuh orang lain. Karena kita adalah satu kesatuan, berasal
dari satu nur Muhammad. Apalagi jika nyawa yang kita hilangkan itu adalah nyawa
yang sama sekali tak berdosa. Masih layakkah disebut Syahid? Kalau si Syahid, penjaga
pom mungkin bisa, bedanya ya yang dia jaga itu bom.
Bukankah
meraih kemulian hidup tak harus dengan cara menanam dinamit dan meledakkannya,
apalagi di negara yang jelas-jelas ditinggali oleh saudara mayoritas seiman
seislam. ‘Yang ada tu mah, mati sangit di neraka bukan mati syahid’. Jika
difikir-fikir, benar juga kata Dr. KH. A. Mustofa Bisri, betapa munafiq dan
egoisnya jika mengorbankan manusia tak berdosa demi mendapatkan bonus bidadari
surga.
Yang
benar hidup mulia dulu, baru jika Allah mentaqdirkan syahid itu berarti nilai
plus. Bukan malah dijungkir balik mencari beragam cara untuk mati syahid agar
mendapatkan kehidupan mulia. Kemulian hidup tak harus diraih dengan kesyahidan
apalagi sampai menawarnya dengan dosa membunuh namun, bisa diluluskan dengan sebuah
keamanahan. Contoh sederhananya, seperti keamanahan kita menjaga titipan Allah
yang berupa ilmu, harta, keluarga dan kedudukan.
Tanpa
ada akhir kesyahidan terus menjadi impian pihak tertentu atau oleh –kau tahu
siapa- (sedikit mencontek cara J.K. Rowling menyebut Voldemort -Sang raja
kegelapan-), yang mengusung agama sebagai porosnya. Mereka mencari jalan pintas
menuju surga dengan melakukan transaksi gelap dengan malaikat. Meski sebenarnya
mereka sadar malaikat juga tahu bahwa makna kesyahidan menimbulkan persoalan yang
multi-tafsir, tetap saja mereka berbangga mengatakan; ‘Alhamdulillah ya,
saya sudah di surga. Mati itu memang sesuatu’. Tak berlebihan jika kita
menjawab sambil tertawa: JANGAN KE-PD-AN BUNG…! I
Reference:
Rinaldi.
Mengungkap 24 Protokol Rahasia Kaum Zionis. (Bandung: Pustaka Ulumuddin.
2004)
Yaqin,
Haqqul. Agama dan Kekerasan dalam transisi Demokrasi Indonesia.
(Yogyakarta: eLSAQ Press. 2009)
Qadir,
Abdul bin Abdul Aziz. Al-Umdah Fi I’dadil Uddah, Kupas Tuntas Seputar I’dada
dan Jihad. (Solo : Syam Publishing. 2009)
Duta
Masyarakat, Minggu 23 Oktober 2011
Bisri,
Mustofa. Mata Air. (hal.1-2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar