Selasa, 20 Januari 2015

“PAK PRESIDEN, AKU HANYA MINTA KUPU-KUPU!”

Agustus 2006
Pada pagi yang dingin, sebuah mobil hitam menembus keriuhan Pekanbaru, Riau. Drs Zainal Arifin Apt MP, Gubernur Provinsi Riau, duduk di sisi kiri sopir. Seorang wartawan majalah agri bisnis terkemuka, Trubus duduk bersebelahan dengan Muhammad Saifullah Wahab, konsultan pertanian PT Jaya Bakti, produsen jati. Zainal kala itu, mendapat tugas penting dari presiden untuk menyampaikan surat secara langsung kepada seorang anak di Kampar dan Saifullah ada keperluaan bisnis di desa yang sama.
Di sepanjang perjalanan, terlihat kebun karet dan kelapa sawit menghampar di kiri dan kanan jalan. Beberapa truk tua mengangkut tandan buah buah kelapa sawit berjalan menapaki jalan. Ada pula truk-truk yang mengangkut berton-ton selada air.
     Setelah melewati jembatan sungai Kampar, mereka memasuki kawasan hutan lindung seluas 250 ha. Di situlah pemukiman Suku Melayu Datuk Mudo berada. Hutan lindung itu termasuk wilayah Kelurahan Pasirsialang, Kecamatan Bangkinang, Seberang, Kampar. Mereka telah menempuh jarak 60 km. Mobil hitam mereka paksakan merangsek situasi yang tak ramah demi sebuah misi penting dari presiden. Mereka tak peduli pada keadaan tanah merah yang becek sepanjang 1 km itu. Namun, akhirnya mereka memutuskan memarkir mobil di punggung bukit sebab kali ini jalanan setapak tidak bisa dilalui mobil. Mereka akhirnya memutuskan untuk jalan kaki.
Setelah jauh berjalan melalui danau buatan seluas 2 kali lapangan sepakbola, akhirnya tibalah mereka di sebuah kebun nephenthes ampullaria[1] seluas 50 ha, yang sedang dibuka untuk agrowisata. Tanaman itu merambat di padang ilalang. Daun dan pucuk teko itu berbulu coklat muda. Terdapat bercak-bercak tak beraturan berwarna merah atau ungu di permukaan luar kantong. 10 m di sampingnya tumbuh nephenthes gracilis. Dan setelah itu hampir di setiap 5 meter ditumbuhi nepenthes maxima setinggi 1.800 m dpl. Persis seperti nephenthes dari Habema, Jayawijaya, Papua. Famili nephenthes itu terlihat sangat indah.
Brrr… suara kepakan sayap merpati dan warna-warna cantik sayap kupu-kupu membuat suasana pagi itu terasa hidup. Keluar dari kebun nephenthes mereka memasuki sebuah pekarangan rumah bergaya pedesaan Italia. Burung-burung merpati terlihat riang menikmati keindahan taman kering ala Mediterania yang tertata apik di teras muka rumah. Beragam agave, enchephalartos, haworthia, yucca dan euphorbia terlihat sehat. Kabut putih menambah keelokan kawasan itu.
Sedang kupu-kupu, berhamburan lalu kembali hinggap di kebun bunga di belakang rumah. Ada bonsai anggrek dan kamboja. Ada raibow rose. Ada melati dan sedap malam. Ada pula tumbuhan kalamunting atau anggur hutan yang sengaja ditanam sebagai pagar rumah. Terlihat di kebun-kebun milik rumah-rumah yang lain tertanam selada air yang segar dan siap panen.
Keindahan-keindahan ini bukan ada begitu saja tanpa perjuangan. Ada sebuah kisah dramatis dan menyentuh di baliknya. Kisah tentang seorang anak dengan keterbatasan yang dimilikinya dan sebuah permintaan sederhana pada presiden, 5 tahun yang lalu.
.....
“Indra …! Kenapa kamu berteriak marah seperti itu, Nak! Apa yang kamu inginkan? Katakan pada nenek …! Tak biasanya kamu marah-marah seperti ini”  Anak laki-laki kulit hitam berusia sekitar 7 tahun yang dipeluknya itu tak berhenti meronta marah, meneriakkan kata-kata tak terdengar jelas. Anak laki-laki itu melepaskan pelukan neneknya dan meraih tangan tua sang nenek. Dia menuliskan sebuah kalimat di telapak tangan nenek. “Aku benci Pak Presiden …!” Dia membubuhkan tiga tanda titik dan satu tanda seru yang berarti sesuatu yang dipertegas.
Dia terlihat sangat marah. Seandainya dia bisa bicara mungkin teriakan tentang kebenciannya pada presiden akan terdengar tetangga. “Loh …! Apa salah Bapak Presiden?” Neneknya bertanya. “Mall. Bapak Presiden akan buat mall di sini, di desa kita.” Kali ini dia menggunakan bahasa tubuh yang hanya dimengerti neneknya. “Pak Presiden hanya ingin membantu perekonomian masyarakat kita. Hasil penjualan barang-barang di mall itu untuk kita.” “Tapi, bagaimana dengan teman-temanku.” Tanyanya dengan bahasa tubuh. Masih terlihat marah.
“Teman-teman? Siapa?” Neneknya heran karena mendengar kenyataan cucunya yang bisu sejak lahir itu memiliki teman. Sejak kapan? Bukankah, selama ini orang kampung selalu menghina dan menjauhinya lantaran dia dilahirkan dengan langit-langit mulut yang berlubang. Hal itu yang membuat Indra susah bicara.
Orang kampung di desa Kampar membenci keluarga itu karena perbuatan ayah dan ibu Indra. Pasangan suami istri yang meninggal karena kecelakaan itu sering membuat onar semasa hidupnya. Ayah Indra sering mabuk dan menggoda gadis desa. Sedang ibunya suka menyebar fitnah dan mengadu domba tetangga. Itulah kenapa Indra dianggap sebagai anak yang lahir karena karma. Menyandang cacat sejak lahir.
Tapi berbeda dengan orangtuanya, sifat Indra lebih meniru neneknya. Dia selalu baik pada orang lain bahkan meski setelah dihina dina. Dia juga menyayangi binatang. Dia selalu menjadikan nasehat neneknya sebagai pedoman. Ketika beberapa anak mengejeknya dengan anak kutukan, dia selalu ingat pesan neneknya. “Nak …! Setiap anak tidak bisa memilih siapa yang akan menjadi orangtuanya. Tetapi, setiap anak bisa memilih menjadi orangtua yang seperti apa kelak di masa depan. Jadilah orang yang berprinsip, kejahatan seseorang harus dibalas dengan kebaikan.” Inilah yang membuat Indra selalu berusaha tegar dan ingin membuktikan pada dunia bahwa kelahirannya itu adalah anugrah terindah dari Tuhan. Pikirannya sangat cerdas untuk ukuran anak usia 7 tahun dengan bisa memahami pesan neneknya.
“Kupu-kupu.” Indra menjelaskan dengan menangis pada neneknya pada satu-satunya temannya selama ini adalah kupu-kupu. Nenek itu memeluk kemudian menghapus airmata Indra, mencoba menenangkannya. Dia mulai memahami keresahan yang menyelimuti cucunya itu. Selama ini Indra memang sangat menyukai kupu-kupu. Baginya, kupu-kupu adalah teman curhat dan saudaranya.
Desa Kampar adalah desa yang memiliki hutan dengan berjenis tumbuhan unik yang belum diketahui banyak orang. Bunga-bunga yang indah juga tumbuh di tanahnya. Tak heran jika banyak berbagai spesies kupu-kupu menjadikannya sebagai habibat. Pada tahun 2001, pemerintah akan membangun pusat perbelanjaan untuk menunjang perekonomian masyarakat di Kampar. Pemerintah berencana menata desa itu dan mengubahnya menjadi perkotaan. Namun, sepertinya pemerintah belum sepenuhnya memahami potensi alam di daerah itu. Pemerintah juga tidak tahu bagaimana perasaan seorang Indra setelah mall itu di bangun. Mall dan pemukiman elit akan dibangun dan bisa saja merusak keindahan alami di sana. Jika keindahan alami itu rusak, kupu-kupu, satu-satunya teman Indra akan mengungsi ke tempat lain yang lebih indah. Lalu, siapa lagi yang akan menjadi teman Indra sepanjang pagi dan sore.
.....
Suara deru gergaji mesin memecah kesunyian desa Kampar. Suara pohon-pohon tumbang terdengar keras. Burung-burung beterbangan mencari tempat berlindung. Hari ini Indra tidak melakukan aktifitas seperti biasanya. Kalau biasanya setiap bangun pagi, Indra akan pergi ke kebun bunga yang Ia tanam sendiri di belakang pekarangan rumahnya untuk bermain dengan kupu-kupu, tapi tidak untuk hari ini. Dia justru mengumpulkan batu-batu di bukit dan memasukkannya ke dalam tas. Tekadnya sudah bulat. Kali ini dia sangat marah. Dia akan mendatangi kediaman Gubernur Riau. Usaha sang nenek untuk mencegahnya sama sekali tidak digubris. Dia berangkat naik angkutan umum. Sang nenek mengejarnya terseok-seok.
.....
Terjadi keributan yang dahsyat di kediaman Drs. H. Imam Syafi’I, Sang Gubernur itu kebingungan. Beberapa polisi dipanggilnya datang ke kediamannya untuk membantunya mengatasi masalah. Polisi pun tidak bisa mengatasi hal ini dengan mudah. Yang mereka hadapi saat ini bukan tentara penjajah tapi seorang anak laki-laki 7 tahun berkulit hitam dan bisu sedang mengamuk memecahkan kaca jendela dengan batu-batu. Polisi kebingungan karena mereka tidak bisa sembarangan mengeluarkan peluru atau gas airmata sekalipun pada si anak. Dia hanyalah anak-anak yang sedang marah. Beberapa petugas rumah sakit jiwa setempat juga sudah dihubungi tapi sebenarnya anak itu tidak gila. Polisi wanita yang mencoba menenangkan tak digubrisnya sama sekali. Dipukulnya polisi wanita itu dengan tangan mungilnya. Tiba-tiba. ‘Plak’ Sebuah tamparan mendarat di pipi si anak. Tangan seorang wanita tua.
“Indra …! Apakah tindakan seperti ini yang pernah nenek ajarkan padamu? Kita bisa bicarakan ini baik-baik dengan mereka. Kumohon Nak, berhentilah marah.” Indra mulai berangsur tenang dan menangis. Polisi wanita itu mendekati Indra dan neneknya. Mereka terlihat membicarakan sesuatu. Nenek menceritakan tentang keindahan dan kekayaan alam desa Kampar yang belum diketahui pemerintah. Nenek juga menjelaskan apa yang akan terjadi jika keindahan itu rusak. Sang nenek menjelaskan hal panjang lebar tentang Indra dan keinginanya. Sang nenek juga menceritakan alasan di balik kemarahan Indra. Sang nenek juga menceritakan tentang malangnya nasib Indra sejak kecil. Sang Gubernur yang juga mendengar cerita nenek Indra tak sengaja meneteskan airmata. Petugas Rumah Sakit Jiwa yang baru datang hanya bisa melongo mendengar kisah kehidupan Indra.
“Nak …! Bapak akan membicarakan ini dengan Bapak Presiden. Bapak janji tidak akan memisahkanmu dari teman-teman kecilmu itu. Sekarang juga Bapak akan menelpon ke pimpinan proyek di Kampar agar menghentikan proses penggarapan pusat perbelanjaan itu untuk sementara waktu. Bapak janji.” Sang Gubernur memeluk Indra. Indra tiba-tiba melepaskan pelukan bapak Gubernur. Dia menuliskan sesuatu di tangan pak Gubernur. “MAAF!” Sang Gubernur mengangguk menghapuskan airmata kemudian memeluk Indra lagi.
.....
Hari ini adalah ketiga kalinya Gubernur Zainal mendatangi rumah Indra. Sekarang usianya sudah 12 tahun. Tapi, dia sudah bergelar Insinyur dan mendapat penghargaan sebagai sarjana pertanian termuda dari pemerintah. Ya, 5 tahun yang lalu, Indra 7 tahun telah membuat kekacauan di kediaman Gubernur Zainal. Di tahun berikutnya bapak Presiden membatalkan proyek pembangunan pusat perbelanjaan di Kampar dan menggantinya dengan proyek hutan lindung karena mendengar penjelasan Gubernur Zainal. Berkat jasa Indra, pemerintah memberinya beasiswa padanya untuk sekolah. Yang lebih mengejutkan lagi dia tidak ingin bersekolah SD tapi memilih bangku kuliah pertanian di sebuah kampus Teknik di kota Bandung. Dan yang membuat semua orang tercengang adalah prestasinya. Meski usianya yang sangat muda, dia bisa mengalahkan teman-teman kampusnya yang berusia 10 tahun lebih tua darinya. Inilah yang disebut keajaiban itu. Tidak ada yang tahu rahasia Allah.
Kini Indra yang dicemooh banyak orang menjadi Indra yang disanjung-sanjung. Tetangga dan anak-anak yang dulu menghinanya sungguh harus merasa malu padanya. Karena meskipun dulu Indra selalu dihinakan, Indra tidak pernah dendam pada orang-orang itu. Justru Indra mengajarkan banyak hal pada tetangganya tentang mengolah tanah pertanian.
Perekonomian masyarakat desa Kampar berkembang pesat. Indra mengajarkan bagaimana cara menanam selada air yang bisa meraup keuntungan besar. Atas permintaan Indra, pemerintah membantu pembuatan danau buatan untuk mengairi tanaman selada air di desa Kampar. Indra juga mengajarkan cara menanam bunga mawar dengan warna kelopak berwarna-warni seperti pelangi. Selain itu, dia mengajarkan bagaimana menanam jati dan kelapa sawit yang dalam waktu singkat bisa diambil hasilnya. Dia menerapkan sistem kultur jaringan daripada konvensional. Entahlah darimana datangnya pengetahuan luar biasa yang dimiliki Indra. Kini julukan Indra si anak kutukan itu berangsur lenyap dan berubah menjadi Indra anak ajaib. Inilah skenario ilahi.
Berita tentang Indra tersebar ke seluruh pelosok pulau Sumatra. Bahkan Jakarta dan bapak Presidenpun mendengarnya. Presiden RI kerap kali saling bertukar surat dengan Indra. Beliau sebenarnya ingin bertemu Indra secara langsung, tapi karena banyak urusan negara yang harus diselesaikan, beliau mewakilkan kehadirannya pada Gubernur Zainal.
Kedatangan Saifullah, sang produsen jati dan wartawan trubus adalah bentuk penasaran khalayak umum pada hal menakjubkan yang dilakukan Indra. Setiap kali ditemui oleh orang-orang hebat yang kebanyakan tidak dikenalnya, Indra selalu tersenyum dan menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka dengan sang nenek sebagai juru bicara. Dia juga memberikan buah anggur hutan yang ditanamnya untuk dicicipkan pada tamu-tamunya. Hampir setiap hari, Indra kedatangan tamu, mulai dari rakyat biasa yang ingin belajar bertani padanya sampai pejabat yang penasaran dengan kiprahnya. Dia senang, sekarang dia punya banyak teman selain kupu-kupu. Tapi, dalam hatinya dia sudah bertekat untuk tidak meninggalkan teman lamanya itu. Setiap pagi seperti biasa, dia suka sekali bermain dengan kupu-kupu.
Pagi itu, terdengar riuh tawa di kediaman Indra yang sederhana namun elegan, dipenuhi kupu-kupu dan merpati. Sesekali terdengar Indra menjelaskan bagaimana cara menanam tanaman kering di daerah berkabut dan dingin pekarangan rumahnya. Terlihat dari kejauhan Gubernur Zainal dan Pak Saifullah manggut-manggut di hadapan Indra. Seorang wartawan tengah mengabadikan momen itu dengan kamera digitalnya. Sang nenek mempersilahkan tamu-tamunya menikmati kudapan sederhana yang disuguhkan.
“O … iya ini, hampir saja lupa. Surat dari presiden untuk Indra. Presiden belum bisa berkunjung, ada urusan politik ke Jerman.” Gubernur Zainal memberikan sebuah amplop pada Indra. Indra terlihat mengangguk, paham. Dia mengisyaratkan kata terimakasih. Amplop surat berwarna biru di tangan Indra dihinggapi kupu-kupu bersayap biru. Indra menyentuh kupu-kupu itu lembut. Sepertinya kupu-kupu itu akrab sekali dengannya. Dia terlihat tenang disentuh Indra. Indra mengatakan apa kabar pada kupu-kupu itu. Tentunya dengan bahasa tubuhnya. Awan pagi itu tersenyum. Manis sekali, seperti manisnya senyum Indra.

Gresik, 10 Desember 2014  09:25





[1] Dalam bahasa Latin disebut ampulla yang berarti kandung kemih. 

Tidak ada komentar: