Agustus 2006
Pada pagi yang dingin, sebuah mobil hitam
menembus keriuhan Pekanbaru, Riau. Drs Zainal Arifin Apt MP, Gubernur Provinsi
Riau, duduk di sisi kiri sopir. Seorang wartawan majalah agri bisnis terkemuka,
Trubus duduk bersebelahan dengan Muhammad Saifullah Wahab, konsultan pertanian
PT Jaya Bakti, produsen jati. Zainal kala itu, mendapat tugas penting dari
presiden untuk menyampaikan surat secara langsung kepada seorang anak di Kampar
dan Saifullah ada keperluaan bisnis di desa yang sama.
Di sepanjang perjalanan, terlihat kebun karet
dan kelapa sawit menghampar di kiri dan kanan jalan. Beberapa truk tua
mengangkut tandan buah buah kelapa sawit berjalan menapaki jalan. Ada pula
truk-truk yang mengangkut berton-ton selada air.
Setelah jauh berjalan melalui danau buatan
seluas 2 kali lapangan sepakbola, akhirnya tibalah mereka di sebuah kebun nephenthes
ampullaria[1]
seluas 50 ha, yang sedang dibuka untuk agrowisata. Tanaman itu merambat di padang
ilalang. Daun dan pucuk teko itu berbulu coklat muda. Terdapat bercak-bercak
tak beraturan berwarna merah atau ungu di permukaan luar kantong. 10 m di
sampingnya tumbuh nephenthes gracilis. Dan setelah itu hampir di setiap
5 meter ditumbuhi nepenthes maxima setinggi 1.800 m dpl. Persis seperti
nephenthes dari Habema, Jayawijaya, Papua. Famili nephenthes itu terlihat
sangat indah.
Brrr… suara kepakan sayap merpati dan
warna-warna cantik sayap kupu-kupu membuat suasana pagi itu terasa hidup.
Keluar dari kebun nephenthes mereka memasuki sebuah pekarangan rumah bergaya
pedesaan Italia. Burung-burung merpati terlihat riang menikmati keindahan taman
kering ala Mediterania yang tertata apik di teras muka rumah. Beragam agave,
enchephalartos, haworthia, yucca dan euphorbia terlihat sehat. Kabut putih
menambah keelokan kawasan itu.
Sedang kupu-kupu, berhamburan lalu
kembali hinggap di kebun bunga di belakang rumah. Ada bonsai anggrek dan
kamboja. Ada raibow rose. Ada melati dan sedap malam. Ada pula tumbuhan
kalamunting atau anggur hutan yang sengaja ditanam sebagai pagar rumah.
Terlihat di kebun-kebun milik rumah-rumah yang lain tertanam selada air yang
segar dan siap panen.
Keindahan-keindahan ini bukan ada
begitu saja tanpa perjuangan. Ada sebuah kisah dramatis dan menyentuh di
baliknya. Kisah tentang seorang anak dengan keterbatasan yang dimilikinya dan
sebuah permintaan sederhana pada presiden, 5 tahun yang lalu.
.....
“Indra …! Kenapa kamu berteriak marah
seperti itu, Nak! Apa yang kamu inginkan? Katakan pada nenek …! Tak biasanya
kamu marah-marah seperti ini” Anak
laki-laki kulit hitam berusia sekitar 7 tahun yang dipeluknya itu tak berhenti
meronta marah, meneriakkan kata-kata tak terdengar jelas. Anak laki-laki itu
melepaskan pelukan neneknya dan meraih tangan tua sang nenek. Dia menuliskan
sebuah kalimat di telapak tangan nenek. “Aku benci Pak Presiden …!” Dia
membubuhkan tiga tanda titik dan satu tanda seru yang berarti sesuatu yang
dipertegas.
Dia terlihat sangat marah. Seandainya
dia bisa bicara mungkin teriakan tentang kebenciannya pada presiden akan
terdengar tetangga. “Loh …! Apa salah Bapak Presiden?” Neneknya bertanya. “Mall.
Bapak Presiden akan buat mall di sini, di desa kita.” Kali ini dia
menggunakan bahasa tubuh yang hanya dimengerti neneknya. “Pak Presiden hanya
ingin membantu perekonomian masyarakat kita. Hasil penjualan barang-barang di mall
itu untuk kita.” “Tapi, bagaimana dengan teman-temanku.” Tanyanya dengan bahasa
tubuh. Masih terlihat marah.
“Teman-teman? Siapa?” Neneknya heran
karena mendengar kenyataan cucunya yang bisu sejak lahir itu memiliki teman.
Sejak kapan? Bukankah, selama ini orang kampung selalu menghina dan menjauhinya
lantaran dia dilahirkan dengan langit-langit mulut yang berlubang. Hal itu yang
membuat Indra susah bicara.
Orang kampung di desa Kampar membenci
keluarga itu karena perbuatan ayah dan ibu Indra. Pasangan suami istri yang
meninggal karena kecelakaan itu sering membuat onar semasa hidupnya. Ayah Indra
sering mabuk dan menggoda gadis desa. Sedang ibunya suka menyebar fitnah dan
mengadu domba tetangga. Itulah kenapa Indra dianggap sebagai anak yang lahir
karena karma. Menyandang cacat sejak lahir.
Tapi berbeda dengan orangtuanya,
sifat Indra lebih meniru neneknya. Dia selalu baik pada orang lain bahkan meski
setelah dihina dina. Dia juga menyayangi binatang. Dia selalu menjadikan
nasehat neneknya sebagai pedoman. Ketika beberapa anak mengejeknya dengan anak
kutukan, dia selalu ingat pesan neneknya. “Nak …! Setiap anak tidak bisa
memilih siapa yang akan menjadi orangtuanya. Tetapi, setiap anak bisa memilih
menjadi orangtua yang seperti apa kelak di masa depan. Jadilah orang yang
berprinsip, kejahatan seseorang harus dibalas dengan kebaikan.” Inilah yang
membuat Indra selalu berusaha tegar dan ingin membuktikan pada dunia bahwa
kelahirannya itu adalah anugrah terindah dari Tuhan. Pikirannya sangat cerdas
untuk ukuran anak usia 7 tahun dengan bisa memahami pesan neneknya.
“Kupu-kupu.” Indra menjelaskan dengan
menangis pada neneknya pada satu-satunya temannya selama ini adalah kupu-kupu.
Nenek itu memeluk kemudian menghapus airmata Indra, mencoba menenangkannya. Dia
mulai memahami keresahan yang menyelimuti cucunya itu. Selama ini Indra memang
sangat menyukai kupu-kupu. Baginya, kupu-kupu adalah teman curhat dan
saudaranya.
Desa Kampar adalah desa yang memiliki
hutan dengan berjenis tumbuhan unik yang belum diketahui banyak orang.
Bunga-bunga yang indah juga tumbuh di tanahnya. Tak heran jika banyak berbagai
spesies kupu-kupu menjadikannya sebagai habibat. Pada tahun 2001, pemerintah
akan membangun pusat perbelanjaan untuk menunjang perekonomian masyarakat di
Kampar. Pemerintah berencana menata desa itu dan mengubahnya menjadi perkotaan.
Namun, sepertinya pemerintah belum sepenuhnya memahami potensi alam di daerah
itu. Pemerintah juga tidak tahu bagaimana perasaan seorang Indra setelah mall
itu di bangun. Mall dan pemukiman elit akan dibangun dan bisa saja
merusak keindahan alami di sana. Jika keindahan alami itu rusak, kupu-kupu,
satu-satunya teman Indra akan mengungsi ke tempat lain yang lebih indah. Lalu,
siapa lagi yang akan menjadi teman Indra sepanjang pagi dan sore.
.....
Suara deru gergaji mesin memecah
kesunyian desa Kampar. Suara pohon-pohon tumbang terdengar keras. Burung-burung
beterbangan mencari tempat berlindung. Hari ini Indra tidak melakukan aktifitas
seperti biasanya. Kalau biasanya setiap bangun pagi, Indra akan pergi ke kebun
bunga yang Ia tanam sendiri di belakang pekarangan rumahnya untuk bermain
dengan kupu-kupu, tapi tidak untuk hari ini. Dia justru mengumpulkan batu-batu
di bukit dan memasukkannya ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat. Kali ini dia
sangat marah. Dia akan mendatangi kediaman Gubernur Riau. Usaha sang nenek
untuk mencegahnya sama sekali tidak digubris. Dia berangkat naik angkutan umum.
Sang nenek mengejarnya terseok-seok.
.....
Terjadi keributan yang dahsyat di
kediaman Drs. H. Imam Syafi’I, Sang Gubernur itu kebingungan. Beberapa polisi
dipanggilnya datang ke kediamannya untuk membantunya mengatasi masalah. Polisi
pun tidak bisa mengatasi hal ini dengan mudah. Yang mereka hadapi saat ini
bukan tentara penjajah tapi seorang anak laki-laki 7 tahun berkulit hitam dan
bisu sedang mengamuk memecahkan kaca jendela dengan batu-batu. Polisi
kebingungan karena mereka tidak bisa sembarangan mengeluarkan peluru atau gas
airmata sekalipun pada si anak. Dia hanyalah anak-anak yang sedang marah.
Beberapa petugas rumah sakit jiwa setempat juga sudah dihubungi tapi sebenarnya
anak itu tidak gila. Polisi wanita yang mencoba menenangkan tak digubrisnya
sama sekali. Dipukulnya polisi wanita itu dengan tangan mungilnya. Tiba-tiba.
‘Plak’ Sebuah tamparan mendarat di pipi si anak. Tangan seorang wanita tua.
“Indra …! Apakah tindakan seperti ini
yang pernah nenek ajarkan padamu? Kita bisa bicarakan ini baik-baik dengan
mereka. Kumohon Nak, berhentilah marah.” Indra mulai berangsur tenang dan
menangis. Polisi wanita itu mendekati Indra dan neneknya. Mereka terlihat
membicarakan sesuatu. Nenek menceritakan tentang keindahan dan kekayaan alam
desa Kampar yang belum diketahui pemerintah. Nenek juga menjelaskan apa yang
akan terjadi jika keindahan itu rusak. Sang nenek menjelaskan hal panjang lebar
tentang Indra dan keinginanya. Sang nenek juga menceritakan alasan di balik
kemarahan Indra. Sang nenek juga menceritakan tentang malangnya nasib Indra
sejak kecil. Sang Gubernur yang juga mendengar cerita nenek Indra tak sengaja
meneteskan airmata. Petugas Rumah Sakit Jiwa yang baru datang hanya bisa
melongo mendengar kisah kehidupan Indra.
“Nak …! Bapak akan membicarakan ini
dengan Bapak Presiden. Bapak janji tidak akan memisahkanmu dari teman-teman
kecilmu itu. Sekarang juga Bapak akan menelpon ke pimpinan proyek di Kampar
agar menghentikan proses penggarapan pusat perbelanjaan itu untuk sementara
waktu. Bapak janji.” Sang Gubernur memeluk Indra. Indra tiba-tiba melepaskan
pelukan bapak Gubernur. Dia menuliskan sesuatu di tangan pak Gubernur. “MAAF!”
Sang Gubernur mengangguk menghapuskan airmata kemudian memeluk Indra lagi.
.....
Hari ini adalah ketiga kalinya
Gubernur Zainal mendatangi rumah Indra. Sekarang usianya sudah 12 tahun. Tapi,
dia sudah bergelar Insinyur dan mendapat penghargaan sebagai sarjana pertanian
termuda dari pemerintah. Ya, 5 tahun yang lalu, Indra 7 tahun telah membuat
kekacauan di kediaman Gubernur Zainal. Di tahun berikutnya bapak Presiden
membatalkan proyek pembangunan pusat perbelanjaan di Kampar dan menggantinya
dengan proyek hutan lindung karena mendengar penjelasan Gubernur Zainal. Berkat
jasa Indra, pemerintah memberinya beasiswa padanya untuk sekolah. Yang lebih
mengejutkan lagi dia tidak ingin bersekolah SD tapi memilih bangku kuliah
pertanian di sebuah kampus Teknik di kota Bandung. Dan yang membuat semua orang
tercengang adalah prestasinya. Meski usianya yang sangat muda, dia bisa
mengalahkan teman-teman kampusnya yang berusia 10 tahun lebih tua darinya.
Inilah yang disebut keajaiban itu. Tidak ada yang tahu rahasia Allah.
Kini Indra yang dicemooh banyak orang
menjadi Indra yang disanjung-sanjung. Tetangga dan anak-anak yang dulu
menghinanya sungguh harus merasa malu padanya. Karena meskipun dulu Indra
selalu dihinakan, Indra tidak pernah dendam pada orang-orang itu. Justru Indra
mengajarkan banyak hal pada tetangganya tentang mengolah tanah pertanian.
Perekonomian masyarakat desa Kampar
berkembang pesat. Indra mengajarkan bagaimana cara menanam selada air yang bisa
meraup keuntungan besar. Atas permintaan Indra, pemerintah membantu pembuatan
danau buatan untuk mengairi tanaman selada air di desa Kampar. Indra juga
mengajarkan cara menanam bunga mawar dengan warna kelopak berwarna-warni
seperti pelangi. Selain itu, dia mengajarkan bagaimana menanam jati dan kelapa
sawit yang dalam waktu singkat bisa diambil hasilnya. Dia menerapkan sistem
kultur jaringan daripada konvensional. Entahlah darimana datangnya pengetahuan
luar biasa yang dimiliki Indra. Kini julukan Indra si anak kutukan itu
berangsur lenyap dan berubah menjadi Indra anak ajaib. Inilah skenario ilahi.
Berita tentang Indra tersebar ke
seluruh pelosok pulau Sumatra. Bahkan Jakarta dan bapak Presidenpun
mendengarnya. Presiden RI kerap kali saling bertukar surat dengan Indra. Beliau
sebenarnya ingin bertemu Indra secara langsung, tapi karena banyak urusan
negara yang harus diselesaikan, beliau mewakilkan kehadirannya pada Gubernur
Zainal.
Kedatangan Saifullah, sang produsen
jati dan wartawan trubus adalah bentuk penasaran khalayak umum pada hal
menakjubkan yang dilakukan Indra. Setiap kali ditemui oleh orang-orang hebat
yang kebanyakan tidak dikenalnya, Indra selalu tersenyum dan menjawab
pertanyaan-pertanyaan mereka dengan sang nenek sebagai juru bicara. Dia juga
memberikan buah anggur hutan yang ditanamnya untuk dicicipkan pada
tamu-tamunya. Hampir setiap hari, Indra kedatangan tamu, mulai dari rakyat
biasa yang ingin belajar bertani padanya sampai pejabat yang penasaran dengan
kiprahnya. Dia senang, sekarang dia punya banyak teman selain kupu-kupu. Tapi,
dalam hatinya dia sudah bertekat untuk tidak meninggalkan teman lamanya itu.
Setiap pagi seperti biasa, dia suka sekali bermain dengan kupu-kupu.
Pagi itu, terdengar riuh tawa di
kediaman Indra yang sederhana namun elegan, dipenuhi kupu-kupu dan merpati.
Sesekali terdengar Indra menjelaskan bagaimana cara menanam tanaman kering di
daerah berkabut dan dingin pekarangan rumahnya. Terlihat dari kejauhan Gubernur
Zainal dan Pak Saifullah manggut-manggut di hadapan Indra. Seorang wartawan
tengah mengabadikan momen itu dengan kamera digitalnya. Sang nenek
mempersilahkan tamu-tamunya menikmati kudapan sederhana yang disuguhkan.
“O … iya ini, hampir saja lupa. Surat
dari presiden untuk Indra. Presiden belum bisa berkunjung, ada urusan politik
ke Jerman.” Gubernur Zainal memberikan sebuah amplop pada Indra. Indra terlihat
mengangguk, paham. Dia mengisyaratkan kata terimakasih. Amplop surat berwarna
biru di tangan Indra dihinggapi kupu-kupu bersayap biru. Indra menyentuh
kupu-kupu itu lembut. Sepertinya kupu-kupu itu akrab sekali dengannya. Dia
terlihat tenang disentuh Indra. Indra mengatakan apa kabar pada kupu-kupu itu.
Tentunya dengan bahasa tubuhnya. Awan pagi itu tersenyum. Manis sekali, seperti
manisnya senyum Indra.
Gresik, 10
Desember 2014 09:25
Tidak ada komentar:
Posting Komentar