Kamis, 22 Januari 2015

TOLERANSI, SAMPAI KAPAN?

Toleransi, sampai kapan? Atau mungkin lebih tepat jika dikatakan sebatas mana? Polemik yang baru-baru ini muncul dan mengalihkan sejenak perhatian kita dari kasus video porno pasangan personel band dan Artis sekaligus model serta kasus-kasus cikueas yang terlihat belum mencapai titik klimaks meski disana-sini diadakan forum kajian terkait.   
Dalam Kamus Ilmiyah Populer kata toleransi diartikan sebagai sifat atau sikap menghargai. Lepas dari itu, Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum yang ada di Indonesia, menegaskan tanpa ba bi bu dalam silanya yang pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Bahkan murid SD-pun telah menghafalnya luar kepala. Namun, permasalahannya sekarang adalah jalan tafsir dari sila tersebut. Para pakar hukum dan perundang-undangan akan berkata serempak memaknai sila tersebut dengan kewajiban setiap kepala yang berada di jengkal tanah yang masih bernama Indonesia untuk memiliki sebuah kenyakinan beragama. Karena masyarakat Indonesia yang sejak 1945 menyatakan dirinya sebagai Negara merdeka itu, mempunyai lingkup kepercayaan yang sama. Yakni sama-sama merasakan ketenangan yang hakiki dan mampu menepis kekeringan jiwa jika telah menyandarkan dirinya pada Sang Kholiq dari mana atau apapun suku mereka. Dan Latar belakang ini yang kemudian dijadikan patokan ditetapkannya sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama.
     Sebagai klarifikasi serta tindak lanjut perlindungan hukum yang bermuara dari pancasila sila pertama, UUD 1945 Bab XI tentang agama  pasal 29 ayat 2 menyebutkan bahwa " Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Dari pasal dan ayat ini kemudian dalam mata kuliah sivic education, kita akan mengenal istilah toleransi hidup beragama.
Khususnya Islam, kata toleransi saat ini menjadi kata yang sarat makna. Berbagai pertanyaan, mulai dari sampai kapan hingga sebatas mana selalu muncul. Hal ini disebabkan sering munculnya sempalan-sempalan agama yang mengaku masih bagian dari Islam. Kondisi Islam, sejak 1930 seringkali kebobolan, disana-sini terjadi penyusupan aqidah dan budaya yang kemudian oleh Prof. Dr. Habib Muhammad Baharun, S.H, MA digolongkan menjadi dua, Transnasional dan made in Indonesia. Apapun istilahnya yang menjadi pertanyaannya sekarang adalah siapa sebenarnya yang harus bertanggungjawab atas pemecahan masalah ini? Melalui penelitian secara sederhana, salah satu Dewan Syari'at Nasional, KH. Ma'ruf Amin mengemukakan bahwa penyusupan tersebut terjadi karena beberapa faktor. Pertama, skenario global di luar Islam yang ikut andil dan yang kedua, lengahnya Ulama' Indonesia.
Padahal, Rasulullah SAW bersabda, ''Ulama itu adalah panutan dan pemimpin umat. Barangsiapa yang selalu bergaul dengannya, maka akan bertambah kebaikannya.'' (HR Jamaah). Dalam hadis lain riwayat Anas Ibn Malik, beliau bersabda, ''Ulama itu adalah orang-orang yang dipercaya oleh para rasul, selama tidak mukhallatah (dikendalikan) oleh penguasa yang zalim dan selama tidak menjadikan materi sebagai tujuan hidupnya. Apabila mereka dikendalikan oleh penguasa yang zalim, maka sesungguhnya mereka telah berkhianat kepada para rasul. Jauhilah mereka itu.'' Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang problem kehidupannya semakin kompleks, kehadiran ulama kepercayaan para rasul yang mewakafkan seluruh waktunya untuk kepentingan masyarakat merupakan suatu keniscayaan.
 Menurut KH Didin Hafidhuddin dalam sebuah milis menyatakan bahwa seseorang yang berlabel Ulama dituntut untuk selalu berpihak pada kejujuran, kebenaran, keadilan, dan kepentingan kaum dhuafa. Kehadiran ulama yang seperti itu, sama pentingnya dengan kehadiran penguasa yang adil, para aghniya' yang dermawan, kaum fuqara yang terpuji akhlaknya, serta birokrat, dan para pegawai yang jujur dan amanah. Bukan malah terlena dengan urusan politik, sehingga kelengahan tersebut dimanfaatkan oleh oknum orentalis untuk mencoreng moreng wajah Islam.  
Kembali pada kata toleransi, kata “toleransi” dijadikan landasan paham pluralisme yang menyatakan bahwa “semua agama itu benar”, atau dijadikan alasan untuk memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti acara-acara ritual non-muslim, atau yang lebih mengerikan lagi, kata toleransi dipakai oleh sebagian orang ‘Islam’ untuk mendukung eksistensi aliran sesat dan program kristenisasi baik secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-olah, dengan itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung kepada kerukunan antar umat beragama, padahal justru akidah Islamlah yang akan terkorbankan.
Disebutkan dalam buku Tren Pluralisme Agama karya Dr Anis Malik Toha -, pada dasarnya kata toleransi tidak terdapat dalam istilah Islam, akan tetapi termasuk istilah modern yang lahir dari Barat sebagai respon dari sejarah yang meliputi kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas dengan berbagai penyelewengan dan penindasan. Oleh karena itu, sulit untuk mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Hanya saja, beberapa kalangan Islam mulai membincangkan topik ini dengan menggunakan istilah “tasamuh”, yang kemudian menjadi istilah baku untuk topik ini. Dalam kamus Inggris-Arab, kata “tasamuh” ini diartikan dengan “tolerance”. Padahal jika kita merujuk kamus bahasa Inggris, akan kita dapatkan makna asli “tolerance” adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).
Sedangkan kata “tasamuh” dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh” yang berarti “jud wa karam wa tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan gampangan). Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata samahah diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat yang berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan arti ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam kedua bahasa tersebut (Arab-Inggris).
Dengan demikian, dalam mengkaji konsep toleransi dalam Islam, penulis sepakat dengan pernyataan Kharis Nugroho, Lc Alumnus Ma’had Tahfidz Al-Qur’an Isy-Karima  Jawa Tengah yang merujuk kepada makna asli kata samahah dalam bahasa Arab (yang artinya mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan), dan bukan merujuk dari arti kata tolerance dalam bahasa Inggris yang artinya menahan perasaan tanpa protes. Akan tetapi, makna memudahkan dan memberi keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami secara bebas, melainkan tetap menggunakan tolok ukur Al-Qur’an dan Sunnah.
Al-qur’an membincang kata samahah, Dalam surat  Al-Baqarah ayat 185, Allah Ta’ala berfirman “ … Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu …” . Terbukti bahwa Allah menghendaki untuk membersihkan umat Islam yang dirahmati ini dari segala bentuk kesulitan dan belenggu, maka Allah tidak menjadikan untuk mereka kesempitan pada agama ini, (baca : Islam). Dengan kemurahan Allah yang tidak menginginkan hamba-Nya menemui kesukaran, Allah telah mencontohkan sebuah toleransi pada kaum muslimin.  Sebagai penguatan ayat sekali lagi Allah Jalla Tsamauh berfirman dalam surat Al-Hajj ayat 78: “Dan berjihadlah kamu dijalan Allah dengan jihad sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak akan menjadikan untukmu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama nenek moyangmu, Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu ….”
Rasulullah SAW bersabda : “Seutama-utama keimanan adalah sabar dan toleransi” [Shahih Al-Jami' As-Shaghir 1108]. Dari hadits Rasul tersebut, dapat kita pahami bahwa toleransi mendapat kedudukan paling tinggi dalam Islam, yakni sebagai tolok ukur keimanan seseorang yang mengaku dirinya muslim. Diceritakan lagi dalam sebuah riwayat dari Ubadah bin Ash-Shamit r.a yang dikeluarkan oleh Ahmad 5/319, pernah datang seorang laki-laki kepada Rosulullah SAW lantas bertanya, “Wahai Rasulullah ! Amalan apakah yang paling utama ?” Jawab beliau : “Iman kepada Allah, membenarkan-Nya, dan berjihad di jalan-Nya”. Orang tadi berkata : “Aku ingin yang lebih ringan daripada itu wahai Rasulullah ?” Kata beliau : “Sabar dan toleransi” orang itu berujar kembali: “Aku ingin yang lebih ringan lagi”. Beliau bersabda : “Janganlah engkau menuduh Allah Tabaraka wa Ta’ala dalam sesuatu yang telah Allah putuskan untukmu”.
Sebagai stimulus dan atau pemahaman yang lebih tajam, beberapa kaidah dan pernyataan dengan merujuk pada Al-qur’an akan coba penulis ketengahkan dengan mencuplik kitab Toleransi Islam Menurut Pandangan Al-Qur'an dan As-Sunnah, karangan Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali, terbitan Maktabah Salafy Press, hal. 17-24, yang diterjemah oleh Abu Abdillah Mohammad Afifuddin As-Sidawi. Di dalam kitab itu tertulis dua point garis besar tentang contoh toleransi, yang pertama merujuk pada ayat 107 Surat Al-Anbiya’ yang berbunyi, Dan tidak Kami mengutusmu melainkan untuk menebarkan rahmat di seluruh alam ….” Dan Surat Saba ayat 28, “Dan tidaklah Kami mengutusmu melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan …” Ayat ini ditafsiri oleh Syaikh Salim sebagai salah satu contoh bentuk toleransi Islam yang membuka lebar-lebar bagi siapa saja yang ingin memeluk Islam.
Point yang kedua, adalah sebuah pernyataan bahwa Islam menolak sikap fanatisme dan perbedaan Ras. Islam telah menyucikan diri dari ikatan dan belenggu jahiliyyah, maka Islam-pun menghapus pengaruh fanatisme yang merupakan sumber hukum yang dibangun di atas hawa nafsu.Islam tidak meridhoi kebathilan fanatisme dan perbedaan ras yang mengukur keutamaan dan kebenaran dengan darah fanatisme dan tanah. Thagut itu benar-benar ada pada syari’at jahiliyah, oleh sebab itu, Islam menghinakannya karena mencekik kemulian insan.
Dengan demikian, Islam telah menghidupkan hati dan memakmurkannya dengan iman yang benar dan menghasungnya kepada kebajikan, petunjuk dan keadilan. Serta menghapus perbedaan jenis, bahasa, ras, nasab dan harta benda, menjadikan segenap keutamaan dan kemuliaan untuk ketaqwaan yang merupakan mata air sikap toleransi, puncak tertinggi dan muara keistimewaan dan kelebihannya.
Allah Ta’ala berfirman.“Wahai sekalian manusia ! Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah diantara kamu adalah orang-orang yang paling bertawqa di antara kamu. Sesunguhnya Allah Maha Mengatahui dan Maha Mengenal” [Al-Hujurat : 13].
Dapat disimpulkan bahwa yang selama ini dilakukan oleh beberapa oknum yang mengatasnamakan jihad fi sabilillah atau jihad atas nama pembela Islam, sedang diri mereka terlalu fatanatik, berani memporak-porandakan Hak Asasi Manusia, dan atau berbuat ekstrim, apakah masih tidak terima jika dikatakan meng-kambing hitamkan Islam. Sebesar apapun kecintaan kita pada Allah, Rosul, Sahabat, Ulama’ dan Islam, tidak lantas Allah mengizinkan kita merusak ketenangan hidup ummat lain dengan tanpa melalui cara Allah.
Bukankah, …Toleransi (samahah) dalam Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam yang  bersifat mengajak, bukan memaksa…
Sudah selayaknya kita faham tentang beberapa hal yang sangat amat perlu diperhatikan dalam toleransi. Sebab, pada kenyataan yang ada, sebagian orang terkadang masih kabur tentang pemahaman makna toleransi, dia mengira bahwa ada beberapa perkara yang bertolak belakang dengan makna toleransi. Padahal perkara tersebut adalah inti dan kunci pintu toleransi. Inti dan kunci dari pintu toleransi itu diantaranya : Marah Ketika Keharuman Allah Dilanggar, Allah Ta’ala berfirman. “Artinya : Dan orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji, dan apabila mereka marah, mereka memberi ma’af dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka mema’afkan sebagian rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan dholim, mereka membela diri” [Asy-Syura : 37 - 39]
Dari Aisyah Radliyallahu anha dia menceritakan, Yang artinya : “Tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam disuruh memilih antara dua urusan melainkan beliau memilih yang paling mudah, selama tidak mengandung dosa, bila mengandung dosa, beliau adalah orang yang paling jauh darinya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah marah sekalipun kecuali bila keharuman Allah dilanggar, beliau marah karena Allah” [Hadits Riwayat Bukhari 6/419-420 dan Muslim 2327]
Dan inti serta kunci yang kedua yakni Menuntut Hak. Dalam sejarah tertulis, pada masa Rasulullah, seorang lelaki datang menuntut haknya kepada Rasulullah SAW, dia berlaku kasar kepada beliau, para shabatpun hendak menghardiknya, namun beliau bersabda : “Biarkanlah dia, karena orang yang mempunyai hak untuk berbicara”
Dalam “Fi Dhilalil Qur'an 2/759-760” Tentang Loyalitas dan toleransi, Al-Ustadz da’i Sayyid Quthub Rahimahullah ikut andil dalam berpendapat. Beliau menjelaskan bahwa sesungguhnya toleransi Islam bersama contohnya Ahlul Kitab, merupakan satu sisi dan menjadikan mereka sebagai kekasih adalah sisi lain lagi. Namun kedua hal ini, lagi-lagi dikatakan masih kabur bagi sebagian kaum muslilim yang jiwanya tidak jelas melihat secara sempurna tentang hakikat agama dan tugasnya.
Mereka melupakan pengarahan-pengarahan Al-Qur’an yang jelas gamblang tentang masalah ini, sehingga mereka mencampuradukkan antar seruan Islam kepada sikap toleransi dalam bermuamalah dengan ahlul kitab, berbuat baik kepada mereka dalam masyarakat muslim yang mereka tempati dan menunaikan hak-hak mereka, dengan sikap loyalitas yang tidak boleh diberikan kecuali kepada Allah, Rasul-Nya dan kaum muslimin.
Dan seharusnya tumbuh sikap yang sama ketika kita menghadapi beberapa sempalan Islam (tanpa menyebut identitas)  yang belakangan ini muncul di Negara kita. Setelah mengkaji aqidah yang mereka yakini secara mendalam dan tahu betul dimana letak pengkaburannya, tak salah jika pernyataan yang berbunyi “Perbedaan khilafiyah harus ditoleransi namun perbedaan aqidah harus diamputasi.” Muncul ke permukaan. Ketika teringat ungkapan K.H Ma’ruf Amin yang diadopsi oleh Habib Baharun dalam acara Seminar pada akhir bulan Pebruari itu, diam-diam penulis menyadari bahwa label dungu dan lengah bagi orang yang mau menggandeng tangan mereka serta menganggapnya berada dijalur yang sama itu benar. Wallahu a'lam bish-shawab.

Tidak ada komentar: