Aku
tak henti-hentinya memaki diriku sendiri. Naluri ini mengamuk. Otakku sudah
lelah menjelajahi samudra fikir. Kalau saja Aku tidak teringat pada pengorbana
Emak dulu, mungkin nasib handycame yang ada di tanganku ini sama seperti
nasib rakyat Mezopotamia, remuk, redam, menderita akibat kekejaman bangsa
kolonial. Seandainya bukan Emak yang susah payah cari pinjaman uang ke tetangga
hanya untuk beli handycame, barangkali alat ini sudah kuratakan dengan
tanah. Ckckck… Emak, I am proud of You.
Ah,
percuma marah-marah pada benda bisu, tak berperasaan, hanya bikin pusing. Tapi,
masih mending. Ia tak bisa disalahkan karena Ia hanya sebuah benda mati, tidak
seperti para jutawan, milyader dan der-der atau wan-wan yang lainnya, yang
hanya bisa ongkang-ongkang kaki sambil menikmati popcorn. Mereka tanpa
sedikitpun peduli pada air mata darah putra-putri Indonesia yang sudah tidak
berbapa beribu. Apakah orang-orang seperti itu masih bisa pantas disebut sebagai
dewa penolong atau malaikat dari syurga. Apa karena sesekali mereka mengadakan
semacam acara bakti sosial yang tujuannya untuk pamer semata. Heh, tidak
sungguh tidak pantas.
Sempat
terlintas di benakku untuk terjun ke daerah-daerah yang terkena banjir. Tapi,
malah bikin kepalaku muter-muter nggak jelas. Gimana enggak? Mereka hanya bisa
saling tuding, saling menyalahkan satu sama lain tanpa ada usaha untuk
mengatasi masalah tersebut. Orang jawa bilang,”Omong Tok…!”
Kata
rakyat-rakyat kecil, bencana ini terjadi gara-gara ulah penebang liar. Mereka
menebang paru-paru dunia secara ilegal tanpa belas kasihan. Sayangnya lagi,
hati mereka tidak tergugah sedikitpun untuk menanam kembali benih-benih hijau
yang baru. Akibatnya, hutan-hutan kita menjadi botak. Kalau sudah begitu,
tuyul-tuyul dari negri jin jadi punya banyak teman dong.
Herannya
lagi, para penebang liar masih saja bisa berkelit. Eh, mereka malah menuduh
pemerintah yang tidak becus mengurus bencana banjir. Segala macam bantuan dari
dalam maupun luar negri masuk ke kantong masing-masing. Kelihatan sih. Perut
pejabat lebih banyak yang buncit dari pada yang singset.
Belum
selesai sampai di situ. Pemerintah pun tidak mau kalah, berputar arah menuding
rakyat sebagai biang keladi jebolnya tanggul-tanggul untuk meminimalisir banjir.
Alasan mereka simpel, katanya sih, gara-gara para pengungsi korban
banjirmemanfaatkan tanggul tersebut untuk mendirikan tenda-tenda pengungsian.
Aduh… gimana gak pusing coba.
Emm…
kalau mau bahas tentang selebritis, ujung-ujungnya kalau bukan masalah
perceraian, ya kasus-kasus selebritis yang diseret BNN. Atau mungkin,
perkara-perkara sepele tentang isi dompet atau tas mereka. Dan bisa jadi
tentang tradisi ganti-ganti pasangan demi popularitas di dunia hiburan.
******
Renungan
panjangku tiba-tiba dibuyarkan oleh suara lembut seorang pemuda sebaya
denganku. “Mbak…! Mbak ini wartawan ya?” Tanyanya lirih. Aku terkejut dan spontan
membetulkan jilbab. Aku sadar sedari tadi aku sudah duduk berjam-jam di trotoar
depan gedung Gelanggang Olahraga.
“Eh, iya Mas…!” “Anda wartawan majalah
Al-Mahdi yang dipimpin oleh Dr.H. Malik Karim Amrullah, atau dikenal dengan
Buya Hamka itu kan. Saya suka karya karya beliau. Tenggelamnya kapal Van Der
Wijck, Di bawah lindungan ka’bah, Tasawuf Modern, Ayah dan lain saya juga suka.
“Loh,
Koq tahu?”
“Saya
menemukan kartu ini.”
“Oh,
terimakasih Mas …!”
“Lagi
susah cari inspirasi, ya?” “Iya nih Mas.” Tiba-tiba laki-laki itu menyodorkan
sebuah kaset VCD. Tangannya dingin sekali saat tak sengaja ku menyentuhnya. “Apa
ini, Mas?” Aku mengerutkan kening sembari memperhatikan kaset di tanganku. “Mas
…” Tiba-tiba dia menghilang, aku mencari-cari sosoknya di jalan yang lengang
itu namun, nihil. Dia lenyap bak roh penasaran.
Wah
… jangan-jangan hantu. Tapi kok datangnya di siang bolong sih. Emangnya nggak
takut sinar matahari? Wong Syahrini yang cetar membahana itu saja
takut cantiknya pudar. Oh … iya-ya. Setan kan emang dari sononya jelek. Jadi
gak takut cantik atau tampannya ilang. Semakin jelek wajah setan, semakin
populer. Kalau aku sih, gak peduli sama kulit. Percuma juga. Kalau jelek, ya
jelek aja. Tapi meski jelek-jelek begini aku bukan setan lo. Mengingat setan,
bulu jaketku merinding. Dipikir-pikir aku aneh juga, dalam keadaan takut aku
masih sempat-sempatnya menganalisa masalah.
******
Sesampainya
di gubug tempatku berteduh dari terik dan hujan, Aku nyelonong masuk ke kamar dan
langsung menyalakan laptop bermerek hp yang sudah tua itu. Kukeluarkan
kaset pemberian pemuda tadi dari tas. Aku sempat ragu, tapi entahlah ada
sesuatu yang mendorong hatiku untuk mengetahui isinya.
Suasana
hening dan menegangkan. Tiba-tiba ada sosok wanita muncul di depanku. Rambutnya
yang mulai putih tergerai. Aku terperanjat. “Ya Allah, Emak mengagetkan aku
aja. Pening Aku, pening aku emak.”Ujarku menirukan gaya bicara si Poltak, raja
minyak dari Medan. Emak menjewer telingaku. Aku merintih. “Kamu itu ya,
kebiasaan. Udah pulang nggak pakek salam, handycame mahal-mahal di
tinggal di teras. Kalau dicuri orang atau rusak, gimana?” “Hehehe … Nayla lupa
Mak! Peace!” “Pas .. pis … pas pis … apa itu? Emak gak kebelet pipis.”
Sahut Emak berlalu. “Aduh Emak, bukan pipis ssttt … sensor.” Aku meneput dahi
lalu bibirku.
Terlihat
Emak keluar kamar dan menutup pintu. Aku tak sabar melihat isi kaset. Akhirnya
Aku memutarnya. Kuperbesar layarnya dan muncul tulisan. ‘Nyata …! Terekam,
sosok pocong mengerikan di Pabrik mie.”
“Hah
…! Mataku terbelalak, spontan aku mematikan tayangan itu, mengeluarkan kasetnya
lalu membuangnya keluar jendela. Aku menutup mataku dengan guling bersarung
putih kesayangannku. Tiba-tiba aku jadi paranoid. Aku membayangkan, bagaimana
kalau guling ini berubah menjadi pocong buruk rupa. “Huuaaaaa …” Aku melempar
guling ke lantai.
******
Malam
harinya dengan dorongan jiwa jurnalisku, aku berusaha mengatur keberanian untuk
menyelidiki kebenaran isi kaset. Barangkali saja ada pocong narsis yang
keganjenan ingin diiliput. Masak sih, wartawan Al-Mahdi, sekelas gua
takut sama hantu lepet bungkus itu. Hancur dong reputasi. Satu-satunya pabrik
mie di daerahku berada di daerah barat kota.
******
Di
pabrik mie. Sepi, sunyi, yang terdengar hanya lolongan anjing piaraan para Koko
Cina. Rasa takutpun kembali mengaum di jantungku. Heran! Kenapa tidak ada pegawai
yang lembur sih. Setidaknya aku punya teman ngobrol gitu. Aku masuk ke dalam
pabrik mengendap-endap melalui pindu yang tidak terkunci. Bau sisa-sisa adonan
bumbu mie sangat menyengat tercium. Keringat di keningku sebesar biji jagung.
Kuraih handycame kesayangan dari ransel. Kutekan power dan kuarahkan ke
sekitar.
Sejam
berlalu, layar handycame tidak berubah, yang terlihat hanya tumpukan
kardus mie yang tertata. Tiba-tiba suara misterius terdengar. “Jep-ajep … ajep
… ajep … sesuatu … yang ada di hatiku sesuatu yang ada di kafanku.” Terdengar
lantunan lagu Princes Syahrini, peraih penghargaan penyanyi favorite SCTV award
sebanyak lima kali berturut-turut. Namun, nadanya diremix dan liriknya
terdengar telah dirubah menjadi kafan. Hah … Kafan. Aku tak berani melihat ke
arah suara. Aku hanya mengarahkan handycameku. Dan perlahan melihat apa
yang terjadi dari handycame. Ada segerombolan pocong dengan gitar, drum,
bass, sasando dan piano berada di atas mesin penggilingan bumbu mie. ‘Busyet.’
Pocong Band lagi konser. Ada yang jadi Dj pula. Saingan sama Al-Ghazali, putra
musisi Achmad Dani donk. Alamak jang …! Mereka melihat dan menyapaku dengan
gaya bencong kesasar. “Lagi pada teripingan cin, ikut yuk …!”
“Aaaaaaaaghhh
… aku lari terbirit-birit menabrak tumpukan kardus mie. Kemudian … Braaakkk …
Aku terjatuh dan terjebak ke dalam sebuah ruangan bawah tanah.
******
Gelap.
Terdengar riuh tawa terbahak-bahak. Wajahku basah. Kemudian kelopak mataku
memaksa terbuka. Terdengar jelas suara lantan Pak Fatich, guru Matematikaku.
Beliau menyemprotkan air ke wajahku. Aku meringis kesakitan. “Nayla…! Berdiri
di depan kelas. Kelas itu bukan tempat untuk tidur. Mengerti kamu…!” “Mengerti
pak…!”
Aku
bangun dari lantai dan membereskan busur, jangka dan kitab matematika yang
terjatuh ke lantai lantai tersenggol ketika aku mengakhiri mimpiku. Tak ada
Pocong Band, tak ada pabrik, tak ada handycame di tangan. Sial. Sudah
punggung encok, dipajang pula di depan kelas, diketawain lagi. Kutengok jam
yang melingkar di tangan kananku. Pukul 09.00 WIB. Sudah sejam aku tidur sejak
guru matematikaku memulai pelajaran tentang integral. Untung cuma sejam. Kalau
sampai tertidur selama 350 tahun seperti Ashabul Kahfi, masuk sejarah
dong aku. Iya kalau Cuma selama 350 tahun, kalau selamanya gimana? Kebablas
mati maksudnya. Kualat guru tuh namanya.Hah … ancur-ancur-ancur hatiku.
Jadi, aku saranin buat santri ato
pelajar yang hobinya molor saat pelajaran berlangsung, apalagi pelajaran Nahwu.
Coba inget-inget mati deh sebelum tidur. Pasti kalian gak berani tidur saat
pelajaran.
O
…iya Aku baru inget. Tadi malem ada layar tancep di Pesantren. Filmnya bagus
banget. Di bawah lindungan Ka’bah. Tokoh utamanya, artis cantik, Laudya Cyntia
Bella. Makanya aku tidur terlalu larut. Akhirnya molor deh di kelas. Tapi, itu
bukan alasan sih… soalnya meski tidak ada kegiatan, kebanyakan masyarakat
santri punya hobi menular seperti tidur. Apalagi kalau sudah liburan panjang.
Santri bisa menjelma menjadi siluman kelelawar. Kalau malem, melek nonton TV
kalau siang molor deh tuh habis sholat subuh. Biasa … jarang nonton TV.
Mengingat mimpiku tadi. Enak juga ya, jadi wartawan. Asyik dan penuh tantangan.
Suci, di
Kelas IPA 2 MBS 2007
AGIP …
Asosiation Girl of IPA … I miss U all
Tidak ada komentar:
Posting Komentar