Toleransi, sampai kapan? Atau mungkin
lebih tepat jika dikatakan sebatas mana? Polemik yang baru-baru ini muncul dan
mengalihkan sejenak perhatian kita dari kasus video porno pasangan personel
band dan Artis sekaligus model serta kasus-kasus cikueas yang terlihat belum
mencapai titik klimaks meski disana-sini diadakan forum kajian terkait.
Dalam Kamus Ilmiyah Populer kata
toleransi diartikan sebagai sifat atau sikap menghargai. Lepas dari itu,
Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum yang ada di Indonesia , menegaskan tanpa ba bi
bu dalam silanya yang pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan murid
SD-pun telah menghafalnya luar kepala. Namun, permasalahannya sekarang adalah
jalan tafsir dari sila tersebut. Para pakar hukum dan perundang-undangan akan
berkata serempak memaknai sila tersebut dengan kewajiban setiap kepala yang
berada di jengkal tanah yang masih bernama Indonesia untuk memiliki sebuah
kenyakinan beragama. Karena masyarakat Indonesia yang sejak 1945
menyatakan dirinya sebagai Negara merdeka itu, mempunyai lingkup kepercayaan
yang sama. Yakni sama-sama merasakan ketenangan yang hakiki dan mampu menepis
kekeringan jiwa jika telah menyandarkan dirinya pada Sang Kholiq dari mana atau
apapun suku mereka. Dan Latar belakang ini yang kemudian dijadikan patokan
ditetapkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama.
Khususnya Islam, kata toleransi saat
ini menjadi kata yang sarat makna. Berbagai pertanyaan, mulai dari sampai kapan
hingga sebatas mana selalu muncul. Hal ini disebabkan sering munculnya
sempalan-sempalan agama yang mengaku masih bagian dari Islam. Kondisi Islam,
sejak 1930 seringkali kebobolan, disana-sini terjadi penyusupan aqidah dan
budaya yang kemudian oleh Prof. Dr. Habib Muhammad Baharun, S.H, MA digolongkan
menjadi dua, Transnasional dan made in Indonesia. Apapun istilahnya yang
menjadi pertanyaannya sekarang adalah siapa sebenarnya yang harus
bertanggungjawab atas pemecahan masalah ini? Melalui penelitian secara
sederhana, salah satu Dewan Syari'at Nasional, KH. Ma'ruf Amin mengemukakan
bahwa penyusupan tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, skenario
global di luar Islam yang ikut andil dan yang kedua, lengahnya Ulama' Indonesia .
Padahal, Rasulullah
SAW bersabda, ''Ulama itu adalah panutan dan pemimpin umat. Barangsiapa yang
selalu bergaul dengannya, maka akan bertambah kebaikannya.'' (HR Jamaah). Dalam
hadis lain riwayat Anas Ibn Malik, beliau bersabda, ''Ulama itu adalah
orang-orang yang dipercaya oleh para rasul, selama tidak mukhallatah
(dikendalikan) oleh penguasa yang zalim dan selama tidak menjadikan materi
sebagai tujuan hidupnya. Apabila mereka dikendalikan oleh penguasa yang zalim,
maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada para rasul. Jauhilah mereka
itu.'' Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang problem kehidupannya
semakin kompleks, kehadiran ulama kepercayaan para rasul yang mewakafkan
seluruh waktunya untuk kepentingan masyarakat merupakan suatu keniscayaan.
Menurut KH Didin Hafidhuddin dalam sebuah milis
menyatakan bahwa seseorang yang berlabel Ulama
dituntut untuk selalu berpihak pada kejujuran, kebenaran, keadilan, dan
kepentingan kaum dhuafa. Kehadiran ulama yang seperti itu, sama pentingnya
dengan kehadiran penguasa yang adil, para aghniya' yang dermawan, kaum fuqara
yang terpuji akhlaknya, serta birokrat, dan para pegawai yang jujur dan amanah.
Bukan malah terlena dengan urusan politik, sehingga kelengahan tersebut
dimanfaatkan oleh oknum orentalis untuk mencoreng moreng wajah Islam.
Kembali
pada kata toleransi, kata “toleransi” dijadikan landasan
paham pluralisme yang menyatakan bahwa “semua agama itu benar”, atau
dijadikan alasan untuk memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti
acara-acara ritual non-muslim, atau yang lebih mengerikan lagi, kata toleransi
dipakai oleh sebagian orang ‘Islam’ untuk mendukung eksistensi aliran sesat dan
program kristenisasi baik secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-olah, dengan
itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung kepada kerukunan antar
umat beragama, padahal justru akidah Islamlah yang akan terkorbankan.
Disebutkan dalam buku Tren Pluralisme Agama karya
Dr Anis Malik Toha -, pada dasarnya kata toleransi tidak terdapat dalam istilah
Islam, akan tetapi termasuk istilah modern yang lahir dari Barat sebagai respon
dari sejarah yang meliputi kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas
dengan berbagai penyelewengan dan penindasan. Oleh karena itu, sulit untuk
mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab yang menunjukkan
arti toleransi dalam bahasa Inggris. Hanya saja, beberapa kalangan Islam mulai
membincangkan topik ini dengan menggunakan istilah “tasamuh”, yang
kemudian menjadi istilah baku untuk topik ini. Dalam kamus Inggris-Arab, kata “tasamuh”
ini diartikan dengan “tolerance”. Padahal jika kita merujuk kamus bahasa
Inggris, akan kita dapatkan makna asli “tolerance” adalah “to endure
without protest” (menahan perasaan tanpa protes).
Sedangkan kata “tasamuh” dalam al-Qamus
al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh” yang berarti “jud
wa karam wa tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan gampangan). Dalam kitab Mu’jam
Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata samahah diartikan dengan
suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan perkataan
Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan kata al-samhah
dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang
berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan
arti ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini
dalam kedua bahasa tersebut (Arab-Inggris).
Dengan demikian, dalam mengkaji konsep toleransi dalam
Islam, penulis sepakat dengan pernyataan Kharis Nugroho, Lc Alumnus Ma’had
Tahfidz Al-Qur’an Isy-Karima Jawa Tengah yang merujuk kepada makna
asli kata samahah dalam bahasa Arab (yang artinya mempermudah, memberi kemurahan
dan keluasan), dan bukan merujuk dari arti kata tolerance dalam bahasa
Inggris yang artinya menahan perasaan tanpa protes. Akan tetapi, makna
memudahkan dan memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami
secara bebas, melainkan tetap menggunakan tolok ukur Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-qur’an membincang kata samahah, Dalam surat Al-Baqarah ayat 185, Allah Ta’ala berfirman “
… Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu
…” . Terbukti bahwa Allah menghendaki untuk membersihkan umat Islam yang
dirahmati ini dari segala bentuk kesulitan dan belenggu, maka Allah tidak
menjadikan untuk mereka kesempitan pada agama ini, (baca : Islam). Dengan
kemurahan Allah yang tidak menginginkan hamba-Nya menemui kesukaran, Allah telah
mencontohkan sebuah toleransi pada kaum muslimin. Sebagai penguatan ayat sekali lagi Allah Jalla
Tsamauh berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 78: “Dan berjihadlah kamu dijalan
Allah dengan jihad sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali
tidak akan menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama
nenek moyangmu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang
muslim dari dahulu ….”
Rasulullah SAW bersabda : “Seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi”
[Shahih Al-Jami' As-Shaghir 1108]. Dari hadits Rasul tersebut, dapat kita pahami
bahwa toleransi mendapat kedudukan paling tinggi dalam Islam, yakni sebagai
tolok ukur keimanan seseorang yang mengaku dirinya muslim. Diceritakan lagi
dalam sebuah riwayat dari Ubadah bin Ash-Shamit r.a yang dikeluarkan oleh Ahmad
5/319, pernah datang seorang laki-laki kepada Rosulullah SAW lantas bertanya, “Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang paling utama ?” Jawab beliau : “Iman kepada Allah, membenarkan-Nya, dan berjihad di
jalan-Nya”. Orang tadi berkata : “Aku ingin yang lebih ringan daripada
itu wahai Rasulullah ?” Kata beliau : “Sabar dan toleransi” orang
itu berujar kembali: “Aku ingin yang lebih ringan lagi”. Beliau bersabda
: “Janganlah engkau menuduh Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam sesuatu yang
telah Allah putuskan untukmu”.
Sebagai stimulus dan atau pemahaman yang lebih tajam, beberapa
kaidah dan pernyataan dengan merujuk pada Al-qur’an akan coba penulis
ketengahkan dengan mencuplik kitab Toleransi Islam Menurut Pandangan Al-Qur'an
dan As-Sunnah, karangan Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali, terbitan Maktabah
Salafy Press, hal. 17-24, yang diterjemah oleh Abu Abdillah Mohammad Afifuddin
As-Sidawi. Di
dalam kitab itu tertulis dua point garis besar tentang contoh toleransi, yang
pertama merujuk pada ayat 107 Surat Al-Anbiya’ yang berbunyi, “Dan tidak Kami mengutusmu melainkan untuk menebarkan rahmat di seluruh alam
….”
Dan
Surat
Saba ayat 28, “Dan tidaklah Kami mengutusmu
melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan
pemberi peringatan …” Ayat ini ditafsiri oleh Syaikh Salim sebagai
salah satu contoh bentuk toleransi Islam yang membuka lebar-lebar bagi siapa
saja yang ingin memeluk Islam.
Point
yang kedua, adalah sebuah pernyataan bahwa Islam menolak sikap fanatisme dan
perbedaan Ras. Islam telah menyucikan diri dari ikatan dan belenggu
jahiliyyah, maka Islam-pun menghapus pengaruh fanatisme yang merupakan sumber
hukum yang dibangun di atas hawa nafsu.Islam tidak meridhoi kebathilan
fanatisme dan perbedaan ras yang mengukur keutamaan dan kebenaran dengan darah
fanatisme dan tanah. Thagut itu benar-benar ada pada syari’at jahiliyah, oleh
sebab itu, Islam menghinakannya karena mencekik kemulian insan.
Dengan demikian, Islam telah menghidupkan hati dan
memakmurkannya dengan iman yang benar dan menghasungnya kepada kebajikan,
petunjuk dan keadilan. Serta menghapus perbedaan jenis, bahasa, ras, nasab dan
harta benda, menjadikan segenap keutamaan dan kemuliaan untuk ketaqwaan yang
merupakan mata air sikap toleransi, puncak tertinggi dan muara keistimewaan dan
kelebihannya.
Allah Ta’ala berfirman.“Wahai sekalian manusia !
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah diantara kamu
adalah orang-orang yang paling bertawqa di antara kamu. Sesunguhnya Allah Maha
Mengatahui dan Maha Mengenal” [Al-Hujurat : 13].
Dapat
disimpulkan bahwa yang selama ini dilakukan oleh beberapa oknum yang
mengatasnamakan jihad fi sabilillah atau jihad atas nama pembela Islam, sedang
diri mereka terlalu fatanatik, berani memporak-porandakan Hak Asasi Manusia,
dan atau berbuat ekstrim, apakah masih tidak terima jika dikatakan meng-kambing
hitamkan Islam. Sebesar apapun kecintaan kita pada Allah, Rosul, Sahabat,
Ulama’ dan Islam, tidak lantas Allah mengizinkan kita merusak ketenangan hidup
ummat lain dengan tanpa melalui cara Allah.
Bukankah,
…Toleransi (samahah) dalam Islam mempunyai kaidah
dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada
paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam
Islam yang bersifat mengajak, bukan memaksa…
Sudah selayaknya kita faham tentang beberapa hal yang
sangat amat perlu diperhatikan dalam toleransi. Sebab, pada kenyataan yang ada, sebagian orang terkadang masih kabur tentang pemahaman makna toleransi, dia
mengira bahwa ada beberapa perkara yang bertolak belakang dengan makna
toleransi. Padahal perkara tersebut adalah inti dan kunci pintu toleransi. Inti
dan kunci dari pintu toleransi itu diantaranya : Marah Ketika Keharuman
Allah Dilanggar, Allah Ta’ala berfirman. “Artinya : Dan
orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila
mereka marah, mereka memberi ma’af dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka mema’afkan sebagian
rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila
mereka diperlakukan dengan dholim, mereka membela diri” [Asy-Syura : 37 -
39]
Dari Aisyah Radliyallahu anha dia menceritakan, Yang artinya
: “Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disuruh memilih antara
dua urusan melainkan beliau memilih yang paling mudah, selama tidak mengandung
dosa, bila mengandung dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya, dan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah sekalipun kecuali
bila keharuman Allah dilanggar, beliau marah karena Allah” [Hadits Riwayat
Bukhari 6/419-420 dan Muslim 2327]
Dan inti serta
kunci yang kedua yakni Menuntut Hak.
Dalam sejarah tertulis, pada masa Rasulullah, seorang lelaki datang menuntut
haknya kepada Rasulullah SAW, dia berlaku kasar kepada beliau, para shabatpun
hendak menghardiknya, namun beliau bersabda : “Biarkanlah dia, karena orang
yang mempunyai hak untuk berbicara”
Dalam “Fi Dhilalil Qur'an 2/759-760” Tentang Loyalitas dan toleransi, Al-Ustadz
da’i Sayyid Quthub Rahimahullah ikut andil dalam berpendapat. Beliau menjelaskan
bahwa sesungguhnya toleransi Islam bersama contohnya Ahlul Kitab, merupakan
satu sisi dan menjadikan mereka sebagai kekasih adalah sisi lain lagi. Namun
kedua hal ini, lagi-lagi dikatakan masih kabur bagi sebagian kaum muslilim yang
jiwanya tidak jelas melihat secara sempurna tentang hakikat agama dan tugasnya.
Mereka melupakan pengarahan-pengarahan Al-Qur’an yang jelas gamblang
tentang masalah ini, sehingga mereka mencampuradukkan antar seruan Islam kepada
sikap toleransi dalam bermuamalah dengan ahlul kitab, berbuat baik kepada
mereka dalam masyarakat muslim yang mereka tempati dan menunaikan hak-hak
mereka, dengan sikap loyalitas yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah,
Rasul-Nya dan kaum muslimin.
Dan seharusnya tumbuh sikap yang sama ketika
kita menghadapi beberapa sempalan Islam (tanpa menyebut identitas) yang belakangan ini muncul di Negara kita.
Setelah mengkaji aqidah yang mereka yakini secara mendalam dan tahu betul
dimana letak pengkaburannya, tak salah jika pernyataan yang berbunyi “Perbedaan
khilafiyah harus ditoleransi namun perbedaan aqidah harus diamputasi.” Muncul
ke permukaan. Ketika teringat ungkapan K.H Ma’ruf Amin yang diadopsi oleh Habib
Baharun dalam acara Seminar pada akhir bulan Pebruari itu, diam-diam penulis
menyadari bahwa label dungu dan lengah bagi orang yang mau menggandeng tangan
mereka serta menganggapnya berada dijalur yang sama itu benar. Wallahu
a'lam bish-shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar