Bismillahirrahmanirrahim. Aku melangkah menyusuri jalanan kota
Yogyakarta. Tepatnya, Aku berada di trotoar malioboro yang masih lengang.
Setelah melewati museum Vredeburg Aku beristirahat sejenak di patung kaki
besar di kiri jalan. Patung itu menarik perhatianku, sepotong kaki raksasa
dengan pahatan ranting-ranting pohon pada paha bagian atas. Aku mereka-reka
makna pahatan seniman yang membuatnya. Aku membayangkan seandainya semua pohon
di dunia ini memiliki kaki menyerupai manusia. Pasti, mereka akan ikut
mengantre di loket-loket bioskop untuk menonton film Surat Kecil untuk Tuhan,
memenuhi pasar-pasar malam, dan juga berpartisipasi membuat macet jalan raya. Mungkin
pemahatnya menginginkan ada persahabatan antara manusia dengan tumbuhan. Ya,
sementara Aku hanya akan mereka maknanya, sebab Aku tak menemukan seorangpun
untuk bertanya.
“Assalamu’alaikum!” Suara lirih di seberang.
“Wa’alaikum
salam Mak …! Ada apa menelpon Hajar sepagi ini?”
“Kau, ini selalu saja begitu, tidak bolehkah Emakmu yang sudah tua
ini ingin tahu kabar putra semata wayangnya yang sering membangkang.” Sahut
Emak berbicara hampir tanpa titik koma. Aku yakin beliau tidak sungguh-sungguh
memarahiku. Ya, meski seperti katanya, sering membangkang.
Aku membayangkan wajah Emak dengan nasehatnya yang meletup-letup.
Terakhir Aku ingat, pesan beliau, Nak, Jangan jadi wartawan. Menurut pandangan beliau pekerjaan paling
tidak baik adalah menjadi wartawan. Pekerjaan itu memaksa seseorang untuk
mencari-cari kesalahan orang lain dan tak jarang memberitakan hal yang tidak
benar. Bad News is a Good News, dipelesetkan menjadi semakin buruk kau
membicarakan orang lain maka beritanya akan semakin baik dan laku. Wartawan
hanya akan mengabarkan berita yang memberinya uang lebih banyak. Semakin banyak
amplop yang kau berikan, maka semakin baik pula berita itu akan dipublikasikan.
Meski berita itu tidak sesuai kenyataan. Aku berulangkali mencoba menjelaskan
bahwa tidak semua wartawan seperti yang Emak perkirakan.
Lain Emak, lain pula Bapak, Bapak bersikeras melarangku menjadi
penulis. Beliau bilang, penulis itu banyak bohongnya, mereka pembual, namanya
saja tukang ngarang, mereka hanya bisa menghayal dan menghayal. Lagi pula, masa
depan penulis itu tidak jelas, berapa bayaran jadi penulis, Nak. Begitulah
tepatnya ceramah beliau setiap hari. Dadaku sesak kalau mendengar itu. Tapi, di
sinilah Aku sekarang, karena terlalu mencintaiku, Bapak dan Emak memberiku
restu merantau ke Yogyakarta untuk mengejar impianku menjadi penulis. Dan, di
sinilah Aku, merantau. Tanpa sadar aku berteriak,”Jalaluddin Rumi …. Aku datang
….!”
“Hajar … berarti dari tadi Emak ngomel-ngomel tidak kau dengarkan
Nak. Dasar anak bandel.”
“Ayolah Mak, bandel-bandel begini Aku ini kan anak kesayangan
Emak.”
“Ya, pastilah Bapak dan Emakmu ini mencintaimu Nak” Suara Emak
serak, sepertinya beliau akan menangis. “Emak, jangan buat Hajar galau dengan
tangisan Emak.” Aku berkelakar. “Tidak, Nak. Emak dan Bapak di Gresik,
memberimu restu menemui Jalaluddin Muhammad.” Sahut Emak menahan tangis. “Aduh
Emak, kok Jalaluddin Muhammad, itu kan nama Raja Kerajaan Mughal dalam drama
laga India berjudul Jodha Akbar. Emak kebanyakan nonton sinetron sih. Namanya
Jalaluddin Rumi, Mak.” Aku bersikeras menjelaskan. “Iya … iya bilang Pak Rumi,
Anak Emak ini harus jadi penulis hebat. Kalau bisa mengalahkan Kahlil Gibran”
Aku tersenyum, ini baru betul Mak, Kahlil Gibran.
***
“Kamu ingin Saya menuliskan kata pengantar untuk bukumu ini? Kamu
berani bayar saya berapa.?” Hatiku tersentak mendengar pertanyaan Jalaluddin
Rumi. Aku memberanikan diri bertanya meski Aku yakin uang di dompetku hanya 500
ribu rupiah. Berapa rupiahkah yang akan diminta seorang Jalaluddin Rumi.
“10 juta untuk pemula sepertimu.” Aku diam, untuk saat ini, Aku tak
punya uang sebanyak itu. Putuslah harapanku. Bumi seakan runtuh. Aku teringat
Emak, apakah ini balasan bagi pembangkang sepertiku. Emak dan Bapak tidak
mengizinkanku terlibat dalam dunia jurnalistik. Inilah akibatnya. Jalaluddin
menolakku tanpa membaca naskah yang kutulis setelah aku mengatakan Aku tidak
bisa memberi 10 juta.
Pikiranku melayang, Aku tak menghiraukan keluar masuknya penumpang
TransYogya yang sedang kutumpangi. Tiba-tiba, kendaran umum elegan bagiku itu
berhenti, Sopirnya menoleh padaku. Dia mengatakan sesuatu. “Ibnu Hajar, apa
yang kau risaukan. Ini bukan akhir dunia.” Aku bertanya dalam hati,”Siapa dia,
kenapa dia tahu namaku?” “Aku Ernest Hemingway.” Aku terperanjat dan gemetar tak
hanya karena dia tahu isi pikiranku tapi karena mendengar nama itu disebut. Inikah
wajah Ernest Hamingway. Bukankah itu nama pengarang buku A Moveable Feast
yang legendaris itu. Dia adalah penulis asal Amerika Serikat yang tinggal di
kawasan pinggiran kota Chicago, tepatnya di Oak Park. Dia juga yang
menginspirasiku menjadi wartawan. Dia reporter kelas atas untuk koran-koran di
Kanada dan Amerika. Karirnya memang dimulai dari profesinya menjadi reporter yunior
koran Star di Kansas City. Tapi, dia berhasil meraih Noble Prize bidang
kesusastraan. Tulisan-tulisannya sekelas Kahlil Gibran. Bedanya Kahlil Gibran
identik dengan romantismenya dan Ernest dengan kegilaannya pada hal-hal yang
memacu adrenalin. Ini hebat, Aku bertemu dengannya di Yogya. “Aku … aku …” Aku
terbata-bata, ingin mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan di hatiku yang tak
kunjung keluar dari bibir.
“Hajar, jika kau tidak bisa bertanya atau mengatakan sesuatu
padaku, Aku saja yang akan mengatakan sesuatu padamu.” Aku kembali tercekat,
Ernest tak hanya bisa bahasa Indonesia tapi, dia juga bisa membaca pikiranku.
“Lebih baik menyalakan lilin, daripada mengumpat di tengah
kegelapan. Tak usah sesali keadaan ini, jalanmu mungkin salah tapi sudah benar.
Jadilah legenda…!” Keningku berkerut, memikirkan kata-kata Ernest. Tiba-tiba
kenek Trans Yogya menepuk pundakku.
“Mas…! Tujuanmu sampai. Kampus UINSUKA.” “Oh iya, Mas, ini saya
masih bicara sama Ernest.” Aku menunjuk sopir Trans. Penjaga pintu Trans itu
tertawa. “Mas … Mas … sampeyan ini
ada-ada saja. Sopirnya namanya Paimin. Ernest kan nama orang Amerika. Makanya
Mas, jangan melamun di tengah hari begini. Ada masalahkah?” “Oh, Enggak Mas,
terimakasih sudah mengingatkan saya.” Penjaga pintu itu tersenyum.
Aku baru ingat kalau Ernest telah meninggal tahun 1961, bahkan jauh
sebelum Aku lahir. Tapi apakah maksud dari semua ini. Aku berjalan gontai
menuju asramaku di dekat Kampus UINSUKA. Aku terus mengingat pesan Ernest maya
itu, Lebih baik menyalakan lilin, daripada mengumpat di tengah kegelapan. Tak
usah sesali keadaan ini, jalanmu mungkin salah tapi sudah benar. Jadilah legenda…!
Besok Aku akan menemui Profesor Ali untuk menanyakan hal ini. Siapa tahu dekan
Fakultas sastraku itu bisa membantu menyembuhkan kegalauannku. Aku
sangat galau, satu sisi aku teringat pesan Ernest, dan di sisi lain Aku
teringat Emak dan Bapak. Apa yang akan kukatakan tentang penolakan Jalaluddin
Rumi.
***
Di kantor dekan Fakultas Sastra, Pasca Sarjana UINSUKA.
“Assalamualaikum, Prof.” “Siapa?” “Hajar, Prof.” “Masuk, Hajar.”
Maaf, mengganggu.” “Ah, tidak apa-apa, saya sedang tidak ada jam. Bagaimana,
apakah kau betah tinggal di Yogya, apakah teman-temanmu masih mengejekmu dengan
olokan hajar aswad.” Selain lemah lembut dan dekat dengan mahasiswanya,
Profesor Ali juga punya selera humor tinggi. Beliau juga selalu terbuka pada
mahasiswanya. Oleh karena itu, banyak mahasiswa yang sering sharing atau
sekedar curhat pada beliau. “Ya Enggaklah Prof … saya kan ndak hitam
seperti hajar aswad, hingga membuat saya tidak betah gara-gara julukan itu.”
“Tapi, saya tertarik sekali pada namamu, sejak membaca formulir pendaftaran.
Saya pengagum Ibnu Hajar, murid Imam Syafi’i itu adalah tauladan kegigihan
seorang murid dalam belajar. Beliau terus bersemangat belajar meskipun
kemampuan mengingat dan menerima pelajaran beliau waktu itu sangat terbatas.
Dalam setahun beliau hanya bisa memahami satu huruf hijaiyah saja. Beliau
sempat putus asa tapi, bersemangat lagi setelah mendapat petunjuk dari Allah
melalui batu yang akhirnya berlubang jika terus menerus ditetesi air. Beliau
belajar dari batu dan air tentang keajaiban ilmu. Air yang jernih dan lembut saja
mampu melubangi batu yang keras jika terus menerus menetesinya. Ilmu juga akan
bersatu dengan jiwa yang terus menerus ingin memilikinya. Selemah atau sebodoh
apapun orang itu. Aku harap kau sama gigihnya dengan Ibnu Hajar. Seperti
namamu, Ibnu Hajar.”
“Sayangnya saya hanya meniru kelemahannya, Prof. Dari sekian ratus
mahasiswa pasca di kampus ini, ya, saya yang paling bodoh, Prof.” Profesor Ali
tertawa mendengar pernyataan pasrahku. “Tapi, yang penting kamu tetap semangat
dan tidak putus asa saat naskah cerpenmu di tolak Jalaluddin Rumi. Kamu kesini
mau minta solusi kan.” “Ah, Profesor ini, sama seperti Ernest Hamingway, bisa
membaca pikiran orang.” “Hah, sejak kapan Ernest Hamingway merubah profesinya
dari penulis menjadi cenayang?” “Lah itu Prof, yang ingin saya tanyakan pada
Profesor, Ernest memberi saya pesan begini bunyinya, lebih baik menyalakan
lilin, daripada mengumpat di tengah kegelapan. Tak usah sesali keadaan ini,
jalanmu mungkin salah tapi sudah benar. Jadilah legenda…! Maksud pesan itu apa
Prof?” “Wait …! Kapan kamu bertemu Ernest, beliau kan sudah meninggal?”
“Entahlah Prof, saya bertemu beliau di Transyogya kemaren siang, dia menjadi
sopir trans.” “Hajar … Hajar …. Kau ini ada-ada saja. Masak Ernest jadi sopir
Trans, tadi cenayang sekarang sopir trans. Tapi… saya tertarik dengan isi pesan
itu. Mmm …” Profesor terlihat mengerutkan kening, sepertinya beliau berfikir.
“Tak usah sesali keadaan ini, bisa jadi itu tentang nasibmu yang
ditolak Jalaluddin Rumi. Lalu, kata-kata lebih baik menyalakan lilin, daripada
mengumpat di tengah kegelapan artinya lebih baik memulainya dengan melakukan
hal yang kecil daripada menyesali bahkan memaki takdir. Dengan kau berusaha
menulis dan menemui Jaluddin Rumi walaupun itu karena paksaanku, itu artinya
kamu sudah memulainya dengan hal-hal kecil.
Dan tentang kata, jalanmu mungkin salah tapi sudah benar, itu artinya
karirmu memang akan dimulai dari dunia sastra, tapi kamu salah orang jika
menemui Jalauddin Rumi. Ernest ingin kamu jadi legenda seperti dirinya. Tapi
bukan legenda plagiator.” Profesor Ali menggodaku. Menyinggung plagiator, aku
meringis malu. Aku punya kenangan buruk dengan kata plagiator.
“Besok saya akan mempertemukanmu dengan Achmad Tohari, Sastrawan
sekaligus pengarang trilogi fenomenal, Ronggeng Dukuh Paruk. Beliau sahabat
dekat saya, InsyaAllah, beliau akan membantumu.”
“Terima kasih banyak Prof.” Ujarku mencium tangan Profesor Ali.
***
Tentang plagiator,
Aku berjanji pada Profesor Ali untuk tidak mengulanginya lagi. Kisah ini
berawal dari 11 tahun yang lalu, 2003. Karena besarnya rasa ingintahuku, aku sangat
tertarik pada pintu bertuliskan Pesanggrahan. Saat itu, Aku masih duduk di
bangku 2 SMP, dengan polosnya dan tanpa mengenal malu, Aku mengintip ke ruangan
sebelah kelasku yang dipenuhi kertas-kertas, buku-buku dan komputer. Aku tak
peduli kata orang, katanya mengintip membuat matamu membengkak.
Belakangan kuketahui, ruangan yang dinamakan pesanggrahan itu,
ternyata sebuah kantor sekretariat majalah sekolah. Aku kagum sekali, ternyata
sekolahku punya majalah yang bagus. Setiap kali majalah itu terbit, aku selalu
membacanya dari halaman awal sampai akhir berulang-ulang. Dalam seminggu Aku
bisa membacanya sebanyak 5 kali. Aku juga kagum pada crew yang menghandel
proses penerbitan majalah tersebut. Pastilah mereka orang-orang terpilih dan
hebat. Bisa meramu tulisan dan membuat pembacanya ketagihan. Aku menyesal
kenapa tidak sejak kelas 1 dulu aku mengintip ruangan pesanggrahan. Setidaknya
aku punya tambahan waktu setahun untuk mewujudkan mimpi ini. Ya, sejak saat
itu, meski tidak punya bakat menulis, Aku bertekad, entah kapankah itu, Aku
harus menjadi redaksi majalah di sekolahku, meskipun hanya sebagai officeboy
di sana.
Tekadku, ku buktikan dengan selalu mengirimkan tulisan melalui
kotak yang disediakan crew majalah. Aku menuliskan opini-opini ringan. Aku
terus menulis meski tidak pernah dimuat. Aku sadar, mungkin redaksi menolakku
karena Aku tidak memiliki bakat alami di dunia jurnalistik. Meski sekuat tenaga
berusaha. Hasilnya nihil. Padahal teman sekampungku yang baru saja bersekolah
di tempat yang sama denganku itu bisa menembus dapur redaksi. Tulisannya dimuat
di majalah sekolah. Tapi, meski bukan tulisanku yang masuk, Aku cukup bangga.
Setidaknya teman sekampungku bisa mengharumkan nama kampung kami. Tulisan teman
sekampungku itu Aku gunting dan memberinya bingkai kemudian menggantungnya di
dinding kamar. Dan sampai sekarang, tulisan itu masih ada.
Pada Kelas 3 SMP, lantaran redaksi majalah sekolah tidak pernah
memuat tulisanku, Aku putus asa dan punya ide jahat. Aku menulis ulang alias
menjadi plagiator tulisan opini milik Profesor Ali Khan, Msi, seorang dekan
Fakultas Sastra di salah satu kampus di Yogyakarta. Dengan menulis ulang
tulisan Profesor Ali, Aku berhasil menjadi bagian dari majalah sekolah, sebagai
seorang layouter. Waktu itu, Aku bingung, kenapa Layouter, bahkan Aku sama
sekali tidak tahu cara memegang mouse yang benar. Redaksi seniorku bilang, Kau
akan belajar menjadi layouter. Berkat redaksi tersebut, Aku dipercaya menjadi
layouter tetap bahkan sampai Aku lulus dari SMA yang kebetulan satu yayasan
dengan SMPku dulu. Karena merasa tidak
tenang, hidup dihantui perasaan bersalah atas perbuatan plagiatorku. Aku
bertekat untuk terus berlatih menulis dengan mendirikan koran harian pribadi
dengan redaksinya Aku sendiri. Aku yang menjadi pimred merangkap reporter dan
layouter. Meski banyak yang mencibir, Aku tak peduli. Semuanya demi menebus
kesalahanku.
Tahun 2012, Aku tak menyangka Profesor yang hak ciptanya telah Aku
curi itu, akan menjadi dekanku saat aku kuliah S2. Aku malu pada diri sendiri
dan selalu merasa bersalah ketika bertatap muka langsung dengan Profesor Ali.
Dan akhirnya aku memberanikan diri menceritakan semuanya dan meminta maaf pada
Profesor Ali. Saat itu, Aku tidak malu meneteskan air mata di depan beliau. Dengan
berpura-pura marah Profesor Ali memberiku hukuman membuat cerpen sebanyak 20
judul dalam 21 hari. Ini hukuman tergila dan terkonyol di seluruh dunia. Aku
yang tidak punya bakat menulis, dipaksa menulis dalam waktu singkat. Sejak saat
itu Aku sangat dekat dengan Profesor Ali.
Demi menjalani hukuman dan serius ingin meminta maaf dari Profesor
Ali, Aku terus menulis tanpa henti. Aku bahkan lupa makan dan minum. Aku terus
menulis dan menulis. Yang kulakukan hanya berinteraksi dengan tokoh yang Aku
tulis. Aku tak peduli cerpenku melebihi batas maksimum ataukah malah kurang. Aku
tak menghiraukan tanda baca yang masih salah. Aku tak menghiraukan kata baku
atau tidak baku. Aku juga tak serius dengan EYD atau kaedah Bahasa Indonesia
yang benar. Aku juga tidak membumbuinya dengan kata-kata sastra seperti
Habiburrahman El Shirazy. Aku juga tidak membubuhi sains seperti Andrea
Hirata. Berbekal motifasi dari pengalaman Gus Mus aku berusaha menyelesaikan
hukumanku. Gus Mus juga dipaksa menulis cerpen. Meski kata editornya, cerpen
beliau tidak memenuhi salah satu syarat-syarat cerpen tapi, terbukti cerpen itu
dimuat di koran Kompas. Aku hanya harus benar-benar berada dalam cerita.
***
“Mas Hajar…! Anda dipanggil Gus Mus ke ruangan rapat DKJ[1].
Penjurian karya-karya peserta sayembara menulis novel 2016 akan segera
dimulai.” Seorang wanita berjilbab masuk ke ruanganku dan memberitahuku.
“O … ya Mbak …! Apa Kang Abik, Mas Andrea dan Ayah sudah datang?
maksud saya Pak Thohari?” “Sudah Mas …! Oya, tadi ada telepon dari Mas Hanung
Bramantyo, beliau mencari Mas, beliau ingin membicarakan novel mas yang akan
difilmkan.” “Oya, Mbak … terimakasih, saya ke ruangan rapat dulu, nanti beliau
saya hubungi.”
***
“Tulisan macam apa ini, sama sekali tidak bagus, kayak anak SD.
Kata-katanya berantakan.” Achmad Thohari melempar manuskrip kumpulan cerpen ke
arahku.
“Mas Hajar … kamu ini sebenarnya ngerti Bahasa Indonesia apa
tidak?” Aku hanya diam, mendengar ucapan beliau. “Aku bergumam dalam hati, “Aku
memang tidak bisa menulis Pak, cerpen-cerpen itu aku buat atas paksaan Profesor
Ali, menerbitkannya itu juga anjuran Profesor Ali.” “Emmm … kalau begitu, saya
pulang saja Pak …” “Eh … sini Mas, naskah-naskahnya jangan di bawa pulang, Saya
baca dulu.”
Keesokan harinya Pak Achmad Thohari mendatangi kampusku dan
mencariku. “Kamu ini aneh Mas, koq bisa menulis 20 buah cerpen dalam waktu 21
hari. Dan hasilnya luar biasa sekali.” “Maksud Bapak?” Aku heran, kenapa
setelah memakiku tadi malam, beliau malah berbalik memujiku. “Iya, saya tidak
bohong, tulisan kamu ini sekelas Pramoedya Ananta Toer, sekelas Ernest
Hamingway.” “Ah, Bapak bercanda.” “Panggil saya Ayah saja. Tulisan kamu memang
ada beberapa kesalahan pada penulisan tanda baca dan tata bahasa tapi,
tokoh-tokoh yang kamu ceritakan benar-benar hidup. Di sinilah daya tariknya.”
“Iya Mas, apalagi, cerpen yang terakhir, kalau dibaca tengah malam
pasti merinding karena seakan-akan tokohnya itu hidup dan berada di sekeliling
kita.” Sahut istri Ayah Thohari. Aku tersipu bercampur heran.
“Mas Hajar … kok senyum-senyum sendiri.” Sapa satpam gedung DKJ.
Lamunanku mengenang masalalau tiba-tiba buyar oleh suara laki-laki paruh baya.
“Ah … tidak Mang, lagi kangen Emak, pengen pulang ke Gresik. “Oalah … sini Mas,
kunci mobilnya, saya keluarkan mobilnya dari parkiran.” “Makasih ya Mang.”
Satpam bernama Mang Somad itu tersenyum.
***
“Peraih Pena Award Novel Terpuji Nasional sekaligus Peraih
Penghargaan The Most Favorite Book 2017 adalah … Ibnu Hajar.” Aku
terkejut, namaku dipanggil host Pena Award 2017. Profesor Ali Khan yang sedari
tadi berada di sebelahku, tersenyum. Mata beliau berkaca-kaca. Aku maju ke
podium menerima dua piala, dan memberikan sambutan,
“Terima kasih pada Allah SWT yang memberi saya kebahagiaan ini,
kedua orangtua yang mempercayai dan mendukung saya, serta Profesor Ali dan Ayah
Thohari yang selalu membimbing saya hingga mendapatkan penghargaan ini.
Kata orang, menjadi hebat itu harus punya bakat. Tapi, kenyataannya
adalah menjadi orang hebat hanya butuh semangat. Dan sekarang, jangan dengar
kata orang, jika itu hal negatif. Bukankah katak yang tuli, akhirnya bisa
mencapai puncak menara meski katak-katak di sekelilingnya menertawainya dan
memastikan bahwa ia tidak akan sampai puncak. Ejekan dan sumpah serapah katak
lain yang meremehkan katak tuli tidak berhasil menghancurkan semangatnya
mendaki puncak menara. Meski tahu dirinya tidak punya bakat memanjat, di dalam
hatinya ada semangat kuat mencapai puncak. Katak tuli itu, bertekat menakhlukkan
menara demi melihat keindahan di puncaknya. Jika ingin menjadi hebat, untuk
sementara waktu berpura-puralah menjadi tuli pada hal negatif.
Orang hebat berani menembus batas, tembuslah batas tapi tidak
kelewat ‘batas’. Siapapun dirimu, apapun latar belakangmu, bagaimanapun
statusmu, kamu berhak menjadi luar biasa bahkan tanpa bakat sekalipun…! Lalu
sekarang apa? Ya, katakan, Aku bisa mati jika tidak menulis.” Mataku basah menatap Profesor Ali lekat-lekat.
Kisah ini seperti Ernest Hamingway dalam cerita. Terjebak di antara
fiksi dan non fiksi.
Jika kau mengerti maksudku tersenyumlah dan jika tidak tetaplah
tersenyum karena orang hebat selalu tersenyum.
Selesai Sabtu, 6 Desember 2014 09:02
Tidak ada komentar:
Posting Komentar