Selasa, 20 Januari 2015

KATA EMAK, JANGAN JADI WARTAWAN



Bismillahirrahmanirrahim. Aku melangkah menyusuri jalanan kota Yogyakarta. Tepatnya, Aku berada di trotoar malioboro yang masih lengang. Setelah melewati museum Vredeburg Aku beristirahat sejenak di patung kaki besar di kiri jalan. Patung itu menarik perhatianku, sepotong kaki raksasa dengan pahatan ranting-ranting pohon pada paha bagian atas. Aku mereka-reka makna pahatan seniman yang membuatnya. Aku membayangkan seandainya semua pohon di dunia ini memiliki kaki menyerupai manusia. Pasti, mereka akan ikut mengantre di loket-loket bioskop untuk menonton film Surat Kecil untuk Tuhan, memenuhi pasar-pasar malam, dan juga berpartisipasi membuat macet jalan raya. Mungkin pemahatnya menginginkan ada persahabatan antara manusia dengan tumbuhan. Ya, sementara Aku hanya akan mereka maknanya, sebab Aku tak menemukan seorangpun untuk bertanya.
Jalanan Malioboro benar-benar sepi, karena Aku berangkat dari asrama sejak pukul 03.00 WIB. Begitu semangatnya Aku hingga tak mengacuhkan gerimis yang tak kunjung reda. Mengingat ambisi dan semangatku, Aku membayangkan wajah tokoh yang akan kutemui, Jalaluddin Rumi. Pemerhati sastra sekaligus kandidat Doktor Twente Universiteit, Belanda. Hidup di Yogya adalah impianku sejak SMA, selain hawanya sejuk dan tempat nongkrongnya para seniman, Yogya juga dikenal sebagai kotanya para penulis. Aku membuka tas punggungku dan menengok isinya. Aku bernafas lega melihat manuskrip Antologi cerpen yang akan Aku tunjukkan pada Mr. Jalaluddin Rumi, masih ada di tasku. Tiba-tiba ponselku berdering.
Assalamu’alaikum!” Suara lirih di seberang.
            “Wa’alaikum salam Mak …! Ada apa menelpon Hajar sepagi ini?”
“Kau, ini selalu saja begitu, tidak bolehkah Emakmu yang sudah tua ini ingin tahu kabar putra semata wayangnya yang sering membangkang.” Sahut Emak berbicara hampir tanpa titik koma. Aku yakin beliau tidak sungguh-sungguh memarahiku. Ya, meski seperti katanya, sering membangkang.
Aku membayangkan wajah Emak dengan nasehatnya yang meletup-letup. Terakhir Aku ingat, pesan beliau, Nak, Jangan jadi wartawan.  Menurut pandangan beliau pekerjaan paling tidak baik adalah menjadi wartawan. Pekerjaan itu memaksa seseorang untuk mencari-cari kesalahan orang lain dan tak jarang memberitakan hal yang tidak benar. Bad News is a Good News, dipelesetkan menjadi semakin buruk kau membicarakan orang lain maka beritanya akan semakin baik dan laku. Wartawan hanya akan mengabarkan berita yang memberinya uang lebih banyak. Semakin banyak amplop yang kau berikan, maka semakin baik pula berita itu akan dipublikasikan. Meski berita itu tidak sesuai kenyataan. Aku berulangkali mencoba menjelaskan bahwa tidak semua wartawan seperti yang Emak perkirakan.
Lain Emak, lain pula Bapak, Bapak bersikeras melarangku menjadi penulis. Beliau bilang, penulis itu banyak bohongnya, mereka pembual, namanya saja tukang ngarang, mereka hanya bisa menghayal dan menghayal. Lagi pula, masa depan penulis itu tidak jelas, berapa bayaran jadi penulis, Nak. Begitulah tepatnya ceramah beliau setiap hari. Dadaku sesak kalau mendengar itu. Tapi, di sinilah Aku sekarang, karena terlalu mencintaiku, Bapak dan Emak memberiku restu merantau ke Yogyakarta untuk mengejar impianku menjadi penulis. Dan, di sinilah Aku, merantau. Tanpa sadar aku berteriak,”Jalaluddin Rumi …. Aku datang ….!”
“Hajar … berarti dari tadi Emak ngomel-ngomel tidak kau dengarkan Nak. Dasar anak bandel.”
“Ayolah Mak, bandel-bandel begini Aku ini kan anak kesayangan Emak.”
“Ya, pastilah Bapak dan Emakmu ini mencintaimu Nak” Suara Emak serak, sepertinya beliau akan menangis. “Emak, jangan buat Hajar galau dengan tangisan Emak.” Aku berkelakar. “Tidak, Nak. Emak dan Bapak di Gresik, memberimu restu menemui Jalaluddin Muhammad.” Sahut Emak menahan tangis. “Aduh Emak, kok Jalaluddin Muhammad, itu kan nama Raja Kerajaan Mughal dalam drama laga India berjudul Jodha Akbar. Emak kebanyakan nonton sinetron sih. Namanya Jalaluddin Rumi, Mak.” Aku bersikeras menjelaskan. “Iya … iya bilang Pak Rumi, Anak Emak ini harus jadi penulis hebat. Kalau bisa mengalahkan Kahlil Gibran” Aku tersenyum, ini baru betul Mak, Kahlil Gibran.
***
“Kamu ingin Saya menuliskan kata pengantar untuk bukumu ini? Kamu berani bayar saya berapa.?” Hatiku tersentak mendengar pertanyaan Jalaluddin Rumi. Aku memberanikan diri bertanya meski Aku yakin uang di dompetku hanya 500 ribu rupiah. Berapa rupiahkah yang akan diminta seorang Jalaluddin Rumi.
“10 juta untuk pemula sepertimu.” Aku diam, untuk saat ini, Aku tak punya uang sebanyak itu. Putuslah harapanku. Bumi seakan runtuh. Aku teringat Emak, apakah ini balasan bagi pembangkang sepertiku. Emak dan Bapak tidak mengizinkanku terlibat dalam dunia jurnalistik. Inilah akibatnya. Jalaluddin menolakku tanpa membaca naskah yang kutulis setelah aku mengatakan Aku tidak bisa memberi 10 juta.
Pikiranku melayang, Aku tak menghiraukan keluar masuknya penumpang TransYogya yang sedang kutumpangi. Tiba-tiba, kendaran umum elegan bagiku itu berhenti, Sopirnya menoleh padaku. Dia mengatakan sesuatu. “Ibnu Hajar, apa yang kau risaukan. Ini bukan akhir dunia.” Aku bertanya dalam hati,”Siapa dia, kenapa dia tahu namaku?” “Aku Ernest Hemingway.” Aku terperanjat dan gemetar tak hanya karena dia tahu isi pikiranku tapi karena mendengar nama itu disebut. Inikah wajah Ernest Hamingway. Bukankah itu nama pengarang buku A Moveable Feast yang legendaris itu. Dia adalah penulis asal Amerika Serikat yang tinggal di kawasan pinggiran kota Chicago, tepatnya di Oak Park. Dia juga yang menginspirasiku menjadi wartawan. Dia reporter kelas atas untuk koran-koran di Kanada dan Amerika. Karirnya memang dimulai dari profesinya menjadi reporter yunior koran Star di Kansas City. Tapi, dia berhasil meraih Noble Prize bidang kesusastraan. Tulisan-tulisannya sekelas Kahlil Gibran. Bedanya Kahlil Gibran identik dengan romantismenya dan Ernest dengan kegilaannya pada hal-hal yang memacu adrenalin. Ini hebat, Aku bertemu dengannya di Yogya. “Aku … aku …” Aku terbata-bata, ingin mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan di hatiku yang tak kunjung keluar dari bibir.
“Hajar, jika kau tidak bisa bertanya atau mengatakan sesuatu padaku, Aku saja yang akan mengatakan sesuatu padamu.” Aku kembali tercekat, Ernest tak hanya bisa bahasa Indonesia tapi, dia juga bisa membaca pikiranku.
“Lebih baik menyalakan lilin, daripada mengumpat di tengah kegelapan. Tak usah sesali keadaan ini, jalanmu mungkin salah tapi sudah benar. Jadilah legenda…!” Keningku berkerut, memikirkan kata-kata Ernest. Tiba-tiba kenek Trans Yogya menepuk pundakku.
“Mas…! Tujuanmu sampai. Kampus UINSUKA.” “Oh iya, Mas, ini saya masih bicara sama Ernest.” Aku menunjuk sopir Trans. Penjaga pintu Trans itu tertawa. “Mas … Mas  … sampeyan ini ada-ada saja. Sopirnya namanya Paimin. Ernest kan nama orang Amerika. Makanya Mas, jangan melamun di tengah hari begini. Ada masalahkah?” “Oh, Enggak Mas, terimakasih sudah mengingatkan saya.” Penjaga pintu itu tersenyum.
Aku baru ingat kalau Ernest telah meninggal tahun 1961, bahkan jauh sebelum Aku lahir. Tapi apakah maksud dari semua ini. Aku berjalan gontai menuju asramaku di dekat Kampus UINSUKA. Aku terus mengingat pesan Ernest maya itu, Lebih baik menyalakan lilin, daripada mengumpat di tengah kegelapan. Tak usah sesali keadaan ini, jalanmu mungkin salah tapi sudah benar. Jadilah legenda…! Besok Aku akan menemui Profesor Ali untuk menanyakan hal ini. Siapa tahu dekan Fakultas sastraku itu bisa membantu menyembuhkan kegalauannku. Aku sangat galau, satu sisi aku teringat pesan Ernest, dan di sisi lain Aku teringat Emak dan Bapak. Apa yang akan kukatakan tentang penolakan Jalaluddin Rumi.
***
Di kantor dekan Fakultas Sastra, Pasca Sarjana UINSUKA.
“Assalamualaikum, Prof.” “Siapa?” “Hajar, Prof.” “Masuk, Hajar.” Maaf, mengganggu.” “Ah, tidak apa-apa, saya sedang tidak ada jam. Bagaimana, apakah kau betah tinggal di Yogya, apakah teman-temanmu masih mengejekmu dengan olokan hajar aswad.” Selain lemah lembut dan dekat dengan mahasiswanya, Profesor Ali juga punya selera humor tinggi. Beliau juga selalu terbuka pada mahasiswanya. Oleh karena itu, banyak mahasiswa yang sering sharing atau sekedar curhat pada beliau. “Ya Enggaklah Prof … saya kan ndak hitam seperti hajar aswad, hingga membuat saya tidak betah gara-gara julukan itu.” “Tapi, saya tertarik sekali pada namamu, sejak membaca formulir pendaftaran. Saya pengagum Ibnu Hajar, murid Imam Syafi’i itu adalah tauladan kegigihan seorang murid dalam belajar. Beliau terus bersemangat belajar meskipun kemampuan mengingat dan menerima pelajaran beliau waktu itu sangat terbatas. Dalam setahun beliau hanya bisa memahami satu huruf hijaiyah saja. Beliau sempat putus asa tapi, bersemangat lagi setelah mendapat petunjuk dari Allah melalui batu yang akhirnya berlubang jika terus menerus ditetesi air. Beliau belajar dari batu dan air tentang keajaiban ilmu. Air yang jernih dan lembut saja mampu melubangi batu yang keras jika terus menerus menetesinya. Ilmu juga akan bersatu dengan jiwa yang terus menerus ingin memilikinya. Selemah atau sebodoh apapun orang itu. Aku harap kau sama gigihnya dengan Ibnu Hajar. Seperti namamu, Ibnu Hajar.”
“Sayangnya saya hanya meniru kelemahannya, Prof. Dari sekian ratus mahasiswa pasca di kampus ini, ya, saya yang paling bodoh, Prof.” Profesor Ali tertawa mendengar pernyataan pasrahku. “Tapi, yang penting kamu tetap semangat dan tidak putus asa saat naskah cerpenmu di tolak Jalaluddin Rumi. Kamu kesini mau minta solusi kan.” “Ah, Profesor ini, sama seperti Ernest Hamingway, bisa membaca pikiran orang.” “Hah, sejak kapan Ernest Hamingway merubah profesinya dari penulis menjadi cenayang?” “Lah itu Prof, yang ingin saya tanyakan pada Profesor, Ernest memberi saya pesan begini bunyinya, lebih baik menyalakan lilin, daripada mengumpat di tengah kegelapan. Tak usah sesali keadaan ini, jalanmu mungkin salah tapi sudah benar. Jadilah legenda…! Maksud pesan itu apa Prof?” “Wait …! Kapan kamu bertemu Ernest, beliau kan sudah meninggal?” “Entahlah Prof, saya bertemu beliau di Transyogya kemaren siang, dia menjadi sopir trans.” “Hajar … Hajar …. Kau ini ada-ada saja. Masak Ernest jadi sopir Trans, tadi cenayang sekarang sopir trans. Tapi… saya tertarik dengan isi pesan itu. Mmm …” Profesor terlihat mengerutkan kening, sepertinya beliau berfikir.
“Tak usah sesali keadaan ini, bisa jadi itu tentang nasibmu yang ditolak Jalaluddin Rumi. Lalu, kata-kata lebih baik menyalakan lilin, daripada mengumpat di tengah kegelapan artinya lebih baik memulainya dengan melakukan hal yang kecil daripada menyesali bahkan memaki takdir. Dengan kau berusaha menulis dan menemui Jaluddin Rumi walaupun itu karena paksaanku, itu artinya kamu sudah memulainya dengan hal-hal kecil.  Dan tentang kata, jalanmu mungkin salah tapi sudah benar, itu artinya karirmu memang akan dimulai dari dunia sastra, tapi kamu salah orang jika menemui Jalauddin Rumi. Ernest ingin kamu jadi legenda seperti dirinya. Tapi bukan legenda plagiator.” Profesor Ali menggodaku. Menyinggung plagiator, aku meringis malu. Aku punya kenangan buruk dengan kata plagiator.
“Besok saya akan mempertemukanmu dengan Achmad Tohari, Sastrawan sekaligus pengarang trilogi fenomenal, Ronggeng Dukuh Paruk. Beliau sahabat dekat saya, InsyaAllah, beliau akan membantumu.”
“Terima kasih banyak Prof.” Ujarku mencium tangan Profesor Ali.
***
            Tentang plagiator, Aku berjanji pada Profesor Ali untuk tidak mengulanginya lagi. Kisah ini berawal dari 11 tahun yang lalu, 2003. Karena besarnya rasa ingintahuku, aku sangat tertarik pada pintu bertuliskan Pesanggrahan. Saat itu, Aku masih duduk di bangku 2 SMP, dengan polosnya dan tanpa mengenal malu, Aku mengintip ke ruangan sebelah kelasku yang dipenuhi kertas-kertas, buku-buku dan komputer. Aku tak peduli kata orang, katanya mengintip membuat matamu membengkak.
Belakangan kuketahui, ruangan yang dinamakan pesanggrahan itu, ternyata sebuah kantor sekretariat majalah sekolah. Aku kagum sekali, ternyata sekolahku punya majalah yang bagus. Setiap kali majalah itu terbit, aku selalu membacanya dari halaman awal sampai akhir berulang-ulang. Dalam seminggu Aku bisa membacanya sebanyak 5 kali. Aku juga kagum pada crew yang menghandel proses penerbitan majalah tersebut. Pastilah mereka orang-orang terpilih dan hebat. Bisa meramu tulisan dan membuat pembacanya ketagihan. Aku menyesal kenapa tidak sejak kelas 1 dulu aku mengintip ruangan pesanggrahan. Setidaknya aku punya tambahan waktu setahun untuk mewujudkan mimpi ini. Ya, sejak saat itu, meski tidak punya bakat menulis, Aku bertekad, entah kapankah itu, Aku harus menjadi redaksi majalah di sekolahku, meskipun hanya sebagai officeboy di sana.
Tekadku, ku buktikan dengan selalu mengirimkan tulisan melalui kotak yang disediakan crew majalah. Aku menuliskan opini-opini ringan. Aku terus menulis meski tidak pernah dimuat. Aku sadar, mungkin redaksi menolakku karena Aku tidak memiliki bakat alami di dunia jurnalistik. Meski sekuat tenaga berusaha. Hasilnya nihil. Padahal teman sekampungku yang baru saja bersekolah di tempat yang sama denganku itu bisa menembus dapur redaksi. Tulisannya dimuat di majalah sekolah. Tapi, meski bukan tulisanku yang masuk, Aku cukup bangga. Setidaknya teman sekampungku bisa mengharumkan nama kampung kami. Tulisan teman sekampungku itu Aku gunting dan memberinya bingkai kemudian menggantungnya di dinding kamar. Dan sampai sekarang, tulisan itu masih ada.
Pada Kelas 3 SMP, lantaran redaksi majalah sekolah tidak pernah memuat tulisanku, Aku putus asa dan punya ide jahat. Aku menulis ulang alias menjadi plagiator tulisan opini milik Profesor Ali Khan, Msi, seorang dekan Fakultas Sastra di salah satu kampus di Yogyakarta. Dengan menulis ulang tulisan Profesor Ali, Aku berhasil menjadi bagian dari majalah sekolah, sebagai seorang layouter. Waktu itu, Aku bingung, kenapa Layouter, bahkan Aku sama sekali tidak tahu cara memegang mouse yang benar. Redaksi seniorku bilang, Kau akan belajar menjadi layouter. Berkat redaksi tersebut, Aku dipercaya menjadi layouter tetap bahkan sampai Aku lulus dari SMA yang kebetulan satu yayasan dengan SMPku dulu.  Karena merasa tidak tenang, hidup dihantui perasaan bersalah atas perbuatan plagiatorku. Aku bertekat untuk terus berlatih menulis dengan mendirikan koran harian pribadi dengan redaksinya Aku sendiri. Aku yang menjadi pimred merangkap reporter dan layouter. Meski banyak yang mencibir, Aku tak peduli. Semuanya demi menebus kesalahanku.
Tahun 2012, Aku tak menyangka Profesor yang hak ciptanya telah Aku curi itu, akan menjadi dekanku saat aku kuliah S2. Aku malu pada diri sendiri dan selalu merasa bersalah ketika bertatap muka langsung dengan Profesor Ali. Dan akhirnya aku memberanikan diri menceritakan semuanya dan meminta maaf pada Profesor Ali. Saat itu, Aku tidak malu meneteskan air mata di depan beliau. Dengan berpura-pura marah Profesor Ali memberiku hukuman membuat cerpen sebanyak 20 judul dalam 21 hari. Ini hukuman tergila dan terkonyol di seluruh dunia. Aku yang tidak punya bakat menulis, dipaksa menulis dalam waktu singkat. Sejak saat itu Aku sangat dekat dengan Profesor Ali.
Demi menjalani hukuman dan serius ingin meminta maaf dari Profesor Ali, Aku terus menulis tanpa henti. Aku bahkan lupa makan dan minum. Aku terus menulis dan menulis. Yang kulakukan hanya berinteraksi dengan tokoh yang Aku tulis. Aku tak peduli cerpenku melebihi batas maksimum ataukah malah kurang. Aku tak menghiraukan tanda baca yang masih salah. Aku tak menghiraukan kata baku atau tidak baku. Aku juga tak serius dengan EYD atau kaedah Bahasa Indonesia yang benar. Aku juga tidak membumbuinya dengan kata-kata sastra seperti Habiburrahman El Shirazy. Aku juga tidak membubuhi sains seperti Andrea Hirata. Berbekal motifasi dari pengalaman Gus Mus aku berusaha menyelesaikan hukumanku. Gus Mus juga dipaksa menulis cerpen. Meski kata editornya, cerpen beliau tidak memenuhi salah satu syarat-syarat cerpen tapi, terbukti cerpen itu dimuat di koran Kompas. Aku hanya harus benar-benar berada dalam cerita.
            Hal gila yang kulakukan demi menyelesaikan hukuman itu adalah membujuk penjaga Keraton Yogya agar mengizinkanku menulis cerpen di dalam keraton. Aku memohon dan berjanji tidak akan melakukan apapun kecuali menyelesaikan tugasku. Aku hanya ingin ketenangan dan ketenangan. Tak tega dengan wajah melasku, penjaga keraton mengizinkannya dan itu terjadi selama 10 hari. Dan 10 hari sisanya Aku habiskan di dalam masjid dan di depan museum Vredeburg.
***
“Mas Hajar…! Anda dipanggil Gus Mus ke ruangan rapat DKJ[1]. Penjurian karya-karya peserta sayembara menulis novel 2016 akan segera dimulai.” Seorang wanita berjilbab masuk ke ruanganku dan memberitahuku.
“O … ya Mbak …! Apa Kang Abik, Mas Andrea dan Ayah sudah datang? maksud saya Pak Thohari?” “Sudah Mas …! Oya, tadi ada telepon dari Mas Hanung Bramantyo, beliau mencari Mas, beliau ingin membicarakan novel mas yang akan difilmkan.” “Oya, Mbak … terimakasih, saya ke ruangan rapat dulu, nanti beliau saya hubungi.”
***
“Tulisan macam apa ini, sama sekali tidak bagus, kayak anak SD. Kata-katanya berantakan.” Achmad Thohari melempar manuskrip kumpulan cerpen ke arahku.
“Mas Hajar … kamu ini sebenarnya ngerti Bahasa Indonesia apa tidak?” Aku hanya diam, mendengar ucapan beliau. “Aku bergumam dalam hati, “Aku memang tidak bisa menulis Pak, cerpen-cerpen itu aku buat atas paksaan Profesor Ali, menerbitkannya itu juga anjuran Profesor Ali.” “Emmm … kalau begitu, saya pulang saja Pak …” “Eh … sini Mas, naskah-naskahnya jangan di bawa pulang, Saya baca dulu.”
Keesokan harinya Pak Achmad Thohari mendatangi kampusku dan mencariku. “Kamu ini aneh Mas, koq bisa menulis 20 buah cerpen dalam waktu 21 hari. Dan hasilnya luar biasa sekali.” “Maksud Bapak?” Aku heran, kenapa setelah memakiku tadi malam, beliau malah berbalik memujiku. “Iya, saya tidak bohong, tulisan kamu ini sekelas Pramoedya Ananta Toer, sekelas Ernest Hamingway.” “Ah, Bapak bercanda.” “Panggil saya Ayah saja. Tulisan kamu memang ada beberapa kesalahan pada penulisan tanda baca dan tata bahasa tapi, tokoh-tokoh yang kamu ceritakan benar-benar hidup. Di sinilah daya tariknya.”
“Iya Mas, apalagi, cerpen yang terakhir, kalau dibaca tengah malam pasti merinding karena seakan-akan tokohnya itu hidup dan berada di sekeliling kita.” Sahut istri Ayah Thohari. Aku tersipu bercampur heran.
“Mas Hajar … kok senyum-senyum sendiri.” Sapa satpam gedung DKJ. Lamunanku mengenang masalalau tiba-tiba buyar oleh suara laki-laki paruh baya. “Ah … tidak Mang, lagi kangen Emak, pengen pulang ke Gresik. “Oalah … sini Mas, kunci mobilnya, saya keluarkan mobilnya dari parkiran.” “Makasih ya Mang.” Satpam bernama Mang Somad itu tersenyum.

***
“Peraih Pena Award Novel Terpuji Nasional sekaligus Peraih Penghargaan The Most Favorite Book 2017 adalah … Ibnu Hajar.” Aku terkejut, namaku dipanggil host Pena Award 2017. Profesor Ali Khan yang sedari tadi berada di sebelahku, tersenyum. Mata beliau berkaca-kaca. Aku maju ke podium menerima dua piala, dan memberikan sambutan,
Terima kasih pada Allah SWT yang memberi saya kebahagiaan ini, kedua orangtua yang mempercayai dan mendukung saya, serta Profesor Ali dan Ayah Thohari yang selalu membimbing saya hingga mendapatkan penghargaan ini.
Kata orang, menjadi hebat itu harus punya bakat. Tapi, kenyataannya adalah menjadi orang hebat hanya butuh semangat. Dan sekarang, jangan dengar kata orang, jika itu hal negatif. Bukankah katak yang tuli, akhirnya bisa mencapai puncak menara meski katak-katak di sekelilingnya menertawainya dan memastikan bahwa ia tidak akan sampai puncak. Ejekan dan sumpah serapah katak lain yang meremehkan katak tuli tidak berhasil menghancurkan semangatnya mendaki puncak menara. Meski tahu dirinya tidak punya bakat memanjat, di dalam hatinya ada semangat kuat mencapai puncak. Katak tuli itu, bertekat menakhlukkan menara demi melihat keindahan di puncaknya. Jika ingin menjadi hebat, untuk sementara waktu berpura-puralah menjadi tuli pada hal negatif.
Orang hebat berani menembus batas, tembuslah batas tapi tidak kelewat ‘batas’. Siapapun dirimu, apapun latar belakangmu, bagaimanapun statusmu, kamu berhak menjadi luar biasa bahkan tanpa bakat sekalipun…! Lalu sekarang apa? Ya, katakan, Aku bisa mati jika tidak menulis.” Mataku basah menatap Profesor Ali lekat-lekat.


Kisah ini seperti Ernest Hamingway dalam cerita. Terjebak di antara fiksi dan non fiksi.
Jika kau mengerti maksudku tersenyumlah dan jika tidak tetaplah tersenyum karena orang hebat selalu tersenyum.
Selesai Sabtu, 6 Desember 2014 09:02






[1] Dewan Kesenian Jakarta

Tidak ada komentar: