Selasa, 20 Januari 2015

WARTAWAN SEJAM


Aku tak henti-hentinya memaki diriku sendiri. Naluri ini mengamuk. Otakku sudah lelah menjelajahi samudra fikir. Kalau saja Aku tidak teringat pada pengorbana Emak dulu, mungkin nasib handycame yang ada di tanganku ini sama seperti nasib rakyat Mezopotamia, remuk, redam, menderita akibat kekejaman bangsa kolonial. Seandainya bukan Emak yang susah payah cari pinjaman uang ke tetangga hanya untuk beli handycame, barangkali alat ini sudah kuratakan dengan tanah. Ckckck… Emak, I am proud of You.
Ah, percuma marah-marah pada benda bisu, tak berperasaan, hanya bikin pusing. Tapi, masih mending. Ia tak bisa disalahkan karena Ia hanya sebuah benda mati, tidak seperti para jutawan, milyader dan der-der atau wan-wan yang lainnya, yang hanya bisa ongkang-ongkang kaki sambil menikmati popcorn. Mereka tanpa sedikitpun peduli pada air mata darah putra-putri Indonesia yang sudah tidak berbapa beribu. Apakah orang-orang seperti itu masih bisa pantas disebut sebagai dewa penolong atau malaikat dari syurga. Apa karena sesekali mereka mengadakan semacam acara bakti sosial yang tujuannya untuk pamer semata. Heh, tidak sungguh tidak pantas.
     Lantas, apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi tuntutan pimred. Sepagi tadiaku belum mendapatkan satu beritapun. Berita politik, bosan. Paling-paling aku hanya akan berurusan dengan pejabat-pejabat yang hanya bangga pada dasi dan jasnya saja. Atau para ajudan presiden yang sombongnya nggak ketulungan. Padahal cuma jadi ajudan, gimana kalau jadi menteri.
Sempat terlintas di benakku untuk terjun ke daerah-daerah yang terkena banjir. Tapi, malah bikin kepalaku muter-muter nggak jelas. Gimana enggak? Mereka hanya bisa saling tuding, saling menyalahkan satu sama lain tanpa ada usaha untuk mengatasi masalah tersebut. Orang jawa bilang,”Omong Tok…!”
Kata rakyat-rakyat kecil, bencana ini terjadi gara-gara ulah penebang liar. Mereka menebang paru-paru dunia secara ilegal tanpa belas kasihan. Sayangnya lagi, hati mereka tidak tergugah sedikitpun untuk menanam kembali benih-benih hijau yang baru. Akibatnya, hutan-hutan kita menjadi botak. Kalau sudah begitu, tuyul-tuyul dari negri jin jadi punya banyak teman dong.
Herannya lagi, para penebang liar masih saja bisa berkelit. Eh, mereka malah menuduh pemerintah yang tidak becus mengurus bencana banjir. Segala macam bantuan dari dalam maupun luar negri masuk ke kantong masing-masing. Kelihatan sih. Perut pejabat lebih banyak yang buncit dari pada yang singset.
Belum selesai sampai di situ. Pemerintah pun tidak mau kalah, berputar arah menuding rakyat sebagai biang keladi jebolnya tanggul-tanggul untuk meminimalisir banjir. Alasan mereka simpel, katanya sih, gara-gara para pengungsi korban banjirmemanfaatkan tanggul tersebut untuk mendirikan tenda-tenda pengungsian. Aduh… gimana gak pusing coba.
Emm… kalau mau bahas tentang selebritis, ujung-ujungnya kalau bukan masalah perceraian, ya kasus-kasus selebritis yang diseret BNN. Atau mungkin, perkara-perkara sepele tentang isi dompet atau tas mereka. Dan bisa jadi tentang tradisi ganti-ganti pasangan demi popularitas di dunia hiburan.
******
Renungan panjangku tiba-tiba dibuyarkan oleh suara lembut seorang pemuda sebaya denganku. “Mbak…! Mbak ini wartawan ya?” Tanyanya lirih. Aku terkejut dan spontan membetulkan jilbab. Aku sadar sedari tadi aku sudah duduk berjam-jam di trotoar depan gedung Gelanggang Olahraga.
 “Eh, iya Mas…!” “Anda wartawan majalah Al-Mahdi yang dipimpin oleh Dr.H. Malik Karim Amrullah, atau dikenal dengan Buya Hamka itu kan. Saya suka karya karya beliau. Tenggelamnya kapal Van Der Wijck, Di bawah lindungan ka’bah, Tasawuf Modern, Ayah dan lain saya juga suka.
“Loh, Koq tahu?”
“Saya menemukan kartu ini.”
“Oh, terimakasih Mas …!”
“Lagi susah cari inspirasi, ya?” “Iya nih Mas.” Tiba-tiba laki-laki itu menyodorkan sebuah kaset VCD. Tangannya dingin sekali saat tak sengaja ku menyentuhnya. “Apa ini, Mas?” Aku mengerutkan kening sembari memperhatikan kaset di tanganku. “Mas …” Tiba-tiba dia menghilang, aku mencari-cari sosoknya di jalan yang lengang itu namun, nihil. Dia lenyap bak roh penasaran.
Wah … jangan-jangan hantu. Tapi kok datangnya di siang bolong sih. Emangnya nggak takut sinar matahari? Wong Syahrini yang cetar membahana itu saja takut cantiknya pudar. Oh … iya-ya. Setan kan emang dari sononya jelek. Jadi gak takut cantik atau tampannya ilang. Semakin jelek wajah setan, semakin populer. Kalau aku sih, gak peduli sama kulit. Percuma juga. Kalau jelek, ya jelek aja. Tapi meski jelek-jelek begini aku bukan setan lo. Mengingat setan, bulu jaketku merinding. Dipikir-pikir aku aneh juga, dalam keadaan takut aku masih sempat-sempatnya menganalisa masalah.
******
Sesampainya di gubug tempatku berteduh dari terik dan hujan, Aku nyelonong masuk ke kamar dan langsung menyalakan laptop bermerek hp yang sudah tua itu. Kukeluarkan kaset pemberian pemuda tadi dari tas. Aku sempat ragu, tapi entahlah ada sesuatu yang mendorong hatiku untuk mengetahui isinya.
Suasana hening dan menegangkan. Tiba-tiba ada sosok wanita muncul di depanku. Rambutnya yang mulai putih tergerai. Aku terperanjat. “Ya Allah, Emak mengagetkan aku aja. Pening Aku, pening aku emak.”Ujarku menirukan gaya bicara si Poltak, raja minyak dari Medan. Emak menjewer telingaku. Aku merintih. “Kamu itu ya, kebiasaan. Udah pulang nggak pakek salam, handycame mahal-mahal di tinggal di teras. Kalau dicuri orang atau rusak, gimana?” “Hehehe … Nayla lupa Mak! Peace!” “Pas .. pis … pas pis … apa itu? Emak gak kebelet pipis.” Sahut Emak berlalu. “Aduh Emak, bukan pipis ssttt … sensor.” Aku meneput dahi lalu bibirku.
Terlihat Emak keluar kamar dan menutup pintu. Aku tak sabar melihat isi kaset. Akhirnya Aku memutarnya. Kuperbesar layarnya dan muncul tulisan. ‘Nyata …! Terekam, sosok pocong mengerikan di Pabrik mie.”
“Hah …! Mataku terbelalak, spontan aku mematikan tayangan itu, mengeluarkan kasetnya lalu membuangnya keluar jendela. Aku menutup mataku dengan guling bersarung putih kesayangannku. Tiba-tiba aku jadi paranoid. Aku membayangkan, bagaimana kalau guling ini berubah menjadi pocong buruk rupa. “Huuaaaaa …” Aku melempar guling ke lantai.
******
Malam harinya dengan dorongan jiwa jurnalisku, aku berusaha mengatur keberanian untuk menyelidiki kebenaran isi kaset. Barangkali saja ada pocong narsis yang keganjenan ingin diiliput. Masak sih, wartawan Al-Mahdi, sekelas gua takut sama hantu lepet bungkus itu. Hancur dong reputasi. Satu-satunya pabrik mie di daerahku berada di daerah barat kota.  
******
Di pabrik mie. Sepi, sunyi, yang terdengar hanya lolongan anjing piaraan para Koko Cina. Rasa takutpun kembali mengaum di jantungku. Heran! Kenapa tidak ada pegawai yang lembur sih. Setidaknya aku punya teman ngobrol gitu. Aku masuk ke dalam pabrik mengendap-endap melalui pindu yang tidak terkunci. Bau sisa-sisa adonan bumbu mie sangat menyengat tercium. Keringat di keningku sebesar biji jagung. Kuraih handycame kesayangan dari ransel. Kutekan power dan kuarahkan ke sekitar.
Sejam berlalu, layar handycame tidak berubah, yang terlihat hanya tumpukan kardus mie yang tertata. Tiba-tiba suara misterius terdengar. “Jep-ajep … ajep … ajep … sesuatu … yang ada di hatiku sesuatu yang ada di kafanku.” Terdengar lantunan lagu Princes Syahrini, peraih penghargaan penyanyi favorite SCTV award sebanyak lima kali berturut-turut. Namun, nadanya diremix dan liriknya terdengar telah dirubah menjadi kafan. Hah … Kafan. Aku tak berani melihat ke arah suara. Aku hanya mengarahkan handycameku. Dan perlahan melihat apa yang terjadi dari handycame. Ada segerombolan pocong dengan gitar, drum, bass, sasando dan piano berada di atas mesin penggilingan bumbu mie. ‘Busyet.’ Pocong Band lagi konser. Ada yang jadi Dj pula. Saingan sama Al-Ghazali, putra musisi Achmad Dani donk. Alamak jang …! Mereka melihat dan menyapaku dengan gaya bencong kesasar. “Lagi pada teripingan cin, ikut yuk …!”
“Aaaaaaaaghhh … aku lari terbirit-birit menabrak tumpukan kardus mie. Kemudian … Braaakkk … Aku terjatuh dan terjebak ke dalam sebuah ruangan bawah tanah.
******
Gelap. Terdengar riuh tawa terbahak-bahak. Wajahku basah. Kemudian kelopak mataku memaksa terbuka. Terdengar jelas suara lantan Pak Fatich, guru Matematikaku. Beliau menyemprotkan air ke wajahku. Aku meringis kesakitan. “Nayla…! Berdiri di depan kelas. Kelas itu bukan tempat untuk tidur. Mengerti kamu…!” “Mengerti pak…!”
Aku bangun dari lantai dan membereskan busur, jangka dan kitab matematika yang terjatuh ke lantai lantai tersenggol ketika aku mengakhiri mimpiku. Tak ada Pocong Band, tak ada pabrik, tak ada handycame di tangan. Sial. Sudah punggung encok, dipajang pula di depan kelas, diketawain lagi. Kutengok jam yang melingkar di tangan kananku. Pukul 09.00 WIB. Sudah sejam aku tidur sejak guru matematikaku memulai pelajaran tentang integral. Untung cuma sejam. Kalau sampai tertidur selama 350 tahun seperti Ashabul Kahfi, masuk sejarah dong aku. Iya kalau Cuma selama 350 tahun, kalau selamanya gimana? Kebablas mati maksudnya. Kualat guru tuh namanya.Hah … ancur-ancur-ancur hatiku. Jadi, aku saranin buat  santri ato pelajar yang hobinya molor saat pelajaran berlangsung, apalagi pelajaran Nahwu. Coba inget-inget mati deh sebelum tidur. Pasti kalian gak berani tidur saat pelajaran.
O …iya Aku baru inget. Tadi malem ada layar tancep di Pesantren. Filmnya bagus banget. Di bawah lindungan Ka’bah. Tokoh utamanya, artis cantik, Laudya Cyntia Bella. Makanya aku tidur terlalu larut. Akhirnya molor deh di kelas. Tapi, itu bukan alasan sih… soalnya meski tidak ada kegiatan, kebanyakan masyarakat santri punya hobi menular seperti tidur. Apalagi kalau sudah liburan panjang. Santri bisa menjelma menjadi siluman kelelawar. Kalau malem, melek nonton TV kalau siang molor deh tuh habis sholat subuh. Biasa … jarang nonton TV. Mengingat mimpiku tadi. Enak juga ya, jadi wartawan. Asyik dan penuh tantangan.

Suci, di Kelas IPA 2 MBS 2007
AGIP … Asosiation Girl of IPA … I miss U all


Tidak ada komentar: